PROSES PEMBENTUKAN UU PERKAWINAN

Posted by Mustopa Almurtaqi Makarima 0 komentar
Bismillahirrohmanirrohim


A.    Latar Belakang Masalah
Pemikiran hukum islam, telah dijelaskan oleh banyak ulama. M. Atho Mudzahar telah memperkenalkan jenis-jenis produk pemikiran hukum islam. Menurutnya, terdapat empat jenis produk pemikirsn hukum islam yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum islam, yaitu kitab-kitab fiqih, keputusan-keputusan pengadilan agama, peraturan perundang-undangan di negri muslim, dan fatwa-fatwa ulama. Masing-masing produk pemikiran hukum islam itu mempunyai ciri khaasny sendiri.

A.    Tujuan Masalah
Dengan dibentuknya undand-undang perkawinan di indonesia, maka perkawinan itu bisa terarah kepada jalan yang sebenarnya dan bisa menemukan titik kesejahtraan dalam rumah tangga. Atau dengan kata lain misaqon galodhon.


Bagian B
A. Pembahasan
a)      Gagasan dan  Usaha Pembentukan RUU perkawinan
Usaha Pembentukan undang-undang perkawinan di Indonesia dimulai sejak tahun 1950. Pada waktu itu, pemeritah membentuk panitia penyelidikan peraturan hukum perkawinan, talak, dan rujuk yang memiliki tugas:
1.      Melakukan pembahasan mengenai berbagai peraturan perkawian yang telah ada; dan
2.      Menyusun rancangan undang-undang (RUU) perkawinan yang sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman.

Tugas yang kedua merupakan tugas pokok, sedangkan tugas yang pertama merupakan tugas antara.
Empat tahun kemudian (1954), panitia telah berhasil menyusun dua RUU perkawinan: pertama,RUU perkawinan yang bersifat umum yang diselesaikan pada tahun 1952; dan kedua, RUU perkawinan khusus bagi umat islam yang diselesaikan pada tahun 1954. Selama (1958-1959), Dewan Perwakilan Rakyat telah membahas dua rancangan tersebut. Akan tetapi dua RUU tersebut tidak berhasil lolos menjadi undang-undang.
Pada tahun 1966, Menteri Kehakiman menugaskan Lembaga Pembinaan Hukum Nasional untuk menyusun RUU perkawinan yang bersifat nasional. Pada tahun 1967, pemerintah menyampaikan RUU khusus untuk umat islam kepada DPR (sebagai hasil kerja dari LPHN); dan pada tahun 1968,pemerintah mengajukan RUU tentang ketentuan-ketentuan pokok perkawinan kepada DPR. Akan tetapi, dua RUU ini pun tidak lolos menjadi undang-undang.
Pada tanggal 31 juli 1973, presiden menyampaikan RUU tentang perkawinan kepada DPR dan menarik kembali dua RUU yang sudah diajukan sebelumnya. RUU yang diajukan kepada DPR pada tahun 1973 inilah yang kemudian menjadi undang-undang perkawinan.


b)      Perdebatan Mengenai Isi RUU Perkawinan
Pada tanggal 30 juli 1973, menteri kehakiman atas nama pemerintah menyampaikan keterangan mengenai RUU perkawinan yang dilanjutkan dengan pembahasan umum. Dalam pembahasan umum, RUU mendapat kritik yang tajam, baik dari pihak politisi (terutama Partai Persatuan Pembangunan, PPP), maupun dari ulama pada umumnya yang berafiliasi dengan berbagai ormas Islam yang ada.
Pasal-pasal yang diperdebatkan oleh para anggota DPR (terutama dari PPP) dan para pemuka agama adalah pencatatan sebagai syarat sah perkawinan. Pencatatan perkawinan telah diundangkan oleh pemerintah dengan pemberlakuan UU No 32 Tahun 1946. Aka tetapi, dalam UU tersebut tidak terdapat  ketentuan mengenai syarat-syarat perkawinan. Akan tetapi, pihak yang menikah tanpa dicatat akan didenda Rp. 50; dan pegawai pencatat perkawinan (PPN) yang tidak menjalankan kewajibannya diancam dengan sanksi kurungan 3 bulan atau denda sebesar Rp. 100.
Secara implisit, dapat dipahami bahwa perkawinan tanpa dicatat oleh PPN adalah sah. Akan tetapi, laki-laki yang melakukan perkawinan tanpa dicatat oleh PPN akan dikenai sanksi berupa denda. Dalam RUU perkawinan dinyatakan secara ekplisit bahwa salah satu syarat sah nikah adalah pencatatan oleh petugas pencatat nikah. Bunyi pasal 2 (2) RUU Perkawinan adalah:
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan dihadapan petugas pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang ini dan/atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

Dalam pasal 2 (1) RUU Perkawinan, terdapat syarat sah perkawinan, yaitu: (a) Perkawinan harus dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan; dan (b) Perkawinan harus dicatat oleh pegawai pencatat dalam catatan perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan yang tidak dicatat oleh pegawai pencatat perkawinan, adalah abatal.
Pasal 2 (1) RUU Perkawinan mendapat sorotan dari banyak pihak. Sorotan datang antara lain dari Teuku H.M. saleh (PPP) yang menyatakan bahwa pencatatan sebagai syarat sah perkawinan di anggap mengabaikan syarat-syarat perkawinan yang telah dijelaskan oleh ulama dalam berbagai kitab fiqih. Dengan kata lain, pemerintah dianggap telah menjadikan pencatatan perkawinan sebagai syarat sahnya perkawinan yang pokok; sedangkan syarat sah yang ditentukan oleh ulama dalam kitab-kitab fiqih dianggap sebagai syarat pelengkap.
Di antara pasal-pasal RUU Perkawinan yang tidak sesuai dengan syari’at Islam adalah: pertama, perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan sebagai anak angkat dan orang tua angkat atau anak-anak dari orang tua angkat; kedua, dua kali cerai antara suami isteri menjadi penghalang untuk dilangsungkan perkawinan yang ketiga; ketiga, perbedaan agama menjadi penghalang perkawinan; keempat, waktu tunggu (iddad)bagi wanita yang dierai suaminya adalah 306 hari; dan waktu tunggu bagi wanita hamil adalah 40 hari setelah melahirkan anaknya; kelima; pertunangan (khitbah) yang mengakibatkan kehamilan, mengakibatkan laki-laki yang menghamiinya harus kawin dengan wanita itu, jika disetujui oleh pihak wanita; keenam, anak angkat mempunyai kedudukan yang sama dengan anak yang sah dari suami-isteri yang mengangkatnya; dan ketujuh, pengangkatan anak mengakibatkan putusnya hubungan keluarga anak yang diangkat dengan keluarganga sedarah dan semenda garis ke atas dan ke samping.
RUU Perkawinan yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR dinilai tidak sejalan dengan perkawinan menurut Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, ia mendapat tanggapan dan sorotan yang tajam dari berbagai kalangan. Pimpinan pusat (PP) Muhamadiyah mengirim surat A-6/174/73 tentang RUU Perkawinan tanggal 30 juli 1973 (29 Jumadil Akhir 1393 H.) yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman. Dalam surat tersebut dinyatakan baahwa RUU Perkawinan bertentangan secara diametral dengan ajaran-ajaran Islam. Surat terseut dilampiri dengan pasal-pasal RUU Perkawinan yang dianggap oleh Muhamadiyah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tujuh ketentuan RUU yang dipandang tidak sesuai dengan ajaran Islam adalah:
1)      Pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan;
2)      Tidak ada pembatasan jumlah isteri dalam poligami (poigini);
3)      Batas usia perkawinan (21 tahun bagi pria 18 tahun bagi wanita);
4)      Tidak memasukan susunan (radha’at) sebagai penghalang perkawinan;
5)      Perbedaan agama tidak menjadi penghalang perkawinan;
6)      Waktu tunggu bai isteri yang dicerai suaminya; dan
7)      Dua kai cerai menjadi penghalang perkawinan.

Pengurus Besar Persatuan Ummat Islam (PB-PUI) mengirim surat nomor B-215/PB-SEK/VI/73 yang ditujukan kedapa Presiden RI ketika itu (H. Soeharto) bertanggal 18 agustus 1973. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa dalam RUU Perkawinan yang disampaikan pemeritah kepada DPR terdapat hal-hal yang prisipil bertentangan dengan aturan-aturan perkawinan bagi Ummat Islam. Hanya saja, PUI tidak menjelaskan pasal-pasal yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Isam. Melalui surat tersebut, PB-NU juga mengajukan permohonan agar Presiden meninjau kembali RUU Perkawinan yang telah diajukan ke DPR.
Diamping itu lembaga atau ormas-ormas Islam, para pemuka Isalm secara perseorangan pun memberikan komentar yang relatif pedas terhadap RUU Perkawinan. H.M. Rasyidi menyatakan bahwa RUU Perkawinan merupakan Kristensasi terselubung (Media Nnusantara, 18 Agustus 1973). Sedangkan Yusuf Wibisono menulis artikel yang berjudul “Islam dan RUU Perkawinan” dalam Indonesia Raya (10 Oktober 1973) yang merupakan jawaban atas berbagai tulisan yang dikemukakan oleh para tokoh Islam. Dalam artikel tersebut, Yusuf Wibisono mengatakan bahwa pendapat tokoh Islam yang mengatakan bahwa RUU Perkawinan bertentangan dengan UUD 45 Pasal 29 (2), adalah keliru.
Karena begitu banyakya pandangan mengenai RUU Perkawinan, DPR akhirnya membentuk Panitia Kerja RUU Perkawinan (6 Desember 1973). Anggotanya berjumlah sepuluh orang: berasal dari komisi III dan komisi lX; dan empat fraksi: fraksi ABRI, fraksi PDI, fraksi Persatuan Pembangunan, dan fraksi Karya Pembangunan.
Cara kerja yang ditempuh Panja RUU Perkawinan adalah: pertama, mengadakan rapat-rapat internal panitia untuk menjajagi pendirian masing-masing fraksi. Pendirian masing-masing fraksi didiskusikan sehingga diharapkan dapat dicapai kesepakatan. Kesepakatan yang telah dicapai akan dibawa dalam rapat kerja bersama  dengan pemerintah; kedua, mengadakan rapat kerja dengan pemerintah dalam rapat yang terbuka untuk membicarakan hal-hal yang bersifat umum; dan ketiga, mengadakan rapat kerja dengan pemerintah dalam rapat tertutup untuk membicarakan rumusan-rumusan yang konkrit dalam bentuk pasal-pasal.
Dalam laporan Panitia Kerja RUU Perkawinan pada tanggal 22 Desenber 1973 yang disampingkan oleh ketuanya, Djaml Ali, Panitia Kerja telah berhasil menyepakati dua pasal, yaitu Pasal 1 dan dua. Rumusan pasal 1 yang disepakati oleh Panitia adaah:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sedangkan rumusan Pasal 2 yang disepakati oleh Panitia Kerja adalah:
1)      Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2)      Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Perundang-undangan yang berlaku.
Pembahasan RUU Perkawinan di DPR terus berjalan sehingga menghasilkan RUU Perkawinan tahap II, yaitu RUU Perkawinan hasil pembicaraan di DPR. Di dalam RUU Perkawinan tahap II pun masih terdapat pasal-pasal yang dalam pandanga ulama tidak sejalan dengan ajaran Islam. Di antara pasal tersebut adalah: pertama, masih ada semangat dari para perancang undang-undang perkawinan bahwa pencatatan perkawinan dijadikan salah satu ayarat sah perkawinan. Semangat ini, disamping dapat dilihat dalam pasal 2 ayat (1) dan (2), dapat dilihat dalam pasal 26 ayat (1) RUU Perkawinan. Dalam pasa tersebut dikatakan sebagai berikut:
Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenag, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa, dan suami atau isteri.
Kedua, dua kali cerai menjadi penghalang perkawinan. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 10 RUU perkawinan, yaitu:
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain, dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

c)      Topik-topik yang Krusial
RUU Perkawinan yang diajukan oleh pemerintah RI kepada DPR pada tahun 1973, merupakan kelanjutan dari peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan yang berlaku sebelumnya.
Peraturan perundanga mengenai perkawinan yang berlaku ketika RUU Perkawinan diajukan adalah sebagai berikut:
1)      Hukum agama Isla yang telah diterima (diresifir) dalam hukum adat untuk orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam.
2)      Hukum adat bagi orang-orang Indonesia asli lainnya.
3)      Huwelijks ordonnainte Christen Indonesia (Staasblaad 1933 Nomor 74) untuk orang-orang Indonesia asli yang beragama kristen.
4)      Kitab Undang-undang Hukum Perdata ( dengan sedikit perubahan) untuk orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina.
5)      Kitab Undang-undang Hukum Perdata untuk orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka.
6)      Hukum Adat (mereka) untuk orang-orang Timur Asing lainnya dan warga negara keturunan Timur Asing lainnya.

Secara sederhana, hukum perkwinan ysng berlsku bagi masyarakat Indonesia ketika itu ada tiga, yaitu: Kitab Fiqih, kitab undang-undang Hukum Perdata, dan Hukum Adat.
Oleh karena banyaknya perbandingan antara hukum yang satu dengan yang lainnya mengenai RUU Perkawinan, maka disini akan dijelaskan satu-persatu.
Pertama,pencatatan perkawinan. Dalam Fiqih munakahat tidak terdapat aturan yang menentukan bahwa syarat sah perkawinan adaah dicatat oleh petugas (pemerintah). Oleh karena itu, syarat ini terkesan merupakan syarat tambahan (lihat UU Nomor 22 Tahun 1946) yang dibuat oleh pemerintah. Kesan yang ada dalam pandangan para pemuka agama adalah bahwa syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan dalam berbagai kitab fiqh dianggap tidak cukup (memadai). Pandangan ini kemudian melahirkan dugaan bahwa pemerintah menganggap bahwa aturan perkawinan yang ada dalam kitab fikih dipandang tidak memadai untuk dilaksanakan. Wajar apabia sebagian Ulama menolak pencatatan sebagai syarat sah perkawinan.
Kedua, jumlah isteri dalam poligami. Poligami memiliki dua makna: poligini dan poliandri. Poligini adalah seorang suami memiliki banyak isteri; sedangkan poliandri adalah seorang isteri memiliki banyak suami ( seperti Drupadi dalam cerita Mahaberata). Akan tetapi, dalam khazanah hukum Islam di Indonesia, poligami dimaksudkan dalam arti yang pertama, yaitu poligini.
Dalm RUU Perkawinan, pasal 3 ayat (2)  tidak terdaat ketentuan mengenai jumlah isteri yang boleh dipoligini oleh seorang suami dalam satu masa (priode). Hingga RUU Perkawinan disahkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tidak terdapat aturan mengenai batas jumlah isteri. Ketentuan yang ada adalah bahwa “pengadilan dapat memberi izin kepada suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila di kehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.[1]
Ketiga, batas usia perkawinan.Jumhur Ulama berpendapat bahwa perkawinan anak keci dibolehkan.[2] Abu Hanifah, Maliki, Anas, al-Syafi’i, ada Ahmad Ibn Hambal membolehkan perkawinan anak kecil. Aasannya adalah karena Nabi Muhammad SAW. Menikah dengan Ayisak ra. Ketia masih berumur 7 tahun dan tinggal bersama Nabi Muhammad SAW. Pada usia 9 tahun. Oleh karena itu, ulama memandang bahwa peraturan batas usia perkawinan tidak sejalan dengan sunnah Nabi Muhammad SAW.[3]
Keempat, sesusuan tidak menjadi penghalang perkawinan. Dalam kitab-kitab fikih ditetapkan oleh ulama bahwa sesusuan (radha’at) dapat menjadi penghalang perkawinan; karena dapat riwayat yang menyatakan bahwa Nabi SAW. Menjadikan sesusuan sebagai penghalang perkawinan.[4] Akan tetapi, ulama berbeda pendapat mengenai jumlah (kuantitas) sesusuan yang menjadi sebab haaramnya perkawinan antara yang menyusui dengan yang disusui dan usia yang menyusu. Karena radha’at tidak dinyatakan secara ekplisit dalam RUU Perkawinan, ulama memandang bahwa radha’at tidak menjadi penghalang perkawinan di Indonesia, termasuk bagi Umat Islam[5]
Kelima, perbedaan agama tidak menjadi penghalang perkawinan.dalam kitab Fiqh al-Sunnah karya al-Sayyid Sabiq dikatakan bahwa ulama sepakat tentang keharaman seorang muslim menikah dengan penyembah berhala (al-wataniyyat), kafir zindiq (al-zindiqat), murtad, dan penyembah sapi. Oleh karena itu, tidak terdapatnya ketentuan mengenaiperbedaan agama sebagai penghalang sahnya perkawinan dianggap sebagai penyimpagan dariajaran agama Islam.[6]
Keenam, waktu tunggu bagi isteri yang dicerai. Dalam RUU Perkawinan, pasal 12 ayat (1) dikatakan bahwa waktu tunggu bagi wanita yang dicerai oleh suaminya adalah 306 hari; kecuali bagi yang dicerai dalam keadaan hamil, waktu tunggunya adalah 40 hari setelah melahirkan.
Ketentuan waktu tunggu yang terdapat dalam RUU Perkawinan, Pasal 12 ayat (1) menyimpang dari hukum Islam karena dalam Qur’an terdapat aturan wktu tunggu sebagai berikut: (1) tiga kali quru’ bagi wanita yang dicerai yang masih haidh (QS. Al-Baqarah (2): 228; (2) tiga bulan bagi wanita yang dicerai dalam keadaan tidak haidh lagi (monofosh) (QS. Al-Thalaq(65): 4); (3)  empat bulan sepuluh hari bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya (QS: al-Baqarah (2): 234); dan (4) hingga melahirkan bagi wanita yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil (QS: al-Thalaq (65): 4). Sedangkan wanita yang dicerai oleh suaminya sebelum melakukan jimak (senggama) tidak ada waktu tunggu baginya (QS: al-Ahzab (33): 49).[7]
Ketujuh, dua kali cerai menjadi penghalang perkawinan.Dalam al-Qur’an terdapat taklak hingga tiga kali; yaitu seorang suami dapat kembali (al-ruju) kepada isterinya selama berada dalam waktu tunggu. Rujuk dibenarkan hingga talak dua. Setelah talak tiga, suami titad dapat rujuk dengan isteri yang dicerainya kecuali setelah isterinya kawin dengan laki-laki yang lain kemudian diceraikan kembali. Setelah waktu tunggunya habis, bekas suaminya yang telah mencerai talak tiga sebelumnya, dapat menikah kembali. Talak ketiga disebut talak ba’in.[8]

d)     Akar Pasal-pasal RUU Perkawinan yang Krusial
1.      Perkawinan Hamil Karena Zina
Salah satu pasal RUU Perkawinan yang mendapat sorotan tajam dari ulama adalah pasal 13 (2) tentang pertunangan. Bunyi pasal tersebut adalah:
“Bila pertunangan itu mengakibatkan kehamilan, maka pihak pria diharuskan kawin denga wanita itu, jika disetujui oleh pihak wanita“.
Pasal ini mendapat kritik, karena terdapat kesan bahwa tunangan sudah menjadi sebab dibolehkannya melakukan hubungan seksual antara pihak yang dilamar dengan yang melamar.
Ada beberapa kemungkinan mengenai asal-usul dari isi pasal tersebut. Pertama, ia berakar pada hukum adat. Dalam hukum adat terdapat perkawinan darurat. Meskipun ada beberapa pengecualian di beberapa lokasi. Di jawa barat terdapat kebiasaan apabila seorang wanita hamil sebelum menikah dicarikan suami oleh pihak keluarga agar anak yang dilahirkan memiliki bapak. Perkawinan seperti ini dalam bahasa sunda di sebut “ngangkat bapak”. Di jakarta ia disebut “buat menerangkan”, yaitu supaya anak yang lahir menjadi terang (sah). Ia juga masih di jakarta disebut “buat nambalin orang bunting”. Perkawianan darurat ini disebut pula dengan kawin tambalan, kawin liwat, atau kawin angkat bapak.[9]
Bushar Muhammad mengimformasikan corak perkawinan adat yang hampir sama dengan kawin tambalan, yaitu kawin paksa. Seorang laki-laki ditunjuk oleh seorang perempuan sebagai orang yang menurunkan (menyebabkan) kehamilan anaknya yang ada dalam kandunganya. Laki laki tersebut dipaksa kawin dengan perempuan tersebut oleh Rapat Marga (di Sumatera Selatan), dan Hakim (dii Bali). Jika menolak, laki-laki itu dihukum atau didenda. Di Jawa, kepala dapat memaksakan perkawinan dengan cara kawin darurat (kawin dengan siapa saja, biasanya Kepala Desa sendiri, supaya pada waktu anak dilahirkan berada dalam status perkawinan ). nikah ini di sebut nikah Tambelan (di Jawa) dan Pattongkok Siriq (di Bugis). [10]
Sedangkan di jawa barat terdapat informasi yang berbeda. Di Cililin dan di Ci calengka kadang-kadang seorang lak-laki bersedia mengawini wanita yang hamil atas dasar permintaan dan ia (laki-laki) mendapat bayaran atau upah.[11]
Akan tetapi di sumedang (12) Juni 1930) terdapat pula informasi yang ada dalam berita acara Landraad Sumedang yang tidak diumumkan, mengenai paksaan untuk menikah terhadap seorang laki-laki kepada seorang perempuan yang hamil di luar nikah, karena laki-laki itu adalah penyebab kaehamilan tersebut. Sedangkan pada tahun 1873, seorang lebe (pejabat agama di desa) memaksa seorang laki-laki untuk menikah  dengan perempuan yang telah dihamilinya.[12]
Akibat hukum bagi anak yang dikandung hasil hubungan di luar perkawinan yang sah adalah: (a) Apabila laki-laki yang menika dengan wanita hamil adalah pihak yang menyebabkan kehamilan di luar nikah, anak yang dilahirkan diakui sebagai anak yang sah dan juga sebagai ahli waris (terutama menurut hukum adat Jakarta). (b) Begitu juga apabila laki-laki yang menikah dengaa wanita yang hamil adalah bukan pihak yang menyebabkan kehamilan di luar pernikahan, tidak ada hubungan hukum antara anak tersebut dengan laki-laki yang menghamili ibunya, tetapi ia memiliki hubungan hukum dengan laki-laki yang menikahi ibunya ketika ia sedang dalam kandungan (terutama hukum adat di Indramayu).[13]
Kedua, kemungkinan ia berasal dari kitab Undang-undang Hukum Perdata atau lebih dikenal dengan huum perdata barat. Dalam pasal 29 KUH Perdata dikatakan bahwa batas minimal umur yang akan melaksanakan perkawinan adalah 18 tahun (laki-laki) dan 15 tahun (perempuan). Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa perkawinan tidak dapat dilangsungkan sebelum dua belah pihak yang khendak menikah mencapai batas umur minimal, kecuali setelah mendapat dispensasi, seperti kehamilan.[14]
Hal ini sejalan dengan Pasal 251 KUH Perdata. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang dilahirkan oleh isteri dapat disangkal  oleh suaminya apabila anak itu dilahirkan sebelum 180 hari (sekitar 6 bulan)setelah perkawinan, kecuali:
a)      Suami sudah mengetahui terlebih dahulu bahwa calon isterinya sudah hami sebelum perkawinan dilangsungkan;
b)      Suami bersedia menandatangani surat kelahiran anak yang akan dilahirkan.[15]
Ketiga, kemungkinan ia berakar pada kitab-kitab Fiqih yang dijadikan kitab rujukan di Depertemen Agama. Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita hamil karena zina dibolehkan nikah, akan tetapi ia tidak boleh dijimak sebelum anak yang dilahirkannya lahir.[16]
 Imam Maliki berpendapat bahwa jika seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang tidak di ketahui bahwa ia berzina dan hamil karena zina tersebut, wanita tersebut harus diceraikan.[17] Wahbah al-Zuhayli berpendapat bahwa ulama Malikiyah tidak mentolelir pernikahan wanita yang telah zina sebelum diketahui secara pasti bahwa ia tidak hamil (istibra’) dengan tiga kali hadiah atau lebih atau tiga bulan lamanya.
Ulama Syafi’i berpendapat bahwa wanita hamil karena zina boleh nikah (dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki lain), karena anak yang dikandungnya tidak berhubungan nasab kecuali kepada ibunya; kehamilannya dipandang sama dengan tidak hamil. Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa pernikahan wanita hamil karena zina adalah makruh.[18]
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pernikahan wanita hamil karena zina tidak dibolehkan kecuali dengan terpenuhinya dua syarat: pertama,bayi yang dikandungnya telah lahir; dan kadua, wanita tersebut telah bertaubat dari dosanya. [19]
Ibn Hazm al-Zhahiri berpendapat bahwa pernikahan wanita hamil karena zina adalah boleh, karena yang diharamkan kawin adalah wanita yang hamil disebabkan pernikahan yang sah (tapi telah dicerai).[20]
Dengan memperhatikan kawin tambal yang terdapat dalam hukum adat, Pasal 29 KUH Perdata, dan pendapat para Ulama yang terdapat dalam berbagai kitab yang beredar di Indonesia, kiranya kita dapatt memahami isi pasal 13 (2) tentang pertunangan dari RUU Perkawinan.
2.      Perkawinan Anak Angkat dengan Bapak Angkatnya
Dalam RUU Perkawinan, Pasal 8 (c) dikatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua oarang yang berhubungan sebagai anak angkat dan orang tua angkat atau anak-anak dari orang tua angkat.
Ketetapan ini berhubungan dengan Pasal 62 RUU Perkawinan, terutama ayat (8), dan (9). Dalam ayat (8) Pasal 62 RUU Perkawinan dikatakn bahwa anak yang yang diangkat mempunyai kedudukan yang sama seperti anak yang sah dari suami isteri yang mengangkatnya; dalam ayat (9) Pasal 62 RUU Perkawinan dikatakan bahwa pengangkatan anak mengakibatkan putusnya hubungan keluarga antara anak yang diangkat dengan keluarganya sedarah dan semenda garis ke atas dan kesamping. [21]
Isi pasal tersebut kemungkinan berasal dari beberapa sumber hukum yang hidup dan berkembang ketika RUU Perkawinan disusun. Pertama, kemungkinan ia berasal dari Ordonansi Perkawinan Indonesia-Kristen Jawa, dan Ambon (Stbld. 1946 Nomor 136). Dalam pasal 5 (1) Ordonansi Perkawinan Kristen dikatakan:
Dilarang kawin antara semua orang yang erhubungan keluarga dalam garis ke atas atau ke bawah, baik karena lahir dalam perkawinan yang sah atau tidak sah menurut Undang-undang atau pun karena persemendaan atau pengangkatan anak dan dalam garis menyimpang antara saudara laki-laki dan saudara perempuan yang berhubungan karena lahir dalam perkawinan yang sah menurut Undang-undang atau pun karena pengangkatan anak.[22]
Kedua, kemungkinan ia berasal dari hukum adat. Dalam hukum adat dikatakan bahwa pengangkatan anak menimbulkan hubungan hukum hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat seperti orang tua dengan anak kandung.[23]
Bushar Muhammad mengimformasikan bahwa adopsi (ambil anak, kukut anak, atau angkat anak) dilakukan membuat anak yang di angkat memiliki dua kemungkinan:
a)      Sebagai anak (anggota keluarga untuk melanjutkan keturunan dan sebagai ahli waris (yuridis);
b)      Sebagai anggota masyarakat (sosial) dan menurut tatacara adat, adopsi dilakukan dengan ‘terang’ dan ;tunai’.[24]
Ketiga, ia kemungkinan berasal dari KUH perdata. Meskipun tidak terdapat ketentuan yang tegas dalam pasal tentang syarat-syarat perkawinan, dilarang perkawinan, dan halangan-halangan perkawinan, ketidakbolehan anak angkat menikah dengan orang tua angkatnya dapat dilihat pada pasal-pasal tentang akibat-akibat pengangkatan anak.
Kemungkinan yang paling dekat mengenai akar pasal anak angkat sebagai penghalang perkawinan ini berasal dari KUHP tentang adopsi bagi orang Tonghoa. Dalam pasal 282 KUHP bahwa umur minimal bagi oarang tua (suami) yang akan mengangkat anak adalah 19 tahun, sedangkan umur anak yang diangkat tidak ada batasnnya.
Dalam Pasal 162 (2) RUU Perkawinan dikatakan bahwa anak yang diangkat sekurang-kurangnya harus 18 tahun lebih muda dari suami dan sekurang-kurangnya 15 tahun lebih muda dari isteri (yang mengangkat). Pasal ini persis sama dengan Pasal 7 (1) KUHP tentang adopsi bagi orang Tinghoa, yaitu anak yang diangkat harus 18 tahun lebih lebih muda dari ayah yang mengangkatnya dan 15 tahun lebih muda dari ibu angkatnya.
Dalam Fikih, al-hadhanat (pengangkatan anak) tidak mengakibatkan pindahnya hubungan keluarga anak yang diangkat. Oleh karena itu, yang menjadi wali (anak perempuan) tetap ayah kandung dan keluarganya, bukan ayah dan saudara angkatnya. Oleh karena itu, Qur’an membolehkan kwin antara pihak yang mengangkat dengan anak angkat. Allah berfirman:
“....dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri)....”(QS. Al-Ahzab [33]: 4).
Dengan demikian, wajar apabila Pasal 62 RUU Perkawinan mendapat kritik dari sejumlah politisi dan ulama dengan mengatakan bahwa pasal ini merupakan Kristenisasi terselubung sebagai oleh H.M. Rasyidi. [25]

3.      Dua Kali Cerai Menjadi Penghalang Perkawinan
Di antara pasal yang krusial sehingga dapat sorotan tajam dari ulama dan politisi muslim adalah Pasal RUU Perkawinan. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa dua kali cerai menjadi penghalang perkawinan. Bunyi Pasal 10 RUU Perkawinan secara lengkap adalah:
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan cerai lagi untuk yang kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi.[26]
Pasal ini tidak sesuai dengan syari’at, karena dalam Syari’at Islam tersebut dua jenis talak: talak raj’iy dan talak ba’in. Talak ba’in adalah talak tiga yang akibat hukumnya adalah dua pihak (suami-isteri yang telah tiga kali talak) tidak boleh menikah lagi, kecuali setelah wanita tersebut kawin dengan laki-laki lain, kemudian diceraikan oleh suaminya dan telah habis waktu tunggunya. Lantas berasal dari mana pasal ini.
Dalam hukum adat dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Jawa, dan Ambon—sepanjang dokumen yang dapat diamati—tidak terdapat ketentuan tentang larangan perkawinan setelah dua kali cerai. Akan tetapi, akar intelektual tentang dua kali cerai dapat menjadi penghalang perkawinan terdapat dalam pasal 33 (b) KUHP. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa antara suami-isteri yang sudah dua kali bercerai dilarang kawin kembali.[27]

4.      Perbedaan Agama Tidak Menjadi Penghalang Perkawinan
Dalam pasal 11 (2) RUU Perkawinan dikatakan bahwa perbedaan agama tidak menjadi penghalang perkawinan. Bunyi pasal tersebut secara lengkap adalah:
Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama/kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.
Dalam pasal 3 (Ad. 2) KUHP dikatakan bahwa perbedaan agama tidak membawa akibat perbedaan perdata. Penjelasan Arif Masduki dan M.H. Tirtaamidjjaya terhadap pasal tersebut adalah pada zaman abad pertengahan, yaitu sebelum revolusi Prancis, perbedaan agama membawa akibat perbedaan perdata, sebab pada waktu itu negara berada di bawah kekuasaan Gereja, lama-kelamaan negara mempunyai kedudukan yang setingkat dengan Gereja, dan sekarang kedudukan negara diatas kedudukannya.
Pernyataan yang terdapat dalam pasal 3 (Ad. 2) KUHP diperkuat lagi dalam pasal-pasal yang lain. Dalam pasal 26 KUHP dikatakan bahwa agama tidak boleh turut campur dalam bidang peresmian perkawinan. Dalam pasal 81 KUHP dikatakan bahwa melakukan upacara perkawinan dilaranh sebelum yang berkepentingan dapat membuktikan bahwa pernikahannya telah dilakukan di catatan Civil. Dalam Ordonansi Perkawinan Indonesia-Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon, tidak terdapat ketentuan yang ekspilisit mengenai perbedaan agama (sebagai syarat atau bukan sebagai syarat sah perkawinan). Di samping itu, ia juga tidak terdapat dalam hukum adat. Dokumen penting yang menjadi akar pasal mengenai perbedaan agama bukan sebagai penghalang perkawinan, adalah Universal Declaration of Human Right (UDHR).
Dalam pasal 16 (1) UDHR dikatakan:
Men and women of full age, without any limitation due to rece, nationality or religion, have the right to marry and to found a family. They are entitled to equal right as to marriage, durinh marriage and at its disolution.[28]
Jadi, sumber atau akar pasal mengenai perbedaan agama bukan penghalang sahnya perkawinan dalam RUU Perkawinan adalah KUHP dan Pasal 16 ayat (1) UDHR.
5.      Waktu Tunggu Selama 306 Hari
Dalam RUU Perkawinan, waktu tunggu dibedaka menjadi dua: yaitu, waktu tunggu yang bersifat pokok dan waktu tunggu yang yang bersifat pengecualian.
Waktu tunggu pokok adalah waktu tunggu bagi seorang isteri yang dicerai, yaitu 396 hari; dan waktu tunggu bagi isteri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil adalah 40 hari setelah anak yang dikandungnya lahir. Sedangkan waktu tunggu yang bersifat pengecualian adalah:
1)      Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang sudah berumur 52 tahun tidak ada waktu tunggu;
2)      Waktu tunggu bagi wanita yang ditinggal wafay oleh suaminya dalam keadaan hamil adalah sampai anak yang dikandungnya lahir;
3)      Waktu tunggu bagi wanita yang dicerai atau ditinggal wafat oleh suaminya adalah surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa tidak hamil setelah 100 hari setelah dicerai atau suaminya wafat.
Dalam pasal 12 ayat (1) dan (2) RUU Perkawinan dikatakan bahwa:
Bagi janda wanita ditetapkan jangka waktu tunggu 306 hari, kecuali kalau ternyata dia sedang mengandung, dalam hal mana waktu tunggu ditetapkan sampai 40 hari setelah melahirkan anak yang dikandungnya.
Jangka waktu yang tersebut dalam ayat (1) dalam pasal ini tidak dipersyaratkan dalm hal:
a.       Umur janda sudah 52 tahun;
b.      Janda setelah meninggalnya suami, melahirkan anak;
c.       Janda mempunyai keterangan dokter bahwa ia setelah 100 hari meninggalnya suami atau terjainya perceraian tidak hamil.
Dalam hukum adat tidak terdapat ketentuan mengenai waktu tunggu bagi isteri yang dicerai oleh suaminya atau ditinggal wafat oleh suaminya. Akar pasal 12 RUU Perkawinan adalah KUHP dan Ordonansi Perkawinan Indonesiaa-Kristen Jawa, Minahasa dan Ambon. Dalam pasal 29 KUHP dikatakan bahwa seorang janda tidak boleh melangsungkan perkawinan sebelum berselang 300 hari sesudah perceraian. Di samping itu seorang isteri ditinggalkan oleh suaminya selama 10 tahun, boleh melangsungkan perkawinan dengan orang lain dengan syarat harus sudah diputuskan perceraiannya oleh hakim, tidak perlu menunggu selama 300 hari.[29]
Dalam pasal 8 Ordonansi Perkawinan Indonesia-Kristen Jawa, Minahasa dan Ambon, dikatakan bahwa:
Sesudah perkawinan putus, maka perempuan tak boleh kawin lagi sebelum lewat 300 hari, kecuali kalau ternyata bahwa ia tidak hamil, dalam hal demikian ini boleh ia kawin lagi sesudah lewat 100 hari.[30]
Dengan demikian, akar pasal 22 RUU Perkawinan tentang waktu tunggu adalah pasal 29 KUHP dan pasal 8 Ordonansi Perkawinan Indonesia-Kristen Jawa, Minahasa dan Ambon.[31]




Bagiab C
KESIMPULAN

Usaha Pembentukan undang-undang perkawinan di Indonesia dimulai sejak tahun 1950. Pada waktu itu, pemeritah membentuk panitia penyelidikan peraturan hukum perkawinan, talak, dan rujuk yang memiliki tugas: Melakukan pembahasan mengenai berbagai peraturan perkawian yang telah ada; dan Menyusun rancangan undang-undang (RUU) perkawinan yang sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman.
Dan dalam pembahasan diungkap mengenai pasal-pasal Rancangan Undang-undang Hukum Perkawinan yang dipandang krusial oleh banyak kalangan, mengenai akar-akar intelektual atau hubungan intelaektual anatara rumsan perkawinan yang yang terdapat dalam fiqih, hukum adat, dan hukum perdata yang diberlakukan di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA


Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, diterbitkan oleh pustaka Bani Qquraisy. Jalan Sukanegara no 7 antapani-Bandung.
Masdoeki dan M.H. Tirtaamidjaya, Azas dan Dasar.
Hasan, Hukum Keluarga.
Antonio Cassese, Hak-hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 19994)
Djuhaenah Hasan, Hukum Keluarga Setelah Berlakunya UU Nomor 1/1974: Menuju ke Hukum Keluarga Nasional, (Bandung: Armico, 1988)
Abd al-Rahman ibn Abi Umar Ibn Qudamah, al-Mughni, (beirut: Dar al-Fikr, t.th.), j. VII, hlm. 515-518.
Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, j. VII
Al-Nawawi, al-Majmu Syarh, hlm. 349.
Arif Masdoeki dan M.H. tirtaamidjaya, Azas dan Dasar Hukum Perdata, (Jakarta: Djmbatan, 1963)
As-Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, (Beirit: Dar al-Fiqr, 1983), j. II
Bukhori, Shahih Bukhori, (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, 198), j. Vi






[1] UU No.  Tahun 1974, pasal 3 ayat (1)
[2] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-islam wa Adilatuh, (beirut: Dar al-Fiqr, 1984), j. VII, hlm. 179-180; lihat pula Jaih Mubarok al-Thahthawi tentang Ijtihad dan perwujudannya dalam Fqh, (Jakarta: PPs IAIN Syarif Hidayatullah, 1998 ), desertasi, hlm. 19-20, t,d. Atau lihat juga Dr. Jaih Mubarok, modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 47
[3] Hadist Nabi SAW. Dinedakan menjadi tiga: perkataan (qawl), perbuatan (fi’li), j. Ketetapan (taqdir). Nabi SAW. Menikah dengan Ayisah pada usia 9 tahun menunjukan bahwa perkawinan dengan anak kecil dibolehkan karena Nabi SAW. Telah melakukannya sebagai contoh dapat dilihat dalam Imam Bukhori, Shahih Bukhori, (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, 198), j. Vi, hlm. 134; lihat pula Imam Muslim, Shahih Muslim, (Bandung: Dahlan, t. th ), j. I, hlm. 595. Lihat pula Dr. Jaih Mubarok, moderenisasi Hukum Islam di Indonesia, hlm. 47
[4] As-Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, (Beirit: Dar al-Fiqr, 1983), j. II, hlm. 66-78. Lihat pula Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 48
[5] Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 48
[6] Ibid, hlm. 89., lihat  pula Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 48
[7] Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 48-49.
[8] Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 49
[9] Soepomo, Hukum Perdat Adat Jawa Barat, (Jakarta: Djambatan, 1982 ), hlm. 4. Lihat pula Dr.jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 49-50.
[10] Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985 ), hlm. 31. Lihat pula Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 51.
[11] Soepomo, Hukum Perdata, hlm. 4. Lihat pula Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 51.
[12] Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 51.
[13] Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 51-52.
[14] Arif Masdoeki dan M.H. tirtaamidjaya, Azas dan Dasar Hukum Perdata, (Jakarta: Djmbatan, 1963), hlm. 89. Lihat pula Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 52.
[15] Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 52.
[16] Ibn al-Humam al-Hanafi, Syarh Fath al-Qadir. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), j. III, hlm. 406. Lihat pula, Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 52-53
[17] Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, j. VII, hlm. 150. Lihat pula, Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 53.
[18] Al-Nawawi, al-Majmu Syarh, hlm. 349. Lihat pula, Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 53.

[19] Abd al-Rahman ibn Abi Umar Ibn Qudamah, al-Mughni, (beirut: Dar al-Fikr, t.th.), j. VII, hlm. 515-518.
[20] Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm , al- Muhalla, (Beirut:Dar al-Fikr, t.th), j. X., hlm. 27-28. . Lihat pula, Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 54.
[21] Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 54.

[22] Dikutip dari lampiran buku yang ditulis Djuhaenah Hasan, Hukum Keluarga Setelah Berlakunya UU Nomor 1/1974: Menuju ke Hukum Keluarga Nasional, (Bandung: Armico, 1988), hlm. 107. Lihat pula Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 54-55.
[23] Soepomo, Hukum Perdata, hlm. 25. . Lihat pula Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 55.
[24] Muhammad, Pokok-pokok, hlm. 33. Lihat pula Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 55.

[25] Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 56-57.
[26] Dirjen Hukum, sekitar pembentukan, hlm. 13. Lihat pula Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 57
[27] Masdoeki dan M.H. tirtaamidjiaya, Asas dan Dasar, hlm. 90. Lihat pula Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 58.

[28] Lihat geoffrey Robertson, crismes Against Humanity: The Struggle for Global Justice, (england: penguin Book Ltd., 1999), hlm. 418. Terjemahan resmi dalam bahasa indonesia dapat dilihat dalam Antonio Cassese, Hak-hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 19994), hlm. 295. Lihat pula, Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 59.
[29] Masdoeki dan M.H. Tirtaamidjaya, Azas dan Dasar, hlm. 90. . Lihat pula, Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 60-61.
[30] Hasan, Hukum Keluarga, hlm. 107. Lihat pula, Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 61.
[31] Dr. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 61.



TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: PROSES PEMBENTUKAN UU PERKAWINAN
Ditulis oleh Mustopa Almurtaqi Makarima
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://akumenuliskarenaalloh.blogspot.com/2013/05/proses-pembentukan-uu-perkawinan.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
Cara Buat Email Di Google | Copyright of Aku Menulis Karena Alloh.