KEDUDUKAN ANAK DALAM HUKUM ANTAR GOLONGAN

Posted by Mustopa Almurtaqi Makarima 0 komentar
Bismillahirrohmanirrohimi


A.    Pengertian Anak dari berbagai Hukum
Berbicara tentang Anak saat ini seperti tidak ada habis-habisnya, malah saya rasa semakin menarik karena di balik itu semua terdapat fakta-fakta menarik tentang permasalahan anak.
Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan anatar seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tidak menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap dikatakan anak.
Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan Nasional. Anak adalah asset bangsa. Masa depan bangsa dan Negara dimasa yang akan datang berada ditangan anak sekarang.Semakin baik keperibadian anak sekarang maka semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa. Begitu pula sebaliknya, apabila keperibadian anak tersebut buruk maka akan bobrok pula kehidupan bangsa yang akan datang.
Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang panjang dalam rentang kehidupan. Bagi kehidupan anak, masa kanak-kanak seringkali dianggap tidak ada akhirnya, sehingga mereka tidak sabar menunggu saat yang didambakan yaitu pengakuan dari masyarakat bahwa mreka bukan lagi anak-ank tapi orang dewasa.
Menurut Hurlock (1980), manusia berkembang melalui beberapa tahapan yang berlangsung secara berurutan, terus menerus dan dalam tempo perkembangan y6ang tertentu, terus menerus dan dalam tempo perkembangan yang tertentu dan bias berlaku umum. Untuk lebih jelasnya tahapan perkembangan tersebut dapat dilihat pada uraian tersebut: Masa pra-lahir: Dimulahi sejak terjadinya konsepsi lahir-Masa jabang bayi : satu hari-dua minggu.- Masa Bayi: dua minggu-satu tahun. Masa anak :masa anak-anak awal: 1 tahun-6 bulan, Anak-anak lahir: 6 tahun-12/13 tahun. - Masa remaja: 12/13 tahun -21 tahun-Masa dewas: 21 tahun-40 tahun. - Masa tengah baya: 40 tahun-60 tahun. - Masa tua: 60 tahun-meninggal.
Untuk meletakan anak kedalam pengertian subjek hukum maka diperlukan unsur-unsur internal maupun eksternal di dalam ruang lingkup untuk menggolongkan status anak tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: Unsur internal pada diri anak. Subjek Hukum: Sebagai manusia anak juga digolongkan sebagai human right yang terkait dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan dimaksud diletakkan pada anak dalam golongan orang yang belum dewasa, seseorang yang berada dalam perwalian, orang yang tidak mampu melakukan perbuatan huku. Persamaan hak dan kewajiban anak: Anak juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa yang diberikan oleh ketentuan perturan perundang-undangan dalam melakukan perbuatan hukum. Hukum akan meletakan anak dalam posisi seabagai perantara hukum untuk dapat disejajarkan dengan kedudukan orang dewasa atau untuk disebut sebagai subjek hukum Unsur eksternal pada diri anak.
Ketentuan hukum atau persamaan kedudukan dalam hukum (equality before the low) dapat memberikan legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untuk berbuat peristiwa hukum yang ditentukan oleh ketentuan peraturan-peraturan hukum itu sendiri, atau meletakan ketentuan hukum yang memuat perincian tentang klasifikasi kemampuan dan kewenangan berbuat peristiwa hukum dari anak yang bersangkutan. - Hak-hak privilegeyang diberikan Negara atau pemerintah yang timbul dari UUD dan peraturan perundang-undangan .
Untuk dapat memahami pengertian tentang anak itu sendiri sehingga mendekati makna yang benar, diperlukan suatu pengelompokan yang dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan, yaitu aspek agam, ekonomi, sosiologis dan hukum.
Pengertian Anak Dari Aspek Agama. Dalam sudut pandang yang dibangun oleh agama khususnya dalam hal ini adalah agama islam, anak merupakan makhluk yang dhaif dan mulia, yang keberadaannya adalah kewenangan dari kehendak Allah SWT dengan melalui proses penciptaan. Oleh karena anak mempunyai kehidupan yang mulia dalam pandangan agama islam, maka anak harus diperlakukan secara manusiawi seperti dioberi nafkah baik lahir maupun batin, sehingga kelak anak tersebut tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia seperti dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan dirinya untuk mencapai kebutuhan hidupnya dimasa mendatang. Dalam pengertian Islam, anak adalah titipan Allah SWT kepada kedua orang tua, masyarakat bangsa dan negara yang kelak akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lila’lamin dan sebagai pewaris ajaran islam pengertian ini mengandung arti bahwa setiap anak yang dilahirkan harus diakui, diyakini, dan diamankan sebagai implementasi amalan yang diterima oleh akan dari orang tua, masyarakat, bangsa dan negara.
Pengertian anak dalam bidang ekonomi mengarah pada konsepsi kesejahteraan anak sebagaimana yang ditetapkan oleh UU no. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yaitu anak berhak atas kepeliharaan dan perlingdungan, baik semasa dalam kendungan, dalam lingkungan masyarakat yang dapat menghambat atau membahayakan perkembanganya, sehingga anak tidak lagui menjadi korban dari ketidakmampuan ekonomi keluarga dan masyarakat.
Pengerian Dari Apek Sosiologis Dalam aspek sosiologis anak diartikan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang senantiasa berinteraksi dalam lingkungan masyarakat bangsa dan negara. Dalam hal ini anak diposisikan sebagai kelompok social yang mempunyai setatus social yang lebih rendah dari masyarakat dilingkungan tempat berinteraksi. Makna anak dalam aspek sosial ini lebih mengarah pada perlindungan kodrati anak itu sendiri. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh sang anak sebagai wujud untuk berekspresi sebagaimana orang dewasa, misalnya terbatasnya kemajuan anak karena anak tersebut berada pada proses pertumbuhan, proses belajar dan proses sosialisasi dari akibat usia yang belum dewasa.
Pengertian Anak dari Aspek Hukum. Dalam hukum kita terdapat pluralisme mengenai pengertian anak. Hal ini adalah sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tersendiri mengenai peraturan anak itu sendiri. Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian anak dari pandangan system hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai objek hukum.
Pengertian anak berdasarkan UUD 1945. Pengertian anak dalam UUD 1945 terdapat di dalam pasal 34 yang berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” Hal ini mengandung makna bahwa anak adalah subjek hukum dari hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak. Dengan kata lain anak tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat Terhadap pengertian anak menurut UUD 1945 ini, Irma Setyowati Soemitri, SH menjabarkan sebagai berikut. “ketentuan UUD 1945, ditegaskan pengaturanya dengan dikeluarkanya UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, yang berarti makna anak (pengertian tentang anak) yaitu seseorang yang harus memproleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rahasia, jasmaniah, maupun sosial.
Pengertian anak berdasarkan UU Peradilan Anak. Anak dalam UU No.3 tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “ Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (deklapan belas) tahun dan belum pernah menikah .” Jadi dalam hal ini pengertian anak dibatsi dengan syarat sebagai berikut: pertama, anak dibatsi dengan umur antara 8 (delapan) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinanya putus karena perceraian, maka sianak dianggap sudah dewasa walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.
Pengertian Anak Menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974. UU No.1 1974 tidak mengatur secara langsung tolak ukur kapan seseorang digolongkan sebagai anak, akan tetapi hal tersebut tersirat dalam pasal 6 ayat (2) yang memuat ketentuan syaratperkawinan bagi orang yang belum mencapai umur 21 tahun mendapati izin kedua orang tuanya.
Pengertian Anak Menurut Hukum Adat/Kebiasaan. Hukum adat tidak ada menentukan siapa yang dikatakan anak-anak dan siapa yang dikatakan orang dewasa. Akan tetapi dalam hukum adat ukuran anak dapat dikatakan dewasa tidak berdasarkan usia tetapi pada ciri tertentu yang nyata. Mr. R. Soepomo, berdasarkan hasil penelitian tentang hukum perdata jawa Barat menyatakan bahwa kedewasaan seseorang dapat dilihat dari cirri-ciri sebagi berikut:
1.      Dapat bekerja sendiri.
2.      Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab.
3.      Dapat mengurus harta kekayaan sendiri.
Pengertian Anak Menurut Hukum Perdata. Pengertian anak menurut hukum perdata dibangun dari beberapa aspek keperdataan yang ada pada anak sebagai seseorang subjek hukum yang tidak mampu. Aspek-aspek tersebut adalah: Status belum dewasa (batas usia) sebagai subjek hukum. Hak-hak anak di dalam hukum perdata.
Pasal 330 KUHPerdata memberikan pengertian anak adalah orang yang belum dewasa dan seseorang yang belum mencapai usia batas legitimasi hukum sebagai subjek hukum atau layaknya subjek hukum nasional yang ditentukan oleh perundang-undangan perdata. Dalam ketentuan hukum perdata anak mempunyai kedudukan sangat luas dan mempunyai peranan yang amat penting, terutama dalam hal memberikan perlindungan terhadap hak-hak keperdataan anak, misalnya dalam masalah dala masalah pembagian harta warisan, sehingga anak yang berada dalam kandungan seseorang dianggap telah dilahirkan bilamana kepentingan si anak menghendaki sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 2 KUHPerdata.
Pengertian Anak Menurut Hukum Pidana. Pengertian anak menurut hukum pidana lebih diutamakan pada pemahaman terahadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki subtansi yang lemah dan di dalam system hukum dipandang sebagai subjek hukum yang dicangkokan dari bentuk pertanggungjawaban sebagaimana layaknya seseorang sebjek hukum yang normal. Pengertian anak dalam aspek hukum pidana menimbulkan aspek hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang untuk membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang pada akhirnya menjadikan anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa depan yang baik.
Pada hakekatnya, kedudukan status pengertian anak dalam hukum pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian sebagai berikut: Ketidak mampuan untuk pertanggung jawaban tindak pidana. Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubtitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tatnegara dengan maksud untuk mensejahterakan anak. Rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri. Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan. Hak anak-anak dalam proses hukum acara pidana. Jika ditilik pada pasal 45 KUHP maka anak didefinisikan sebagai anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 tahun. Oleh sebab itu jika anak tersebut tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman, atau memerintahkan supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman.
Dengan demikian di dalam ketentuan hukum pidana telah memberikan perlindungan terahadap anak-anak yang kehilangan kemerdekaan, karena anak dipandang sebagai subjek hukum yang berada pada usia yang belum dewasa sehingga harus tetap dilindungi segala kepentingan dan perlu mendapatkan hak-hak yang khusus yang diberikan oleh negara atau pemerintah. Jadi dari berbagi defenisi tentang anak di atas sebenarnya dapatlah diambil suatu benang merah yang menggambarkan apa atau siapa sebenarnya yang dimaksud dengan anak dan berbagai konsekwensi yang diperolehnya sebagi penyandang gelar anak tersebut.

B.     Kedudukan Anak dalam Perkawinan Campuran
Majelis Ulama Indonesia menyatakan tidak akan mencabut fatwa tentang kedudukan anak hasil perzinaan dan kedudukan mereka dalam hukum Islam. MUI tetap berpendirian anak di luar nikah tidak dapat memiliki hubungan perdata dengan ayah kandungnya. "Syariat Islam mengatakan bahwa anak hasil zina hanya memiliki hubungan dengan ibunya," kata Ketua MUI Maruf Amin saat dihubungi Tempo, Selasa, 27 Maret 2012.
Maruf menjelaskan pandangan MUI itu tidak akan berubah kecuali Mahkamah Konstitusi dapat memberikan bukti lain berdasarkan hukum syariat Islam. Walau demikian, ia ragu Mahkamah Konstitusi mampu memberikan bukti itu.
"MUI sudah melakukan kajian sesuai syariat Islam dan itu lah hasilnya," ujarnya. Dari hasil kajian tersebut kemudian dikeluarkan fatwa MUI tentang kedudukan anak hasil perzinaan dan kedudukan terhadapnya. Inti fatwa Nomor 11 yang ditetapkan 10 Maret 2012 itu, kata Maruf, bahwa anak hasil zina tidak punya hubungan nasab dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
Berbeda dengan fatwa itu, putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VII/2012 menyebutkan, anak lahir luar nikah memiliki hubungan perdata dengan lelaki yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan sebagai ayah biologisnya. Maruf menilai putusan itu tidak sesuai syariat Islam karena didasarkan pertimbangan pemikiran manusia tanpa mempertimbangkan hukum agama.
Hal senada diucapkan Kepala Sekretaris MUI Muhammad Isa Anshary. Ia mengatakan pandangan MUI dalam fatwa tersebut tidak akan berubah. Sekalipun Kementerian Agama akan mempertemukan MUI dengan Mahkamah Konstitusi untuk menyelaraskan pandangan kedua institusi berbeda tersebut. "MUI akan berpegang teguh dengan Al Quran dan Hadist," kata dia.

1.       Status hukum anak menjadi Warga Negara Indonesia
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita WNA dengan pria WNI (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya. Kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami meninggal dunia dan anak-anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak-anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri) meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami.

2.      Status hukum anak menjadi Warga Negara Asing
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara asing. [26] Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 Tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.
Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).
Pasal 5
(1)   Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
(2)   Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan pada:
Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.
Pasal 59
(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas kedudukan anak dalam perkawinan campuran dinyatakan bahwa, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, kini sama-sama telah diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya apakah masih tetap ingin menjadi warga Negara Indonesia ataukah akan mengikuti kewarganegaraan orang tuanya yang bukan Indonesia.
Kedudukan anak dalam pengertian Islam, yaitu anak adalah titipan Allah kepada orang tua, masyarakat, bangsa dan Negara pewaris dari ajaran Islam (Wahyu Allah SWT) yang kelak akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lilalamin. Atau juga Anak adalah bunga hidup. Anak adalah harum-haruman rumah tangga. Obat jerih pelarai demam. Kepada anak bergantung pengharapan keluarga dikemudian hari. Dialah ujung cita-cita dalam segenap kepayahan.

C.     Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
Apabila suatu perkawinan memperoleh keturunan (anak), maka perkawinan tersebut tidak hanya menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan istri, akan tetapi juga menimbulkan hak dan kewajian antara suami istri yang bersangkutan sebagai orang tua dan anak-anaknya. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya ini dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 yang isinya diuraikan sebagai berikut :


Dalam Pasal 45 ditentukan bahwa :
"Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua itu putus".
Di samping kewajiban untuk memelihara dan mendidik tersebut, orang tua juga menguasai anaknya yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Kekuasaan orang tua itu meliputi juga untuk mewakili anak yang belum dewasa itu dalam melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Meskipun demikian, kekuasaan orang tua ada batasnya yaitu tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya yang belum berumum 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua terhadap anaknya dapat dicabut untuk waktu tertentu, apabila ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya atau berkelakuan buruk sekali. Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap seorang anaknya atau lebih ini dilakukan dengan keputusan pengadilan atas permintaan orang tua yang lain, keluarga dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang. Kekuasaan orang tua yang dicabut ini tidak temasuk kekuasaan sebagai wali nikah. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, namun mereka masih tetap berkewajiban untuk memberikan biaya pemeliharaan anaknya tersebut.
Anak tidak hanya mempuyai hak terhadap orang tuanya, akan tetapi juga mempunyai kewajiban. Kewajiban anak yang utama terhadap orang tuanya adalah menghormati dan mentaati kehendak yang baik dan orang tuanya. Bilamana anak telah dewasa, ia wajib memeliharanya. Bahkan anak juga berkewajiban untuk memelihara keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan bantuannya. Dengan demikian terlihat ada yang hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua orang tua dengan anak-anaknya.

D.    Perlindungan Anak dalam Perkawinan Campuran
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 secara substansi jauh lebih maju dan demokratis dari pada Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, karena dalam pembentukan Undang-Undang tersebut telah mengakomodasi berbagai pemikiran yang mengarah pada pemberian perlindungan warganegaranya dengan memperhatikan kesetaraan gender, tapi yang tidak kalah penting adalah pemberian perlindungan terhadap anak-anak hasil perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Contoh perlindungan terhadap anak oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 adalah pemberian status kewarganegaraan ganda terbatas kepada anak hasil perkawinan campuran sampai dengan batas usia 18 tahun dan setelah sampai batas usia tersebut, ia diwajibkan memilih salah satu kewarganegaraannya, apakah tetap mempertahankan kewarganegaraan indonesianya ataukah memilih kewarganegaraan asingnya. Dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya (Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958), ketentuan semacam itu tidak diatur, karena status anak hasil perkawinan campuran ditentukan oleh garis keturunan ayahnya. Hal ini sesuai dengan asas yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, yaitu asas ius sanguinis sebagai asas utama. Ketika seorang anak hasil dari perkawinan campuran itu menghendaki kewarganegaraan Indonesia, Ia diharuskan melakukannya melalui proses naturalisasi setelah anak tersebut mencapai batas usia dewasa (21 tahun).


E.     Batasan Minimum Usia Anak Untuk dapat Kawin
Pasal 7 ayat (1) UU memuat batasan minimum usia untuk dapat kawin bagi pria adalah 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enambelas) tahun.
Menurut Prof. H Hilman Hadikusuma SH, menarik batas antara belum dewasa dan sudah dewasa sebenarnya tidak perlu dipermaslahkan. Hal ini dikarenakan pada kenyataanya walaupun orang belum dewasa namun ia telah melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum dewasa telah melakukan jual beli, berdagang dan sebagainya walaupun ia belum kawin.
Dalam pasal 47 ayat (1) dikatan bahwa anak yang belumn mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melakukan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya. Pasal 50 ayat (1) menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernak kawin, tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali. Dari pasal-pasal tersebut di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa anak dalam UU No1 tahun 1974 adalah mereka yang belum dewasa dan sudah dewasa yaitu 16 (enam belas) tahun untuk perempuan dan 19 (sembilan belas) tahun untuk laki-laki.

KESIMPULAN

Anak merupakan makhluk yang dhaif dan mulia, yang keberadaannya adalah kewenangan dari kehendak Allah SWT dengan melalui proses penciptaan. Oleh karena anak mempunyai kehidupan yang mulia dalam pandangan agama islam, maka anak harus diperlakukan secara manusiawi seperti dioberi nafkah baik lahir maupun batin, sehingga kelak anak tersebut tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia seperti dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan dirinya untuk mencapai kebutuhan hidupnya dimasa mendatang,  menurut saya anak adalah sebagai salah satu peran yang terpenting dalam lingkungan keluarga, karena si anak sebagi pigur atau penerus orang tuanya.
Adapaun berbicara masalah kedudukan anak, anak bisa dikategorikan dengan beberapa sebutan dalam hal kedudukannya. Kedudukan anak sebagai penerus kedua orang tuanya, Anak adalah bunga hidup. Anak adalah harum-haruman rumah tangga. Obat jerih pelarai demam. Kepada anak bergantung pengharapan keluarga dikemudian hari. Dialah ujung cita-cita dalam segenap kepayahan. Maka dengan ini pasti ada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh anak dan orang tuanya. Anak berkewajiban mentaati kedua orang tuanya dan orang tua berkewajiban mengasuh, membingbing, membina anak agar menjadi anak yang taat kepada orang tuanya, kepada Tuhannya atau kepercayaannya dan kepada negara. Adapun Pasal 7 ayat (1) UU memuat batasan minimum usia untuk dapat kawin bagi pria adalah 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enambelas) tahun.





DAFTAR PUSTAKA
Internet
Mixed Couple Indonesia, Masalah yang saat ini dihadapi keluarga perkawinan campuran, http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=%20publisher&op=view%20article&ar
tid=46, diakses 29 Maret 2011.
http://www.tempo.co/read/news/2012/03/27/063392913/MUI-Tak-Akan-Cabut-Fatwa-Kedudukan-Anak-Luar-Nikah.
Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

BUKU
Hamka, Lembaga Hidup, PT. Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983, hlm. 223.
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian I (Buku ke-7), (Bandung. Alumni1995, hlm. 38).
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009.
Gautama, Sudargo, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian I (Buku ke-7), Penerbit Alumni, Bandung, 1995.
J.G. Starke, Pengatar Hukum Internasional, Edisi Kesembilan, Akasara Persada, Jakarta, 1989.
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata International Suatu Orientasi, Raja Grafindo Persada, Jakartaa, 1997.
Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata; Suatu Pengantar, Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005.
Mr B. TER HAAR BZN terjemahan K.Ng Soebakti Poespono. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Cet. II....jakarta: Pradnya Paramitra, 1994

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: KEDUDUKAN ANAK DALAM HUKUM ANTAR GOLONGAN
Ditulis oleh Mustopa Almurtaqi Makarima
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://akumenuliskarenaalloh.blogspot.com/2013/05/kedudukan-anak-dalam-hukum-antar.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
Cara Buat Email Di Google | Copyright of Aku Menulis Karena Alloh.