KEDUDUKAN ANAK DALAM HUKUM ANTAR GOLONGAN
0
komentar
A.
Pengertian Anak dari berbagai Hukum
Berbicara tentang Anak saat ini seperti tidak
ada habis-habisnya, malah saya rasa semakin menarik karena di balik itu semua
terdapat fakta-fakta menarik tentang permasalahan anak.
Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang
dilahirkan dari perkawinan anatar seorang perempuan dengan seorang laki-laki
dengan tidak menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun
tidak pernah melakukan pernikahan tetap dikatakan anak.
Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu
generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber
daya manusia bagi pembangunan Nasional. Anak adalah asset bangsa. Masa depan
bangsa dan Negara dimasa yang akan datang berada ditangan anak sekarang.Semakin
baik keperibadian anak sekarang maka semakin baik pula kehidupan masa depan
bangsa. Begitu pula sebaliknya, apabila keperibadian anak tersebut buruk maka
akan bobrok pula kehidupan bangsa yang akan datang.
Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa
kanak-kanak merupakan masa yang panjang dalam rentang kehidupan. Bagi kehidupan
anak, masa kanak-kanak seringkali dianggap tidak ada akhirnya, sehingga mereka
tidak sabar menunggu saat yang didambakan yaitu pengakuan dari masyarakat bahwa
mreka bukan lagi anak-ank tapi orang dewasa.
Menurut Hurlock (1980), manusia berkembang
melalui beberapa tahapan yang berlangsung secara berurutan, terus menerus dan
dalam tempo perkembangan y6ang tertentu, terus menerus dan dalam tempo
perkembangan yang tertentu dan bias berlaku umum. Untuk lebih jelasnya tahapan
perkembangan tersebut dapat dilihat pada uraian tersebut: Masa pra-lahir:
Dimulahi sejak terjadinya konsepsi lahir-Masa jabang bayi : satu hari-dua
minggu.- Masa Bayi: dua minggu-satu tahun. Masa anak :masa anak-anak awal: 1
tahun-6 bulan, Anak-anak lahir: 6 tahun-12/13 tahun. - Masa remaja: 12/13 tahun
-21 tahun-Masa dewas: 21 tahun-40 tahun. - Masa tengah baya: 40 tahun-60 tahun.
- Masa tua: 60 tahun-meninggal.
Untuk meletakan anak kedalam pengertian subjek
hukum maka diperlukan unsur-unsur internal maupun eksternal di dalam ruang
lingkup untuk menggolongkan status anak tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah
sebagai berikut: Unsur internal pada diri anak. Subjek Hukum: Sebagai manusia
anak juga digolongkan sebagai human right yang terkait dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ketentuan dimaksud diletakkan pada anak dalam
golongan orang yang belum dewasa, seseorang yang berada dalam perwalian, orang
yang tidak mampu melakukan perbuatan huku. Persamaan hak dan kewajiban anak: Anak
juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa yang diberikan
oleh ketentuan perturan perundang-undangan dalam melakukan perbuatan hukum.
Hukum akan meletakan anak dalam posisi seabagai perantara hukum untuk dapat
disejajarkan dengan kedudukan orang dewasa atau untuk disebut sebagai subjek
hukum Unsur eksternal pada diri anak.
Ketentuan hukum atau persamaan kedudukan dalam
hukum (equality before the low) dapat memberikan legalitas formal terhadap anak
sebagai seorang yang tidak mampu untuk berbuat peristiwa hukum yang ditentukan
oleh ketentuan peraturan-peraturan hukum itu sendiri, atau meletakan ketentuan
hukum yang memuat perincian tentang klasifikasi kemampuan dan kewenangan
berbuat peristiwa hukum dari anak yang bersangkutan. - Hak-hak privilegeyang
diberikan Negara atau pemerintah yang timbul dari UUD dan peraturan
perundang-undangan .
Untuk dapat memahami pengertian tentang anak
itu sendiri sehingga mendekati makna yang benar, diperlukan suatu pengelompokan
yang dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan, yaitu aspek agam, ekonomi,
sosiologis dan hukum.
Pengertian Anak Dari Aspek Agama. Dalam sudut
pandang yang dibangun oleh agama khususnya dalam hal ini adalah agama islam,
anak merupakan makhluk yang dhaif dan mulia, yang keberadaannya adalah
kewenangan dari kehendak Allah SWT dengan melalui proses penciptaan. Oleh
karena anak mempunyai kehidupan yang mulia dalam pandangan agama islam, maka
anak harus diperlakukan secara manusiawi seperti dioberi nafkah baik lahir
maupun batin, sehingga kelak anak tersebut tumbuh menjadi anak yang berakhlak
mulia seperti dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan dirinya untuk
mencapai kebutuhan hidupnya dimasa mendatang. Dalam pengertian Islam, anak
adalah titipan Allah SWT kepada kedua orang tua, masyarakat bangsa dan negara
yang kelak akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lila’lamin dan sebagai
pewaris ajaran islam pengertian ini mengandung arti bahwa setiap anak yang
dilahirkan harus diakui, diyakini, dan diamankan sebagai implementasi amalan
yang diterima oleh akan dari orang tua, masyarakat, bangsa dan negara.
Pengertian anak dalam bidang ekonomi mengarah
pada konsepsi kesejahteraan anak sebagaimana yang ditetapkan oleh UU no. 4
tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yaitu anak berhak atas kepeliharaan dan
perlingdungan, baik semasa dalam kendungan, dalam lingkungan masyarakat yang
dapat menghambat atau membahayakan perkembanganya, sehingga anak tidak lagui
menjadi korban dari ketidakmampuan ekonomi keluarga dan masyarakat.
Pengerian Dari Apek Sosiologis Dalam aspek
sosiologis anak diartikan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang senantiasa berinteraksi
dalam lingkungan masyarakat bangsa dan negara. Dalam hal ini anak diposisikan
sebagai kelompok social yang mempunyai setatus social yang lebih rendah dari
masyarakat dilingkungan tempat berinteraksi. Makna anak dalam aspek sosial ini
lebih mengarah pada perlindungan kodrati anak itu sendiri. Hal ini dikarenakan
adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh sang anak sebagai wujud
untuk berekspresi sebagaimana orang dewasa, misalnya terbatasnya kemajuan anak
karena anak tersebut berada pada proses pertumbuhan, proses belajar dan proses
sosialisasi dari akibat usia yang belum dewasa.
Pengertian Anak dari Aspek Hukum. Dalam hukum
kita terdapat pluralisme mengenai pengertian anak. Hal ini adalah sebagai
akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tersendiri
mengenai peraturan anak itu sendiri. Pengertian anak dalam kedudukan hukum
meliputi pengertian anak dari pandangan system hukum atau disebut kedudukan
dalam arti khusus sebagai objek hukum.
Pengertian anak berdasarkan UUD 1945.
Pengertian anak dalam UUD 1945 terdapat di dalam pasal 34 yang berbunyi: “Fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” Hal ini mengandung makna
bahwa anak adalah subjek hukum dari hukum nasional yang harus dilindungi,
dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak. Dengan kata lain anak
tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat Terhadap pengertian
anak menurut UUD 1945 ini, Irma Setyowati Soemitri, SH menjabarkan sebagai
berikut. “ketentuan UUD 1945, ditegaskan pengaturanya dengan dikeluarkanya UU
No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, yang berarti makna anak
(pengertian tentang anak) yaitu seseorang yang harus memproleh hak-hak yang
kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan
wajar baik secara rahasia, jasmaniah, maupun sosial.
Pengertian anak berdasarkan UU Peradilan Anak.
Anak dalam UU No.3 tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “
Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan)
tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (deklapan belas) tahun dan belum
pernah menikah .” Jadi dalam hal ini pengertian anak dibatsi dengan syarat
sebagai berikut: pertama, anak dibatsi dengan umur antara 8 (delapan) sampai
dengan 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah
kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan
kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau
perkawinanya putus karena perceraian, maka sianak dianggap sudah dewasa
walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.
Pengertian Anak Menurut UU Perkawinan No.1
Tahun 1974. UU No.1 1974 tidak mengatur secara langsung tolak ukur kapan
seseorang digolongkan sebagai anak, akan tetapi hal tersebut tersirat dalam
pasal 6 ayat (2) yang memuat ketentuan syaratperkawinan bagi orang yang belum
mencapai umur 21 tahun mendapati izin kedua orang tuanya.
Pengertian Anak Menurut Hukum Adat/Kebiasaan.
Hukum adat tidak ada menentukan siapa yang dikatakan anak-anak dan siapa yang
dikatakan orang dewasa. Akan tetapi dalam hukum adat ukuran anak dapat
dikatakan dewasa tidak berdasarkan usia tetapi pada ciri tertentu yang nyata.
Mr. R. Soepomo, berdasarkan hasil penelitian tentang hukum perdata jawa Barat
menyatakan bahwa kedewasaan seseorang dapat dilihat dari cirri-ciri sebagi
berikut:
1.
Dapat bekerja sendiri.
2.
Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan
dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab.
3.
Dapat mengurus harta kekayaan sendiri.
Pengertian Anak Menurut Hukum Perdata.
Pengertian anak menurut hukum perdata dibangun dari beberapa aspek keperdataan
yang ada pada anak sebagai seseorang subjek hukum yang tidak mampu. Aspek-aspek
tersebut adalah: Status belum dewasa (batas usia) sebagai subjek hukum. Hak-hak
anak di dalam hukum perdata.
Pasal 330 KUHPerdata memberikan pengertian
anak adalah orang yang belum dewasa dan seseorang yang belum mencapai usia
batas legitimasi hukum sebagai subjek hukum atau layaknya subjek hukum nasional
yang ditentukan oleh perundang-undangan perdata. Dalam ketentuan hukum perdata
anak mempunyai kedudukan sangat luas dan mempunyai peranan yang amat penting,
terutama dalam hal memberikan perlindungan terhadap hak-hak keperdataan anak,
misalnya dalam masalah dala masalah pembagian harta warisan, sehingga anak yang
berada dalam kandungan seseorang dianggap telah dilahirkan bilamana kepentingan
si anak menghendaki sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 2 KUHPerdata.
Pengertian Anak Menurut Hukum Pidana.
Pengertian anak menurut hukum pidana lebih diutamakan pada pemahaman terahadap
hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki subtansi yang
lemah dan di dalam system hukum dipandang sebagai subjek hukum yang dicangkokan
dari bentuk pertanggungjawaban sebagaimana layaknya seseorang sebjek hukum yang
normal. Pengertian anak dalam aspek hukum pidana menimbulkan aspek hukum
positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang untuk
membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang pada akhirnya menjadikan anak tersebut
berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa depan yang baik.
Pada hakekatnya, kedudukan status pengertian
anak dalam hukum pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian sebagai berikut:
Ketidak mampuan untuk pertanggung jawaban tindak pidana. Pengembalian hak-hak
anak dengan jalan mensubtitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum
keperdataan, tatnegara dengan maksud untuk mensejahterakan anak. Rehabilitasi,
yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikan mental spiritual akibat dari
tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri. Hak-hak untuk menerima
pelayanan dan asuhan. Hak anak-anak dalam proses hukum acara pidana. Jika
ditilik pada pasal 45 KUHP maka anak didefinisikan sebagai anak yang belum
dewasa apabila belum berumur 16 tahun. Oleh sebab itu jika anak tersebut
tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah
itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaanya dengan tidak
dikenakan suatu hukuman, atau memerintahkan supaya diserahkan kepada pemerintah
dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman.
Dengan demikian di dalam ketentuan hukum
pidana telah memberikan perlindungan terahadap anak-anak yang kehilangan
kemerdekaan, karena anak dipandang sebagai subjek hukum yang berada pada usia
yang belum dewasa sehingga harus tetap dilindungi segala kepentingan dan perlu
mendapatkan hak-hak yang khusus yang diberikan oleh negara atau pemerintah.
Jadi dari berbagi defenisi tentang anak di atas sebenarnya dapatlah diambil
suatu benang merah yang menggambarkan apa atau siapa sebenarnya yang dimaksud
dengan anak dan berbagai konsekwensi yang diperolehnya sebagi penyandang gelar
anak tersebut.
B.
Kedudukan Anak dalam Perkawinan Campuran
Majelis Ulama Indonesia menyatakan tidak akan
mencabut fatwa tentang kedudukan anak hasil perzinaan dan kedudukan mereka
dalam hukum Islam. MUI tetap berpendirian anak di luar nikah tidak dapat
memiliki hubungan perdata dengan ayah kandungnya. "Syariat Islam
mengatakan bahwa anak hasil zina hanya memiliki hubungan dengan ibunya,"
kata Ketua MUI Maruf Amin saat dihubungi Tempo, Selasa, 27 Maret 2012.
Maruf menjelaskan pandangan MUI itu tidak akan
berubah kecuali Mahkamah Konstitusi dapat memberikan bukti lain berdasarkan
hukum syariat Islam. Walau demikian, ia ragu Mahkamah Konstitusi mampu
memberikan bukti itu.
"MUI sudah melakukan kajian sesuai
syariat Islam dan itu lah hasilnya," ujarnya. Dari hasil kajian tersebut
kemudian dikeluarkan fatwa MUI tentang kedudukan anak hasil perzinaan dan
kedudukan terhadapnya. Inti fatwa Nomor 11 yang ditetapkan 10 Maret 2012 itu,
kata Maruf, bahwa anak hasil zina tidak punya hubungan nasab dengan lelaki yang
menyebabkan kelahirannya.
Berbeda dengan fatwa itu, putusan Mahkamah
Konstitusi No 46/PUU-VII/2012 menyebutkan, anak lahir luar nikah memiliki
hubungan perdata dengan lelaki yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan
sebagai ayah biologisnya. Maruf menilai putusan itu tidak sesuai syariat Islam
karena didasarkan pertimbangan pemikiran manusia tanpa mempertimbangkan hukum
agama.
Hal senada diucapkan Kepala Sekretaris MUI
Muhammad Isa Anshary. Ia mengatakan pandangan MUI dalam fatwa tersebut tidak
akan berubah. Sekalipun Kementerian Agama akan mempertemukan MUI dengan
Mahkamah Konstitusi untuk menyelaraskan pandangan kedua institusi berbeda
tersebut. "MUI akan berpegang teguh dengan Al Quran dan Hadist," kata
dia.
1. Status hukum anak menjadi Warga Negara Indonesia
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan
antara seorang wanita WNA dengan pria WNI (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun
1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya. Kalaupun Ibu dapat
memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan
Indonesianya. Bila suami meninggal dunia dan anak-anak masih dibawah umur tidak
jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak-anak nya yang menjadi WNI di
Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri) meningggal tidak jelas
apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami.
2. Status hukum anak menjadi Warga Negara Asing
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan
antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara asing. [26] Anak
tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus
dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal
Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak
murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh
anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 Tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang
ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang
masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal
ini sulit dilakukan.
Masih terkait dengan kewarganegaraan anak,
dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan
hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya
dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya
kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa
(belum berusia 18 tahun atau belum menikah) menjadi hilang (apabila anak
tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).
Pasal 5
(1)
Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar
perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin
diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui
sebagai Warga Negara Indonesia.
(2)
Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia
5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing
berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dijelaskan pada:
Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak
diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.
Pasal 59
(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai
akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik
mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas
kedudukan anak dalam perkawinan campuran dinyatakan bahwa, anak yang lahir dari
perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari
perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, kini sama-sama telah diakui
sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda,
dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan
pilihannya apakah masih tetap ingin menjadi warga Negara Indonesia ataukah akan
mengikuti kewarganegaraan orang tuanya yang bukan Indonesia.
Kedudukan anak dalam pengertian Islam, yaitu
anak adalah titipan Allah kepada orang tua, masyarakat, bangsa dan Negara
pewaris dari ajaran Islam (Wahyu Allah SWT) yang kelak akan memakmurkan dunia
sebagai rahmatan lilalamin. Atau juga Anak adalah bunga hidup. Anak adalah
harum-haruman rumah tangga. Obat jerih pelarai demam. Kepada anak bergantung
pengharapan keluarga dikemudian hari. Dialah ujung cita-cita dalam segenap
kepayahan.
C.
Hak dan
kewajiban antara orang tua dan anak
Apabila suatu perkawinan memperoleh keturunan
(anak), maka perkawinan tersebut tidak hanya menimbulkan hak dan kewajiban
antara suami dan istri, akan tetapi juga menimbulkan hak dan kewajian antara
suami istri yang bersangkutan sebagai orang tua dan anak-anaknya. Hak dan
kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya ini dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 diatur pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 yang isinya diuraikan
sebagai berikut :
Dalam Pasal 45 ditentukan bahwa :
"Kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat
berdiri sendiri kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua
orang tua itu putus".
Di samping kewajiban untuk memelihara dan
mendidik tersebut, orang tua juga menguasai anaknya yang belum mencapai umur 18
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Kekuasaan orang tua itu
meliputi juga untuk mewakili anak yang belum dewasa itu dalam melakukan
perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Meskipun demikian, kekuasaan orang tua ada
batasnya yaitu tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang
tetap milik anaknya yang belum berumum 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua
terhadap anaknya dapat dicabut untuk waktu tertentu, apabila ia sangat
melalaikan kewajibannya terhadap anaknya atau berkelakuan buruk sekali.
Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap seorang anaknya atau lebih ini
dilakukan dengan keputusan pengadilan atas permintaan orang tua yang lain,
keluarga dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau
pejabat yang berwenang. Kekuasaan orang tua yang dicabut ini tidak temasuk
kekuasaan sebagai wali nikah. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, namun
mereka masih tetap berkewajiban untuk memberikan biaya pemeliharaan anaknya
tersebut.
Anak tidak hanya mempuyai hak terhadap orang
tuanya, akan tetapi juga mempunyai kewajiban. Kewajiban anak yang utama
terhadap orang tuanya adalah menghormati dan mentaati kehendak yang baik dan
orang tuanya. Bilamana anak telah dewasa, ia wajib memeliharanya. Bahkan anak
juga berkewajiban untuk memelihara keluarga dalam garis lurus ke atas, bila
mereka memerlukan bantuannya. Dengan demikian terlihat ada yang hak dan
kewajiban secara timbal balik antara kedua orang tua dengan anak-anaknya.
D.
Perlindungan Anak dalam Perkawinan Campuran
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 secara substansi jauh lebih maju
dan demokratis dari pada Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, karena dalam
pembentukan Undang-Undang tersebut telah mengakomodasi berbagai pemikiran yang
mengarah pada pemberian perlindungan warganegaranya dengan memperhatikan
kesetaraan gender, tapi yang tidak kalah penting adalah pemberian perlindungan
terhadap anak-anak hasil perkawinan campuran antara warga negara Indonesia
dengan warga negara asing. Contoh perlindungan terhadap anak oleh Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 adalah pemberian status kewarganegaraan ganda terbatas
kepada anak hasil perkawinan campuran sampai dengan batas usia 18 tahun dan
setelah sampai batas usia tersebut, ia diwajibkan memilih salah satu
kewarganegaraannya, apakah tetap mempertahankan kewarganegaraan indonesianya
ataukah memilih kewarganegaraan asingnya. Dalam peraturan perundang-undangan
sebelumnya (Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958), ketentuan semacam itu tidak
diatur, karena status anak hasil perkawinan campuran ditentukan oleh garis
keturunan ayahnya. Hal ini sesuai dengan asas yang dianut oleh Undang-Undang
Nomor 62 Tahun 1958, yaitu asas ius sanguinis sebagai asas utama. Ketika
seorang anak hasil dari perkawinan campuran itu menghendaki kewarganegaraan
Indonesia, Ia diharuskan melakukannya melalui proses naturalisasi setelah anak
tersebut mencapai batas usia dewasa (21 tahun).
E.
Batasan Minimum Usia Anak Untuk dapat Kawin
Pasal 7 ayat (1) UU memuat batasan minimum
usia untuk dapat kawin bagi pria adalah 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16
(enambelas) tahun.
Menurut Prof. H Hilman Hadikusuma SH, menarik
batas antara belum dewasa dan sudah dewasa sebenarnya tidak perlu
dipermaslahkan. Hal ini dikarenakan pada kenyataanya walaupun orang belum
dewasa namun ia telah melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum
dewasa telah melakukan jual beli, berdagang dan sebagainya walaupun ia belum
kawin.
Dalam pasal 47 ayat (1) dikatan bahwa anak
yang belumn mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melakukan
pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut
kekuasaan orang tuanya. Pasal 50 ayat (1) menyatakan bahwa anak yang belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernak kawin, tidak berada di
bawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali. Dari pasal-pasal
tersebut di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa anak dalam UU No1 tahun 1974
adalah mereka yang belum dewasa dan sudah dewasa yaitu 16 (enam belas) tahun
untuk perempuan dan 19 (sembilan belas) tahun untuk laki-laki.
KESIMPULAN
Anak merupakan makhluk yang dhaif dan mulia, yang keberadaannya adalah
kewenangan dari kehendak Allah SWT dengan melalui proses penciptaan. Oleh
karena anak mempunyai kehidupan yang mulia dalam pandangan agama islam, maka
anak harus diperlakukan secara manusiawi seperti dioberi nafkah baik lahir
maupun batin, sehingga kelak anak tersebut tumbuh menjadi anak yang berakhlak
mulia seperti dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan dirinya untuk
mencapai kebutuhan hidupnya dimasa mendatang,
menurut saya anak adalah sebagai salah satu peran yang terpenting dalam
lingkungan keluarga, karena si anak sebagi pigur atau penerus orang tuanya.
Adapaun berbicara masalah kedudukan anak, anak bisa dikategorikan dengan
beberapa sebutan dalam hal kedudukannya. Kedudukan anak sebagai penerus kedua
orang tuanya, Anak adalah bunga hidup. Anak adalah harum-haruman rumah tangga.
Obat jerih pelarai demam. Kepada anak bergantung pengharapan keluarga
dikemudian hari. Dialah ujung cita-cita dalam segenap kepayahan. Maka dengan
ini pasti ada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh anak dan orang
tuanya. Anak berkewajiban mentaati kedua orang tuanya dan orang tua
berkewajiban mengasuh, membingbing, membina anak agar menjadi anak yang taat
kepada orang tuanya, kepada Tuhannya atau kepercayaannya dan kepada negara.
Adapun Pasal 7 ayat (1) UU memuat batasan minimum usia untuk dapat kawin bagi
pria adalah 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enambelas) tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Internet
Mixed Couple
Indonesia, Masalah yang saat ini dihadapi
keluarga perkawinan campuran, http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=%20publisher&op=view%20article&ar
tid=46, diakses 29 Maret 2011.
http://www.tempo.co/read/news/2012/03/27/063392913/MUI-Tak-Akan-Cabut-Fatwa-Kedudukan-Anak-Luar-Nikah.
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
BUKU
Hamka, Lembaga Hidup, PT. Pustaka Panjimas,
Jakarta, 1983, hlm. 223.
Sudargo
Gautama, Hukum Perdata Internasional
Indonesia, Jilid III Bagian I (Buku ke-7),
(Bandung. Alumni1995, hlm. 38).
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar
Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu
Hukum Tata Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009.
Gautama, Sudargo, Hukum Perdata
Internasional Indonesia, Jilid III Bagian I (Buku ke-7), Penerbit Alumni,
Bandung, 1995.
J.G. Starke, Pengatar Hukum
Internasional, Edisi Kesembilan, Akasara Persada, Jakarta, 1989.
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata
International Suatu Orientasi, Raja Grafindo Persada, Jakartaa, 1997.
Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan
Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata; Suatu Pengantar, Jakarta: Gitama
Jaya Jakarta, 2005.
Mr B. TER HAAR BZN terjemahan K.Ng Soebakti Poespono. Asas-Asas dan
Susunan Hukum Adat. Cet. II....jakarta: Pradnya Paramitra, 1994
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: KEDUDUKAN ANAK DALAM HUKUM ANTAR GOLONGAN
Ditulis oleh Mustopa Almurtaqi Makarima
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://akumenuliskarenaalloh.blogspot.com/2013/05/kedudukan-anak-dalam-hukum-antar.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Mustopa Almurtaqi Makarima
Rating Blog 5 dari 5