MAKALAH ETIKA PROFESI HUKUM
0
komentar
Bismillahirrohmanirrohimi
A.
Latar
Belakang Hukum
Merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat manusia sehingga di dalam masyarakat selalu ada sistem hukum, ada
masyarakat ada norma hukum (ubi societas ibi ius). Hal tersebut dimaksudkan oleh
Cicero bahwa tata hukum harus mengacu pada penghormatan dan perlindungan bagi
keluhuran martabat manusia. Hukum berupaya menjaga dan mengatur keseimbangan
antara kepentingan atau hasrat individu yang egoistis dan kepentingan bersama
agar tidak terjadi konflik. Kehadiran hukum justru mau menegakkan keseimbangan
perlakuan antara hak perorangan dan hak bersama. Oleh karena itu, secara hakiki
hukum haruslah pasti dan adil sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Hal tersebut menunjukkan pada hakikatnya para penegak hukum (hakim, jaksa,
Notaris, Advokat, dan polisi) adalah pembela kebenaran dan keadilan sehingga
para penegak hukum harus menjalankan dengan itikad baik dan ikhlas, sehingga
profesi hukum merupakan profesi terhormat dan luhur (officium nobile). Oleh
karena mulia dan terhormat, profesional hukum sudah semestinya merasakan
profesi ini sebagai pilihan dan sekaligus panggilan hidupnya untuk melayani
sesama di bidang hukum. Akan tetapi, ironisnya para profesi hukum kurang
memiliki kesadaran dan kepedulian sosial. Hal ini dapat dilihat para pakar
hukum menjadi orang-orang sewaan yang dibayar mahal oleh kliennya, pelayanan
hanya diberikan kepada orang-orang yang berdiut saja.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas kita dapat merumuskan beberapa pokok
masalah, yaitu sebagai berikut:
1.
Samapi dimana batas kewenangan Notaris?
2.
Sampai dimana batas kewenangan Advokat?
PEMBAHASAN
A. Batas
Kewengan Notaris
1. Notaris
Sebagai Pejabat Yang Membuat Akta. Setiap masyarakat membutuhkan seseorang
(figur) yang keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya yang
tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberikan jaminan dan sebagai alat
bukti yang kuat. Seorang ahli yang tidak memihak dan penyuluhan hukum yang
tidak ada cacatnya (onreukbaar/unimpeachable), yang tutup mulut dalam membuat
suatu perjanjian yang dapat melindungi di hari-hari mendatang. Hal ini berbeda
dengan peran dari seorang advokat, dimana profesi advokat lebih menekankan pada
pembelaan hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, sedangkan profesi
Notaris harus berperan untuk mencegah sedini mungkin kesulitan yang terjadi
dimasa akan datang. Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (UUJN) menyatakan bahwa yang disebut sebagai Notaris adalah
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Notaris adalah pejabat umum yang
satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai suatu perbuatan,
perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh
yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,
menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan
dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Notaris
wajib untuk merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak
boleh menyerahkan salinan-salinan dari akta-akta kepada orang-orang yang tidak
berkepentingan. Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu akta otentik
ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh
atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
Maka jelas sudah bahwa salah satu tugas dan tanggung jawab Notaris adalah
membuat akta otentik, baik yang ditentukan peraturan perundang-undangan maupun
oleh keinginan orang tertentu dan badan hukum yang memerlukannya. Profesi
Notaris adalah profesi semi publik. Jabatan Notaris adalah jabatan publik namun
lingkup kerja mereka berada dalam konstruksi hukum privat. Sama seperti
advokat, Notaris adalah penyedia jasa hukum yang bekerja untuk kepentingan
klien. Dalam konteks ini, hierarki birokratis tidak mendukung
pekerjaan-pekerjaan mereka. Profesi ini memang diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun aturan hukum positif ini juga merupakan profesi
terbuka, dalam arti setiap orang bisa bertahan, atau keluar dari profesi
tersebut setiap saat. Meskipun bukan profesi yang high grid, profesi Notaris
adalah jenis profesi yang high group. Kecenderungan tersebut tampak lebih jelas
dari keberadaan peraturan perundang-undang yang makin memeberi peran pada
asosiasi-asosiasi profesi. Peran Notaris tidak sekedar pada pembinaan anggota
profesi, melainkan juga sampai pada penetapan standar kualifikasi profesi dan
pemberian rekomendasi izin atau larangan praktik. Menurut Dr. Habib Adjie,
S.H., M.Hum. Notaris merupakan suatu jabatan publik yang mempunyai
karakteristik:
1. Sebagai
jabatan, artinya UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan jabatan Notaris,
sehingga UUJN merupakan satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang
yang mengatur jabatan Notaris di Indonesia.
2. Notaris
mempunyai kewenangan tertentu, artinya setiap wewenang yang diberikan harus
dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan
baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Wewenang tersebut
mencakup dalam pasal 15 ayat (1) UUJN yang menyebutkan antara lain membuat akta
bukan membuat surat, seperti Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)
atau membuat surat lain, seperti Surat Keterangan Waris (SKW).
3. Diangkat dan
diberhentikan oleh pemerintah, artinya Notaris dalam melakukan tugasnya
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Hukum dan HAM. Walaupun Notaris secara
administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris
menjadi subordinatif (bawahan) dari pemerintah. Akan tetapi, Notaris dalam
menjalankan tugasnya harus bersifat mandiri (autonomous), tidak memihak
siapapun (impartial), tidak tergantung kepada siapapun (independent).
4. Tidak
menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya
5.
Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat.
Dalam membuat
akta, Notaris membuat dengan bagian-bagian yang telah ditentukan dalam UUJN,
antara lain:
1. Awal akta
atau kepala akta memuat :
a. judul akta;
b. nomor akta;
c. jam, hari,
tanggal, bulan, dan tahun; dan
d. nama lengkap
dan tempat kedudukan Notaris.
2. Badan akta
memuat:
a. nama
lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan,
kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
b. keterangan
mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. isi akta
yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan
d. nama
lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan
tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
3. Akhir atau
penutup akta memuat:
a. uraian
tentang pembacaan akta;
b. uraian
tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta
apabila ada;
c. nama
lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat
tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d. uraian
tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian
tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau
penggantian.
Dikemukakan
pula oleh Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur ensensial agar terpenuhinya
syarat formal suatu akta otentik, yaitu:
1. Di dalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
2. Dibuat oleh
dan di hadapan Pejabat Umum
3. Akta yang
dibuat oleh atau di hadapan Pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat
dimana akta itu dibuat.
Terkait dengan
hal diatas, akta otentik yang dibuat oleh Notaris memiliki kekuatan alat bukti
terkuat dan penuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam
kehidupan masyarakat. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan
kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat
dihindari terjadinya sengketa. Dengan perkataan lain, akta otentik yang dibuat
oleh Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat sepanjang tidak dibantah
kebenarannya oleh siapa pun, kecuali bantahan terhadap akta tersebut dapat
dibuktikan sebaliknya. Dalam artian bahwa akta yang dibuat oleh Notaris terseut
mengalami kebohongan atau cacat, sehingga akta tersebut dapat dinyatakan oleh
hakim sebgai akta yang cacat secara hukum begitu pentingnya keterangan yang
termuat dalam akta tersebut sehingga penulisannya harus jelas dan tegas. Hal
ini sesuai ketentuan dalam Pasal 42 UUJN dinyatakan bahwa akta Notaris
dituliskan dengan jelas dalam hubungan satu sama lain yang tidak terputus-putus
dan tidak menggunakan singkatan. Oleh karena itu, ruang dan sela kosong dalam
akta digaris dengan jelas sebelum akta ditandatangani, kecuali untuk akta yang
dicetak dalam bentuk formulir berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian, semua bilangan untuk menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang
disebut dalam akta, seperti penyebutan tanggal, bulan, dan tahun dinyatakan
dengan huruf dan harus didahului dengan angka. Dalam kaitannya dengan ketentuan
dalam Pasal 42 UUJN diatas, akta Notaris sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar, apabila dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang
digunakan dalam akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu
dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap. Apabila Notaris tidak dapat
menerjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan
oleh seorang penerjemah resmi. Namun demikian, akta dapat dibuat dalam bahasa
lain yang dipahami oleh Notaris dan saksi apabila pihak yang berkepentingan
menghendaki sepanjang undang-undang menentukan lain. Demikian juga, dalam hal
akta dibuat bukan dalam bahasa Indonesia, maka Notaris wajib menerjemahkannya
ke dalam bahasa Indonesia. Sehubungan dengan ketentuan dalam Pasal 43 UUJN
diatas, setelah Notaris selesai membacakan isi akta yang dibuatnya, maka akta
tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali
apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan
menyebutkan alasannya. Alasan tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam
akta. Kemudian akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) UUJN
ditandatangani oleh penghadap, Notaris, saksi dan penerjemah resmi. Dengan
demikian, maka pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatanganan
dinyatakan secara tegas pada akhir akta. Sementara itu, dalam Pasal 45 UUJN
dinyatakan bahwa dalam hal penghadap mempunyai kepentingan hanya pada bagian
tertentu dari akta, hanya bagian akta tertentu tersebut yang dibacakan atau
dijelaskan, penghadap membubuhkan tanda paraf dan tanda tangan pada bagian
tersebut. Notaris dalam membuat akta otentik berusaha semaksimal mungkin untuk
membuat akta tidak mengalami cacat atau kesalahan. Namun demikian, sebagai
manusia pasti akan terjadi kesalahan dalam akta tersebut. Menurut Supriadi
apabila Notaris melakukan kesalahan ini merupakan hal yang manusiawi. Selain
itu, kalau terjadi penambahan atau pencoretan terhadap akta tersebut, maka akan
mengalami masalah. Oleh karena itu, dalam Pasal 48 UUJN dinyatakan bahwa isi
akta tidak boleh diubah atau ditambah, baik berupa penulisan tindih,
penyisipan, pencoretan, atau penghapusan dan menggantinya dengan orang lain.
Perubahan atas akta berupa penambahan, penggatian, atau pencoretan dalam akta
hanya sah apabila perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain
oleh penghadap saksi, dan Notaris. Dalam kaitannya, maka dalam Pasal 49 UUJN
dinyatakan bahwa setiap perubahan atas akta dibuat di sisi kiri atas. Apabila
suatu perubahan dibuat pada akhir kata, sebelum penutup akta, dengan menunjuk
bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembah tambahan. Oleh karena itu,
perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan
tersebut batal. Dalam kaitannya dengan pecoretan terhadap akta Notaris
tersebut, maka dalam Pasal 50 UUJN diatur bahwa apabila dalam akta perlu
dilakukan pencoretan kata, huruf, atau angka, hal tersebut dilakukan demikian
rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan
jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi akta. Pencoretan
dinyatakan sah setelah diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh
penghadap, saksi, dan Notaris. Oleh karena itu, apabila terjadi perubahan lain
terhadap perubahan, maka perubahan itu dilakukan pada sisi akta sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 49 UUJN. Dengan demikian, pada penutup setiap akta
dinyatakan jumlah perubahan, pencoretan, dan penambahan. Di samping itu, dalam
Pasal 51 UUJN diatur mengenai kewenangan Notaris membetulkan kesalahan tulis
pada suatu akta. Adapun bunyi ketentuan dalam Pasal 51 UUJN dinyatakan bahwa
Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik
yang terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani. Oleh karena itu,
pembetulan dapat dilakukan dengan membuat berita acara dan memberikan catatan
tentang hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor
akta berita acara pembetulan. Setidaknya dalam melaksanakan tugasnya Notaris
memiliki asas dasar yang dipegang dalam menilai suatu akta yaitu asas praduga
sah atau lebih dikenal dengan nama presumptio iustae causa, artinya akta yang
dibuat oleh Notaris harus dianggap berlaku secara sah sampai ada phak yang
menyatakan akta tersebut tidak sah. Selain itu, Notaris dalam membuat akta
tidak menyelidiki kebenaran surat-surat yang diajukan oleh pihak yang membuat
akta. Hal ini dimaksudkan bahwa Notaris sebagai pelayan masyarakat dapat
bertindak dengan cepat dan tepat, serta yang menyatakan sah ataunya tidaknya
suatu surat apabila terjadi pemalsuan bukan kewenangan Notaris, sehingga Notaris
hanya memeriksa kelengkapan adminsitratif untuk membuat suatu akta.
2. Kedudukan
Kode Etik dalam Menjalankan Profesi Notaris Kedudukan kode etik bagi Notaris
sangatlah penting, bukan hanya karena Notaris merupakan suatu profesi sehingga
perlu diatur dengan suatu kode etik, melainkan juga karena sifat dan hakikat
dari pekerjaan Notaris yang sangat berorientasi pada legalisasi, sehingga dapat
menjadi fundamen hukum utama tentang status harta benda, hak, dan kewajiban
seorang klien yang menggunakan jasa Notaris tersebut. Oleh karena itu, agar
tidak terjadi ketidakadilan sebagai akibat dari pemberian status harta benda,
hak, dan kewajiban yang tidak sesuai dengan kaidah dan prinsip-prinsip hukum
dan keadilan, sehingga dapat mengacaukan ketertiban umum dan juga mengacaukan
hak-hak pribadi dari masyarakat pencari keadilan, maka bagi dunia Notaris
sangat diperlukan juga suatu kode etik profesi yang baik dan modern. Menurut
Ismail Saleh, Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku
profesi yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1. Mempunyai
integritas moral yang mantap;
2. Harus jujur
terhadap klien maupun diri sendiri (kejujuran intelektual);
3. Sadar akan
batas-batas kewenangannya;
4. Tidak
semata-mata berdasarkan uang.
Lebih jauh
Ismail Saleh mengatakan bahwa 4 (empat) pokok yang harus diperhatikan para
Notaris adalah sebagai berikut:
1. Dalam
menjalankan tugas profesinya, seorang Notaris harus mempunyai integritas moral
yang mantap. Dalam hal ini, segala pertimbangan moral harus melandasi
pelaksanaan tugas profesinya. Walaupun akan memperoleh imbalan jasa yang
tinggi, namun sesuatu yang bertentangan dengan moral yang baik harus
dihindarkan.
2. Seorang
Notaris harus jujur, tidak hanya pada kliennya, juga pada dirinya sendiri. Ia
harus mengetahui akan batas-batas kemampuannya, tidak memberi janji-janji
sekedar untuk menyenangkan kliennya, atau agar klien tetap mau memakai jasanya.
Kesemuanya itu merupakan suatu ukuran tersendiri tentang kejujuran
intelektualitas seorang Notaris.
3. Seorang Notaris
harus menyadari akan batas-batas kewenangannya. Ia harus menaati
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku tentang seberapa jauh ia dapat bertindak
dan apa yang boleh serta apa yang tidak boleh dilakukan. Apabila ketentuan yang
dilarang telah dilanggar maka akta yang bersangkutan akan kehilangan daya
otentiknya.
4. Sekalipun
keahlian seseorang dapat dimanfaatkan sebagai upaya yang lugas untuk
mendapatkan uang, namun dalam melaksanakan tugas profesnya ia tidak semata-mata
didorong oleh pertimbangan uang. Seorang Notaris yang berpegang pada Pancasila
harus memiliki rasa keadilan yang hakiki, tidak terpengaruh oleh jumlah uang,
dan tidak semata-mata hanya menciptakan alat bukti formal mengejar adanya
kepastian hukum, tetapi mengabaikan rasa keadilan.
Dari pendapat
diatas, benarlah apa yang dikatakan oleh Paul F. Camenisch bahwa profesi adalah
suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai
bersama. Kode etik ini akan membentuk suatu kepercayaan dalam masyarakat akan
suatu profesi dapat diperkuat, karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa
kepentingannya akan terjamin dan tidak akan dipermainkan oleh profesi tersebut.
Kode etik juga penting sebagai sarana kontrol sosial. Kode etik memberikan
kriteria bagi para calon anggota kelompok profesi dan membantu mempertahankan
pandangan para anggota lama terhadap prinsip profesional yang telah digariskan.
Selain itu, kode etik profesi penting untuk mencegah pengawasan ataupun campur
tangan yang dilakukan pemerintah atau oleh masyarakat. Lebih lanjut kode etik
juga memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan patokan kehendak
yang lebih tinggi untuk sedapat mungkin mencegah kesalahpahaman dan konflik.
B. Batas
Kewenangan Advokat
1. Kewenangan
Advokat Di sisi lain aparat penegak hukum hakim, jaksa, polisi dalam
menjalankan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak hukum diberikan
kewenangan tetapi Advokat dalam menjalankan profesinya tidak diberikan
kewenangan. Melihat kenyataan tersebut maka diperlukan pemberian kewenangan
kepada advokat. Kewenangan tersebut diperlukan selain untuk menciptakan
kesejajaran diantara aparat penegak hukum juga untuk menghindari adanya multi
tafsir diantara aparat penegak hukum yang lain dan kalangan advokat itu sendiri
terkait dengan kewenangan.Sementara UU No. 18/2003 tentang Advokat tidak
mengatur tentang kewenangan Advokat di dalam menjalankan fungsi dan tugasnya
sebagai aparat penegak hukum. Dengan demikian maka terjadi kekosongan norma
hukum terkait dengan kewenangan Advokat tersebut. Perlu diketahui bahwa profesi
advokat adalah merupakan organ negara yang menjalankan fungsi negara. Dengan
demikian maka profesi Advokat sama dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman
sebagai organ negara yang menjalankan fungsi negara. Bedanya adalah kalau
Advokat adalah lembaga privat yang berfungisi publik sedangkan Kepolisian,
Kejaksaan dan Kehakiman adalah lembaga publik. Jika Advokat dalam menjalankan
fungsi dan tugasnya diberikan kewenangan dalam statusnya sebagai aparat penegak
hukum maka kedudukannya sejajar dengan aparat penegak hukum yang lain. Dengan
kesejajaran tersebut akan tercipta keseimbangan dalam rangka menciptakan sistem
penegakan hukum yang lebih baik.
Advokat adalah
merupakan profesi yang terhormat (officium nobille), selain sebagai profesi
terhormat Advokat juga sebagai aparat penegak hukum dimana kedudukannya sejajar
dengan aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa, polisi, dan hakim dalam
menjunjung tinggi supremasi hukum. Oleh karena itu satu sama lainnya harus
saling menghargai dan saling mengoreksi antara teman sejawat dan juga antara
penegak hukum lainnya. Profesi advokat diperlukan dalam hubungannya dengan
proses penegakan hukum, termasuk ikut andil dalam menjamin hak seseorang yang
perlu diperhatikan dan agar tidak diabaikan atau menegakkan asas hukum praduga
tak bersalah (Presumption of Innocence)”. Sehingga seseorang yang dituntut
pidana, digugat secara perdata dan digugat di peradilan tata usaha negara
berhak dan dapat didampingi Advokat agar kepentingannya dapat dibela secara
yuridis dengan memperhatikan hak-hak asasinya.
2. Kewenagan Advokat dari
Segi Kekuasaan Yudisial Advokat dalam sistem kekuasaan yudisial ditempatkan
untuk menjaga dan mewakili masyarakat. Sedangkan hakim, jaksa, dan polisi
ditempatkan untuk mewakili kepentingan negara. Pada posisi seperti ini
kedudukan, fungsi dan peran advokat sangat penting, terutama di dalam menjaga
keseimbangan diantara kepentingan negara dan masyarakat. Ada dua fungsi Advokat
terhadap keadilan yang perlu mendapat perhatian. Yaitu pertama kepentingan,
mewakili klien untuk menegakkan keadilan, dan peran advokat penting bagi klien
yang diwakilinya. Kedua, membantu klien, seseorang Advokat mempertahankan
legitimasi sistem peradilan dan fungsi Advokat. Selain kedua fungsi Advokat
tersebut yang tidak kalah pentingnya, yaitu bagaimana Advokat dapat memberikan
pencerahan di bidang hukum di masyarakat. Pencerahan tersebut bisa dilakukan
dengan cara memberikan penyuluhan hukum, sosialisasi berbagai peraturan
perundang-undangan, konsultasi hukum kepada masyarakat baik melalui media
cetak, elektronik maupun secara langsung. Secara sosiologis keberadaan Advokat
di tengah-tengah masyarakat seperti buah simalakama. Fakta yang tidak
terbantahkan bahwa keberadaan Advokat sangat dibutuhkan oleh masyarakat,
khususnya masyarakat yang tersandung perkara hukum, tetapi ada juga sebagian
masyarakat menilai bahwa keberadaan Advokat dalam sistem penegakan hukum tidak
diperlukan. Penilaian negatif ini tidak terlepas dari sepak terjang dari
Advokat sendiri yang kadangkala dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai
aparat penegak hukum tidak sesuai dengan harapan. Untuk menunjang eksistensi
Advokat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem penegakan hukum,
maka diperlukan kewenangan yang harus diberikan kepada Advokat. Kewenangan
Advokat tersebut diperlukan dalam rangka menghindari tindakan
kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang lain (Hakim,
Jaksa, Polisi) dan juga dapat memberikan batasan kewenangan yang jelas terhadap
advokat dalam menjalankan profesinya. Dalam praktik seringkali keberadaan
Advokat dalam menjalankan profesinya seringkali dinigasikan (diabaikan) oleh
aparat penegak hukum. Hal ini dikarenakan kedudukan advokat “tidak sejajar”
dengan aparat penegak hukum yang lain.
A. Kesimpulan
1. Notaris
dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bertanggung jawab penuh terhadap
perbuatan-perbuatan hukum yang akan timbul dikemudian hari dan bahkan tanggung
jawab moril sebagai profesional, kalau merugikan pihak lain, Notaris harus
dapat mempertangg0ung jawabkan pekerjaannya di muka hukum secara perdata dan
pidana.
2. Untuk
menunjang eksistensi Advokat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem
penegakan hukum, maka diperlukan kewenangan yang harus diberikan kepada
Advokat. Kewenangan Advokat tersebut diperlukan dalam rangka menghindari
tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang lain
(Hakim, Jaksa, Polisi) dan juga dapat memberikan batasan kewenangan yang jelas
terhadap advokat dalam menjalankan profesinya.
B. Saran
Berdasarkan
pembahasan yang telah kami sampaikan, penulis memberikan saran dan rekomendasi,
agar:
1. Memberikan pelatihan
terhadap Notaris secara berkala agar tidak melakukan kesalahan-kesalahan yang
fatal dalam pembuatan akta-akta.
2. Meberikan
batasan yang tegas bagi jumlah Notaris berada di suatu wilayah, agar teratur.
3. Memberikan
sanksi yang tegas kepada para Advokat yang melanggar aturan hukum dalam
menjalankan profesinya.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.surabayapagi.com/index.php?
http://mkn-unsri.blogspot.com/2010/06/tanggung-jawab-profesi-notaris-dalam.htm
Indonesia,
Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, UU Nomor 30 Tahun 2004, LN Nomor 117
Tahun 2004, TLN Nomor 4432.
Fuady, Munir.
S.H., M.H., LL.M., Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris,
Kurator, dan Pengurus : Profesi Mulia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005).
Huijbers, Theo.
Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal. 145, lihat juga
Notohamidjoyo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1975).
Kansil, C.S.T.
Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003).
Kanter, E. Y.
Etika Profesi Hukum Sebuah Pendekatan Sosio – Religius, (Jakarta: Storia
Grafika, 2001).
Kie, Tan Thong.
Buku I Studi Notariat – Beberapa Mata Pelajaran dan Serba Serbi Praktek
Notaris, (Jakarta: Ichiar Baru Van Hoeve, 2000).
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: MAKALAH ETIKA PROFESI HUKUM
Ditulis oleh Mustopa Almurtaqi Makarima
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://akumenuliskarenaalloh.blogspot.com/2013/05/makalah-etika-profesi-hukum.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Mustopa Almurtaqi Makarima
Rating Blog 5 dari 5