PENGANTAR STUDI ISLAM
0
komentar
1. Apa yang dimaksud dengan Pengantar Studi Islam (PSI)? Jelaskan tujuan mempelajarinya dan urgensi studi ini bagi kaum Muslim dan para penstudi Islam
Pengantar Studi Islam (PSI) adalah suatu ilmu yang membahas tentang cara mengkaji Islam, baik dari dimensi normatif, dimensi historis, maupun dimensi aktualnya. Di dalam istilah penelitian, sering dikenal dengan istilah approach (pendekatan).
Secara umum, PSI bertujuan: (1) Menjadikan umat Islam dapat memahami berbagai.metode yang telah digunakan oleh para ilmuwan muslim dalam mengkaji Islam sehingga menimbulkan kesimpulan yang beragam. Pemahaman terhadap adanya keragaman metode dengan berbagai kelemahan dan kekurangannya dapat menumbuhkan sikap toleransi yang pada gilirannya menumbuhkan sikap kerukunan internal umat beragama Islam. (2) Menciptakan kontekstualisasi doktrin Islam secara temporal sehingga doktrin Islam akan tampak selalu aktual di dalam kehidupan sosiokultural yang dinamis. Hal ini lebih memungkinkan karena para ilmuwan muslim kontemporer tidak perlu ragu lagi untuk memanfaatkan sebuah metoda kajian untuk mengkaji al-Islam karena pada masa lalu para ilmuwan muslim pun telah mempergunakan metode itu untuk mengkaji al-Islam.
Secara khusus - di dunia perguruan tinggi-PSI bertujuan agar seorang mahasiswa dapat memahami perkembangan pemikiran metodologi yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan muslim masa klasik dalam mengkaji al-Islam, baik sebagai upaya memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur yang merusak adat al-Islam maupun sebagai upaya untuk mengontekstualisasikan doktrin al-Islam itu sendiri. Pada gilirannya, para mahasiswa yang akan menjadi ilmuwan muslim masa datang akan menjadi sarjana muslim yang sangat toleran terhadap perbedaan pandangan antarsesama sarjana muslim yang lain, bahkan dengan nonmuslim sekalipun.
Urgensinya adalah untuk mengenalkan berbagai pendekatan dalam belajar Islam. Perbedaan pendekatan bukan berarti keluar dari Islam.
2. Sebutkan tiga makna utama dari kata "Islam"!.
Kata "Islam" mempunyai arti atau makna yang bermacam-macam, tetapi mengandung kesatuan arti/makna. Pengertian umum yang mendasar adalah penyerahan diri atau pasrah kepada Tuhan dengan segala bentuk dan realisasinya.
Tiga makna yang utama adalah: Pertama, "Islam" berasal dari kata al-salamu, al-salmu, dan al-silmu, yang berarti : menyerahkan diri, pasrah, tunduk dan patuh. Dengan demikian "Islam" mengandung makna sikap penyerahan diri, pasrah, tunduk dan patuh dari manusia terhadap Tuhannya, atau makhluk (ciptaan) terhadap Khaliq (Pencipta), Tuhan Yang Maha Esa. Sikap tersebut tidak hanya berlaku bagi hambaNya (manusia), tetapi juga merupakan hakikat dari seluruh alam, yaitu sikap penyerahan diri, pasrah, tunduk dan patuh pihak ciptaan {makhluk} kepada Penciptanya (Khaliq), yaitu Allah. Langit dan bumi (benda-benda mati) adalah taat, patuh dan pasrah (islam} kepada Tuhan (Baca: Q.S. Fushilat: 11), demikian pula segala apa yang ada di langit dan di bumi, baik berupa benda mati maupun benda hidup (Q.S.al-Nahl: 49 dan Ali lmran: 83). Semua makhluk, baik berupa benda mati maupun benda hidup, berjalan secara alami, teratur, seimbang, mengikuti ketentuan Tuhan yang berupa 'hukum alam' {sunnatullah). Sehingga hukum-hukum itu dijadikan pedoman dan kemudian digunakan oleh manusia dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua, "Islam" berasal dari kata al-silmu atau al-salmu yang berarti damai (perdamaian) dan aman (keamanan). Hal ini mengandung makna bahwa orang yang ber-Islam, berarti orang yang masuk dalam perdamaian dan keamanan, dan seorang muslim adalah orang yang membikin perdamaian dan keamanan dengan Tuhan, sesama manusia, dirinya dan dengan alam. Damai dengan Tuhan berarti tunduk dan patuh secara menyeluruh kepada KehendakNya. Damai dengan manusia tidak hanya berarti meninggalkan perbuatan jelek dan tidak menyakitkan orang lain, tetapi juga berbuat baik kepada orang lain, karena manusia tidaklah terlepas dari ketergantungannya kepada yang lain. Damai dengan dirinya sendiri berarti selalu memelihara diri dan menjaganya dari berbagai macam ancaman dan siksaan atau penderitaan, apakah berupa penyakit jasmani maupun rohani, atau lain-lainnya. Sedangkan damai dengan alam berarti memelihara, memakmurkan dan membudayakan alam, serta memanfaatkannya selaras dengan sifat dan kondisi dari alam itu sendiri, dan tidak merusaknya atau melanggar hukum-hukum alam (sunnatullah). Pengertian itu dapat difahami dari firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah ayat 208; al-Nisa' ayat 91; al-Tahrim ayat 5; al-Anbiya ayat 105-107. Pengertian ini merupakan konsekwensi dari makna al-Islam yang berarti 'penyerahan diri atau pasrah' kepada Tuhan.
Ketiga, "Islam" berasal dari kata-kata al-salmu, al-salamu, dan al-sala'matu, yang berarti bersih dan selamat dari kecacatan-kecacatan lahir dan batin. Pengertian ini antara lain dapat difahami dari firman Allah dalam Q.S. al-Syu'ara ayat 89, Q.S. al-Shaffat ayat 84. Manusia terdiri atas dua substansi, yaitu jasad dan roh. Jasad manusia tunduk, patuh dan pasrah kepada sunnatullah atau aturan-aturan Allah yang berlaku di alam, sedangkan roh manusia sudah melakukan perjanjian primordial dengan Tuhan dan siap untuk tunduk, patuh dan pasrah kepadaNya. Sehingga manusia pasti mampu melaksanakan tugasnya sebagai hamba Allah, yang selalu tunduk, mengabdi dan menyembah kepadaNya. Semuanya itu merupakan fitrah bagi manusia. Selama manusia senantiasa menjaga diri dan memelihara fitrahnya, serta pilihannya mengarah kepada pilihan baiknya (pahala), maka dia akan bersih dan selamat dari kecacatan-kecacatan lahir maupun batin, dan selamat dunia-akhirat. Sebaliknya, kalau manusia dalam perjalanan hidupnya menyimpang dari fitrahnya, dan pilihan hidupnya mengarah pada pilihan buruknya (dosa), maka dia akan sengsara, tidak selamat, dan tidak bahagia hidupnya lahir-batin, dunia-akhirat.
3. Apakah yang dimaksud kebudayaan Islam? Antara budaya sebagai hasil karya, karsa, dan cita-cita manusia, dan Islam sebagai agama, dapatkah disandingkan?
Agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada agama; tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karen a itu, agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena ia subordinat terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya.
Dalam pandangan Harun Nasution, agama pada hakikatnya mengandung dua kelompok ajaran. Kelompok pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui para rasul-Nya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar ini terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan, baik mengenai arti maupun cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan ini diberikan oleh para pemuka atau ahli agama. Penjelasan-penjelasan mereka terhadap ajaran dasar agama adalah kelompok kedua dari ajaran agama. Kelompok pertama, karena merupakan wahyu dari Tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Kelompok kedua, karena merupakan penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama, pada hakikatnya tidaklah absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Kelompok kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Menurut hasil penelitian ulama, jumlah kelompok pertama tidak banyak.
Pada umumnya, yang banyak adalah kelompok kedua. Dalam Islam, kelompok pertama terdapat dalam al-Qur'an. Al-Qur'an terdiri atas 30 (tiga puluh) juz, 114 (seratus empat belas) surat, dan sekitar 6.000 (enam ribu) ayat. Ayat hukum hanya berjumlah 368 ayat. Harun Nasution berkesimpulan bahwa dari 368 ayat ini, hanya 228 ayat atau 3,5% (tiga setengah persen) yang merupakan ayat yang mengurus hidup kemasyarakatan. Dengan demikian, jumlah ayat yang mengatur hubungan kemasyarakatan sedikit saja. Ajaran dasar agama pada al-Qur'an dan Sunah yang periwayatannya shahih bukan termasuk budaya. Tetapi pemahaman ulama terhadap ajaran dasar agama merupakan hasil karsa ulama. Oleh karena itu, ia merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi, umat Islam meyakini bahwa kebudayaan yang merupakan hasil upaya ulama dalam memahami ajaran dasar agama Islam, dituntun oleh petunjuk Tuhan, yaitu Al-Quran dan Sunah. Oleh karena itu, ia disebut kebudayaan Islam.
4. Bagaimana Nabi Muhammad s.a.w., sebagai pembawa risalah agama Islam, melakukan pemecahan masalah? Lalu bagaimana para ulama penerus risalahnya memecahkan masalah umat?
Dengan menggunakan cara yang berbeda-beda sesuai kemampuan audiens atau pengaju masalah. Perbedaan telah terjadi sejak masa Nabi Muhammad saw., masih hidup, namun waktu itu Rasul mampu meredam gejolak perbedaan pemikiran itu. Oleh karena itu, konflik antara satu sahabat dan sahabat lainnya secara maksimal dan komprehensif dapat diredam. Dimaklumi bahwa pada masa itu, selain karena Nabi masih memperoleh wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa sehingga segala permasalahan yang terjadi dalam memahami Islam dapat dikembalikan langsung kepada Rasulullah saw. sekaligus dapat dijadikan pegangan dalam memberikan solusi pada masa itu, juga secara khusus Nabi Muhammad saw. diberi kemampuan rasio yang cemerlang, melampaui kecemerlangan rasio seluruh manusia genius yang pernah ada di dunia ini sehingga hasil kajiannya mendalam. Nabi dapat memuaskan berbagai pihak yang sedang konflik. Bahkan, seperti ditulis dalam sejarah, Nabi Muhammad saw. mampu mendamaikan dua komunitas yang saling bersengketa seumur hidup secara memuaskan. Secara historis, para ulama sangat beragam dalam menggunakan metode pemahaman Islam. Masing-masing cara yang digunakan oleh para ulama itu bahkan mempunyai karakteristiknya masing-masing. Dari masing-masing karakter itu, tampak adanya kekurangan dan kelebihan. Namun, ada pula sebagian ulama dengan kecenderungan antusiasme berlebihan menganggap bahwa hanya caranya sendiri yang paling benar. Padahal, dengan berbedanya metode yang digunakan oleh satu ulama dengan ulama lain telah menjadikan berkembangnya kesimpulan kajian mereka yang berbeda. Dari sinilah, tampak antara satu ulama dengan ulama lainnya saling menyalahkan. Dalam kondisi tertentu sering menimbulkan sikap saling mengafirkan. Dan pada skala tertentu sikap semacam itu bahkan telah menimbulkan konflik pemikiran internal umat Islam. Kondisi semacam ini sebenarnya secara ilmiah justru dapat memperkaya khazanah intelektual Islam. Namun, ketika konflik ini telah menimbulkan perpecahan karena saling menghujat dan menumpahkan darah, justru telah merugikan Islam.
Salah satu risalah KH Hasyim Asy'ari, yang berjudul al-Risalah fi al-Nahy 'an Muqala 'ill al-Arham wa al-Qarub wa al-Ikhwan, menyebut mengenai dilarangnya bagi kita untuk memutuskan tali persaudaraan hanya karena perbedaan faham. Misalnya, dalam risalah itu disebutkan, bahwa antara Imam Syafi'i (w.204 H) dengan gurunya berbeda pendapat sekitar seribu masalah. Dan antara Abu Hanifah (w.150 H) H) dengan Imam Malik (w.179 H), yang keduanya di dalam perbendaharaan pemikiran Islam perbedaan antara Ahl Ra'yi dengan Ahl Riwayah, berbeda pendapat sekitar tiga belas ribu masalah. "Tetapi," Hasyim Asy'ari mengatakan, "Tidak ada saling permusuhan, saling mengumpat, dan tidak ada saling menyatakan bahwa orang lain sebagai sesat." Bayangkan saja, berbeda tiga belas ribu masalah. Oleh karena itu, jika kita berbeda pendapat dengan siapa saja, jika perbedaannya kurang dari seribu, itu bukan apa-apa dibandingkan antara Syafi'i dengan gurunya; belum lagi antara Imam Hanafi dengan Imam Malik
5. Sebutkan dalil-dalil syara' atau sumber-sumber hukum yang dipegangi oleh empat mazhab terkemuka dalam hukum Islam.
Bila diperhatikan, Ushul Fikih dari keempat mazhab fikih yang berkembang di kalangan kaum Muslimin, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali, memiliki perbedaan tentang dalil-dalil syara' yang mereka pegangi. Dalil-dalil syara' yang dipegang oleh mazhab Hanafi adalah al-Quran, sunnah, ijma' sahabat, kias, istihsan, dan 'urf. Mazhab Maliki berpegang pada al-Quran, sunnah, ijma' ahl al-madinah, fatwa sahabat, khabar ahad dan kias, istihsan, istishlah, sadd al-zara'i', mura'at khilaf al-mujtahidin, istishbab, dan syar' man qablana. Sedangkan dalil-dalil syara' yang dipegang oleh mazhab Syafi'i adalah al-Quran, sunnah, ijma’, kias, istishlah, dan istishhab. Adapun mazhab Hanbali berpegang pada al-Quran, sunnah, fatwa sahabat, dan kias.
6. Jelaskan perdebatan para ulama tentang penamaan kitab suci agama Islam, al-Qur’an.
Terdapat perdebatan ulama mengenai penamaan Al-Quran. Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah nama yang khusus (khas) bagi Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Kedua, sebagian ulama lagi menyatakan bahwa Al-Qur'an diambil dari kata qara'in (petunjuk atau indikator) karena ayat-ayat Al-Qur'an satu sama lainnya saling menguatkan dan membenarkan. Al-Qur'an pun, masih menurut pendapat kedua. diambil dari kata al-qar'u yang berarti kumpulan (al-jam'). Ketiga, ulama yang lainnya memberikan nama lain bagi Al-Qur'an seperti al-Kitab, al-Nur, al-Rahmah, al-Furqan, al-Syifa, al-Mauizhah, al-Dzikr, al-Hukm, al-Qaul, al-Naba', al-Azhim, Ahsan al-Hadits, al-Matsany, al-Tanzil, al-Ruh, al-Bayan, al-Wahy wa al-Bashir, al-‘Ilm, al-Haqq, al-Shidq, al-Adl, al-Amr, al-Basyary, dan al-Balagh. Nama-nama lain untuk Al-Qur'an dikembangkan oleh ulama sedemikian rupa, sehingga Abu Hasan al-Harali dan Abd al-Ma'ali Syaizalah masing-masing memberikan nama sebanyak 90 dan 55 macam. Pemberian nama terhadap Al-Quran yang begitu banyak tidak disetujui oleh sebagian ulama, antara lain Shubhi Shalih. Menurutnya, pemberian nama yang banyak terhadap Al-Qur'an dinilai berlebihan sehingga terkesan adanya pencampuradukan antara nama-nama Al-Qur'an dan sifat-sifatnya. Sebagian nama-nama tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, memperlihatkan fungsi-fungsi Al-Qur'an.
7. Jelaskan hikmah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur
Dilihat dari sejarah dan proses pewahyuan, Al-Quran memang tidak diturunkan secara sekaligus, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu secara periodik, sedikit demi sedikit dan ayat demi ayat. Hikmah pewahyuan semacam ini adalah untuk memberikan pemahaman bahwa setiap ayat Al-Quran tidak hampa sosial. Pewahyuannya sangat bergantung pada lingkup dan persoalan-persoalan kemasyarakatan. Dari aspek ini, sebagian ayat Al-Qur'an merupakan jawaban terhadap berbagai persoalan sosial yang melanda kehidupan manusia. Tenggang waktu pewahyuan berlangsung selama kurang lebih 23 tahun yang secara geografis terbagi dua fase. Pertama, ketika Nabi Muhammad Saw berada di Kota Mekah sebelum berhijrah ke Madinah, yaitu selama 13 tahun. Kedua, ketika Nabi Muhammad berada di kota Madinah selama 10 tahun. Pendapat ini umumnya dipegang oleh para ulama 'ulum al-Qur'an.
8. Jelaskan secara singkat perkembangan studi al-Qur’an hingga masa modern.
Ulama membagi periode tafsir kepada dua bagian. Pertama, periode nabi, sahabat dan tabi'in sampai kira-kira tahun 150 H. Kelompok tafsir periode itu disebut tafsir bi al-ma’tsur, Corak tafsir ini bersumber pada penafsiran Rasulullah, penafsiran sahabat, dan penafsi tabi'in. Periode pertama ini disebut juga dengan Periode Mutaqaddimin. Para ahli tafsir pada masa sahabat yang terkenal di antaranya al-Khulafa' al-Rasyidun yang empat, Ibnu Mas'ud, Abd Allah bin Abbas (68 H), Ubay bin Ka'ab (19 H), Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy'ary, dan Abd Allah bin Zubair. Di antara mereka, yang paling terkenal ialah Abd Allah bin Abbas. Tafsir para sahabat selanjutnya dijadikan rujukan oleh para murid-muridnya (tabi'in) sehingga lahirlah tabaqat al-mufassirin(tingkatan para penafsir). Di Mesir muncul thabaqat yang tafsirnya merujuk pada tafsir Abdullah bin Abbas. Di Madinah muncul thabaqat lain, seperti Zaid bin Tsabit, Abd al-Rahman bin Salam, dan Imam Malik bin Anas. Di Kufah muncul thabaqat yang bersumber dari Ibnu Masud. Dari masa tabiinberalih ke masa tabi' al tabi’in. Di antara mereka yang terkenal adalah Sufyan bin Uyainah, Zaid bin Harun, Syu'bah bin Hajjaj, dan Waqi al-Jarrah sarnpai akhirnya muncul Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari (w.310 H) dengan karya tafsirnya Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an yang merupakan kelompok tafsir bi al-ma'tsur.
Kedua, periode ketika hadis-hadis Rasul Allah telah beredar luas dan berkembang hadis-hadis palsu di tengah-tengah masyarakat sehingga menimbulkan banyak persoalan yang belum terjadi sebelumnya. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, para mufasir mulai berijtihad. Kegiatan ijtihad pada mulanya masih terikat pada kaidah-kaidah bahasa serta makna kosakata. Namun, sejalan dengan berkembangnya masyarakat, peran akal dalam berijtihad menjadi lebih subur. Ujungnya, lahir tafsir yang coraknya berbeda dengan tafsir corak pertama .
Periode kedua disebut sebagai Periode Muta'akhirinyang berlangsung antara abad ke-4 sampai abad ke-12 Hijriyah. Corak tafsir yang muncul pada periode kedua di antaranya sebagai berikut.
1. Corak kebahasaan, artinya Al-Quran ditafsirkan melalui pendekatan gaya dan keindahan bahasa, seperti Tafsir al-Kasysyafyang ditulis oleh Zamakhsyari. Masih tafsir yang bercorak kebahasaan, tetapi melalui pendekatan tata bahasa adalah Tafsir Ma'ani al-Qur'an dan Tafsiral-Bahr al-Muhith yang secara berturut-turut ditulis oleh al-Ziyad al-Wahidi dan Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusy.
2. Corak tafsir yang bahasanya menitikberatkan pada kisah-kisah umat terdahulu, seperti yang ditulis oleh al-Tsa’labi, Alaudin bin Muhammad al-Bagdadi.
3. Corak fikih dan hukurn, seperti Tafsir Jami' al-Qur'an, Ahkam al-Qur’an, dan Nail al-Maram yang masing-masing ditulis oleh al-Qurthubi, Ibnu 'Arabi dan al-Jashash, dan Hasan Shidiq Khan.
4. Corak tafsir yang menafsirkan ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah Swt, seperti Tafsir Mafatih at-Ghaib karya Imam al-Razi (w. 610 H).
5. Corak tafsir yang menitikberatkan pada isyarat ayat yang berhubungan dengan tasawuf, seperti tafsir yang ditulis oleh Abu Muhammad Sahl bin Abd Allah al-Tsauri.
6. Tafsir corak gharib (yang jarang dipakai dalam keseharian), seperti tafsir yang disusun oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, yaitu Mu'jam Gharib al-Qur'an.
Di samping keenam corak tafsir di atas, terdapat corak tafsir yang lain, yaitu tafsir bercorak filsafat dan teologi, tafsir dengan penafsiran ilmiah, tafsir yang bercorak sastra budaya kemasyarakatan, tafsir tematik (maudlu'i), dan tafsir ilmi.
Masih dalam periode kedua atau periode muta’akhirin, lahir pula tafsir dari kalangan Muktazilah dan Syiah. Tafsir dan kalangan Muktazilah di antaranya ialah Tanzih al-Qur'an 'an al-Mata'in karya Abd al-Qasim al-Thahir, al-Kasysyaf 'an Haqa'iq al- Tanzil wa Uyun al-Aqwal fi Wujud al-Ta’wil karya Abu al-Qasim Muhammad bin Umar al-Zamaksyari. Kelompok Syiah juga menulis banyak kitab tafsir yang bahasannya lebih menitikberatkan pada Ali bin Abi Thalib.
Masih perlu ditambahkan satu periode lagi mengenai perkembangan tafsir, yaitu periode ketiga yang disebut Periode Baru yang dimulai abad ke-19 M. Dalam sejarah perkembangan pemikiran umat Islam, periode ini dikenal dengan Periode Kebangkitan Kembali. Pada periode ini muncul tokoh-tokoh pembaru seperti Jamalud din al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Khan, dan Ahmad Dahlan.
Kelahiran para pembaru berpengaruh terhadap karya tafsir mereka. Tafsir yang ditulis pada periode ini di antaranya al-Manar yang mulanya ditulis oleh Muhammad Abduh lalu diselesaikan oleh muridnya, Rasyid Ridha, Tafsir Mahasin al-Ta'wil karya Jamal al-Din al-Qasimi, dan Tafsir Jawahirkarya Thanthawi Jauhari.
Dilihat dari keterlibatan akal (ra'yu) dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, tafsir terbagi dua kelompok, tafsir bi al-ma'tsurdan tafsir bi al-ra'y. Tafsir kelompok pertama di antaranya ialah Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an karya al- Thabari, Bahr al-‘Ulum karya Nashr bin Muhammad al-Samarkand, al-Kasyf wa al-Bayan 'an Tafsir al-Qur'ankarya Abu Ishaq al-Tsalabi, Ma'alim al-Tanzil karya Muhammad al-Hasan al-Bagawi, al-Muharrir al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz karya Muhammad al-Andalusi.
Adapun tafsir kelompok kedua (bi al-ra'y) di antaranya al-Bahrul al-Muhith karya al-Andalusi, Gharib al-Qur'an wa Raghib al-Furqankarya Nizamuddin al-Naisabur, Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur'an al-'Azhim wa at-Sab’ al-Matsani karya al-Allamah al-Lusi, dan Mafatih al-Ghaibkarya Fakhr al- Din al-Razi.
9. Jelaskan perbedaan istilah-istilah al-hadits, al-sunnah, al-khabar, dan al-atsar
Dalam arti terminologi, ketiga istilah tersebut menurut kebanyakan ulama hadits adalah sarna dengan terminologi al-hadits, meskipun ulama lain ada yang membedakannya.
Menurut ahli bahasa, al-hadits adalah al-jadid (baru), al-khabar(berita), dan al-qarib (dekat). Hadis dalam pengertian al-khabar dapat dijumpai di antaranya dalam surat al-Thur [52] ayat 34, surat al-Kahfi [18] ayat 6, dan surat al-Dluha [93] ayat 11.
Dalam mengartikan al-hadits secara istilah atau terminologi, antara ulama hadits dan ulama ushul fiqh terjadi berbeda pendapat. Menurut ulama hadits, arti hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat. Sedangkan ulama ahli ushul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah segala yang bersumber dari Rasulullah Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat khalaqah atau khuluqiyah maupun perjalanan hidupnya sebelum atau sesudah ia diangkat menjadi rasul.
Al-khabar secara bahasa berarti al-naba’ (berita); sedangkan al-atsar berarti pengaruh atau sisa sesuatu (baqiyat al-syai'). Arti terminologi al-khabar dan al-atsar, menurut jumhur ulama, memiliki arti yang sarna, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., sahabat, dan tabi'in. Sedangkan menurut ulama Khurasan, al-atsar hanya untuk yang mauquf(disandarkan kepada sahabat) dan al-khabar untuk yang marfu' (disandarkan kepada Nabi). Oleh karena itu, baik al-hadis, al-sunnah, al-khabar, maupun al-atsar dilihat dari aspek penyandarannya ada yang marfu', mauquf, dan maqthu’ (disandarkan kepada tabi'in).
Terhadap keempat pengertian istilah di atas al-hadis, al-sunnah, al-khabar dan al-atsar terutama aspek makna terrninologinya, ada ulama yang mempersamakan artinya, ada pula yang membedakannya. Ulama yang membedakan arti keempat istilah tersebut mengatakan bahwa al-hadits adalah sesuatu yang sandarannya adalah Nabi Muhammad saw., sedangkan al-sunnah adalah sesuatu yang sandarannya tidak hanya Nabi Muhammad saw, tetapi juga sahabat dan tabi'in. Adanya perbedaan makna terminologi keempat istilah di atas, sebenarnya, tidaklah prinsipil. Keempat istilah tersebut mengacu pada pengertian yang sama, yaitu segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir.
10. Jelaskan secara singkat sejarah penulisan dan kodifikasi hadits.
Penulisan resmi hadis dalam kitab-kitab hadits, seperti dijumpai sekarang baru dimulai pada masa Bani Umayah, yaitu pada zaman Umar bin Abd al-Aziz. Penulisan secara resmi (kodifikasi) atau disebut juga tadwin, dimulai setelah adanya perintah dari Khalifah Umar bin Abd al-Aziz kepada para pakar hadis untuk menuliskannya.
Para ulama hadis tidak sependapat dalam menentukan jumlah periodisasi hadits. Ada yang membaginya menjadi tiga periode, lima periode, bahkan tujuh periode. Di bawah ini adalah periodisasi hadis secara garis besar.
Periode pertama adalah periode Nabi dan disebut Masa Wahyu dan Pembentukan ('ashr al-wahy wa al-takwin). Pada periode ini, Nabi melarang para sahabat menulis hadis, karena di samping adanya rasa takut bercampur antara hadis dan Al-Qur'an, juga agar potensi umat Islam lebih tercurah kepada Al-Qur'an. Namun, walaupun ada larangan, sebagian sahabat ada juga yang berinisiatif menuliskannya untuk berbagai alasan." Pada masa ini, para sahabat menerima hadis dari Nabi melalui dua cara: langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara lansung di antaranya melalui ceramah atau khutbah, pengajian, atau penjelasan terhadap pertanyaan yang disampaikan kepada Nabi. Adapun yang tidak langsung di antaranya mendengar dari sahabat yang lain atau mendengar dari utusan-utusan, baik utusan dari Nabi ke daerah-daerah atau utusan dari daerah yang datang kepada Nabi. Ciri utama periode ini ialah aktifnya para sahabat dalam menerima hadis dan menyalinnya secara sendiri-sendiri. Di samping itu, sahabat menerima hadis dan menyampaikannya kepada yang lain melalui kekuatan hafalan. Para sahabat yang banyak menerima hadis ialah khulafa rasyidun, Abd Allah bin Mas’ud, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Siti Aisyah, dan Ummu Salamah.
Periode kedua adalah zaman khulafa rasyidun. Masa ini dikenal dengan periode pembatasan hadis dan penyedikitan riwayat (zaman al-tatsabut wa al-iqlal min al-riwayah). Usaha-usaha para sahabat di dalam membatasi hadis dilatarbelakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Kekhawatiran muncul karena suhu politik umat Islam secara internal mulai labil, terutama dalam suksesi kepemimpinan yang selalu menimbulkan perpecahan bahkan fitnah. Oleh karenanya, para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Mereka melakukan meriwayatan hadis dengan dua cara: lafdzi dan ma'nawi. Periwayatan bi al-lafdz adalah redaksi hadis yang diriwayatkan betul-betul sama dengan yang disabdakan oleh Nabi. Adapun periwayatan ma'nawii ialah redaksi hadis yang diriwayatkan berbeda dengan yang disabdakan Nabi, tapi substansinya sama.
Periode ketiga adalah penyebaran hadits ke berbagai wilayah (zaman intisyar al-riwayat ila al-amshar) yang berlangsung pada masa sahabat kecil dan tabi'in besar. Pada masa ini, wilayah Islam sudah sampai ke Syam (Suriah), Irak, Mesir, Persia, Samarkand, dan Spanyol. Bertambah luasnya wilayah berdampak kepada menyebarnya hadis ke wilayah-wilayah tersebut yang dibawa oleh para sahabat yang pindah ke wilayah-wilayah tadi untuk menjadi pimpinan atau menjadi guru (pengajar) di sana. Di antara tokoh-tokoh hadis pada masa ini ialah Sa'id dan Urwah di Madinah, Ikrimah dan Atha bin Abi Rabi'ah di Mekkah, Ibrahim al-Nakha'i di Kufahl Muhammad bin Sirin di Bashrah, Umar bin Abd al-Aziz di Syam, Yazid bin Habib di Mesir, dan Wahab bin Munabih di Yaman.
Periode keempat adalah periode penulisan dan pembukuan hadis secara resmi ('ashr al-kiiabai wa al-tadwin). Penulisan dimulai setelah ada perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd al-'Aziz (717-720 M) sampai akhir abad ke-8 M. Ia adalah khalifah Bani Umayah kedelapan yang menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin' Amr bin Hazrn, Gubernur Madinah untuk menulis hadis. Latar belakang Umar bin Abd al-Aziz menginstruksikan untuk mengkodifikasi hadits adalah bercampurbaurnya hadits sahih dengan hadits palsu, di samping rasa takut dan khawatir lenyapnya hadis-hadis dengan meninggalnya para ulama dalam perang. Pentadwinan terus berlangsung sampai masa Bani Abbas sehingga melahirkan para ulama hadits, seperti Ibnu Juraij (w.179 H) di Mekkah, Abi Ishaq (w.151 H) dan Imam Malik (w.179 H) di Madinah, al-Rabi Ibin Sabih (w.160 H) dan Abd al-Rahman al-Auzi (w.156 H) di Suriah.
Di samping lahirnya para ulama hadits, dihasilkan pula sejumlah kitab-kitab hadits karya para ulama, baik berupa al-Jami', al-Musnaf, maupun al-Musnad. Misalnya, al-Musnad karya Imam Syafi'i, al-Musnaf karya al-Auza'i, dan al-Muwaththa' karya Imam Malik yang disusun atas perintah khalifah Abu Ja'far al-Mansur,
Kitab-kitab hadits terbitan periode ini belum terseleksi betul sehingga isinya masih bercampur antara hadits Nabi dan fatwa sahabat, bahkan fatwa tabi'in, atau hadits marfu', mauquf, dan maqthu' di samping juga hadits palsu.
Periode kelima adalah periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan ('ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih) yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-3 Hijriah. Atau tepatnya, saat Dinasti Abbasiah dipegang oleh Khalifah al-Ma'mun sampai al-Muqtadir (2011-300 H). Pada masa ini, para ulama mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan pengklasifikasian hadits-hadits, yaitu dengan cara memisahkan hadits marfu' dari hadits mauquf dan maqthu'. Hasil dari gerakan ini adalah lahirnya kitab-kitab hadits yang sudah terseleksi, seperti Kitab Shahih, Kitab Sunan, dan Kitab musnad. Kitab Shahih adalah kitab atau buku hadis yang hanya memuat hadits-hadits yang sahih. Kitab Sunan ialah kitab hadits yang mengoleksi hadits-hadits sahih dan hadits-hadits yang tidak terlalu lemah (dha'if). Adapun Kitab Musnad adalah kitab hadits yang mengoleksi segala macam hadits tanpa memperhatikan kualitasnya (sahih dan tidaknya), di samping juga tidak menerangkan derajat hadis.
Pada periode ini tersusun 6 kitab hadits terkenal yang biasa disebut Kutub al-Sittah, yaitu: .
1. Al-Jami' al-Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H);
2. Al-Jami' al-Shahih karya Imam Muslim (204-261 H);
3. Al-Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202-275 H);
4. Al-Sunan karya al-Tirmidzi (200-279 H);
5. Al-Sunan karya al-Nasai (215-302 H); dan
6. Al-Sunan karya bin Majah (207-273 H).
Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan ('ashr al-Tahzib wa al-Tartib wa al-Istidrak wa al-Jam'). Periode ini berlangsung sekitar dua setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh Masehi, saat jatuhnya Dinasti Abbasiah ke tangan Hulagu Khan tahun 656 H/1258 M.
Gerakan ulama hadits pada periode keenam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gerakan ulama pada periode kelima. Hasil dari gerakan mereka adalah lahirnya sejumlah kitab hadits yang berbeda seperti Kitab Syarah, Kitab Mustakhrij, Kitab Athraf, Kitab Mustadrak, dan Kitab Jami', Kitab Syarah ialah kitab hadits yang memperjelas dan mengomentari hadis-hadis tertentu yang sudah tersusun dalam beberapa kitab hadits sebelumnya. Kitab Mustakhrij ialah kitab hadits yang metode pengumpulan hadisnya dengan cara mengambil hadis dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadits tersebut. Kitab Athraf ialah kitab hadits yang hanya memuat sebagian matan hadits, tetapi sanadnya ditulis lengkap. Kitab Mustadrak ialah kitab yang memuat hadits-hadits yang memenuhi syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau syarat-syarat salah satu dari keduannya. Kitab Jami' ialah kitab yang memuat hadits-hadits yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
Ulama-ulama hadits dan kitab-kitab hadits yang masyhur pada periode ini di antaranya ialah Sulaiman bin Ahmad al-Thabari, 'Abd al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquhni, Abu Awanah Yakub al-Safrayani, Ibnu Khuzaimah Muhammad bin Ishaq, Abu Bakr Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi,. Majuddin al-Harrani, al-Syaukani, Al-Munziri, Al-Shiddiqi, dan Muhyiddin Abi Zakaria al-Nawawi yang menulis kitab Riyadl al-Shalihin.
Periode ketujuh adalah periode persyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan ('ahd al-syarh wa al-jamu' wa al-takhrij wa al-bahts). Periode ini ini merupakan kelanjutan periode sebelumnya, terutama dalam aspek pensyarahan dan pengumpulan hadits-hadits. Ulama pada periode ini mulai mensistemisasi hadits-hadits menurut kehendak penyusun, memperbarui kitab-kitab mustakhraj dengan cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya. Mereka cenderung menyusun hadis sesuai dengan topik pembicaraan.
11. Jelaskan syarat-syarat ijtihad
Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antara sekian persyaratan itu yang terpenting ialah:
1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
2. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum.
3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'.
4. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
5. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
6. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh (mansukh) untuk menggali hukum.
7. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara tepat.
8. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan ta'dil tajrih (screening).
9. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum dan sanggup mempertahankannya.
10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar dengan kaidah kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan diketahuinya.
12. Jelaskan macam-macam tingkat ijtihad
Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu:
1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu. Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan sebutan Mazhab Empat.
2. Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari mazhab Syafi'i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.
3. Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya, demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya, men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini dari madzhab Syafi'i.
4. Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya satu tingkatan.
13. Jelaskan madzhab atau firqah Ilmu Kalam yang terpenting
Firqah-firqah ilmu kalam dalam Islam ada banyak. Yang terpenting adalah:
1. Firqah Syi’ah: Golongan firqah ini terpadu padanya firqoh dan mazhab. Sebab mereka beranggapan bahwa sayidina Ali bin abi Thalib dan anak keturunannya lebih berhak menjadi khalifah daripada orang lain. Berdasarkan wasiat nabi. masalah khilafah ini adalah soal politik yang dalam perkembangan ini selanjutnya mewarnai pandangan mereka di bidang agama. Syi’ah adalah golongan yang menyanjung dan memuji Sayyidina Ali secara berlebih-lebihan. Karena mereka beranggapan bahwa beliau adalah yang lebih berhak menjadi khalifah pengganti nabi Muhammad saw. Berdasarkan wasiatnya. Sedangkan khalifah-khalifah, seperti Abu Bakar, Umar bin Khatab, dan Utsman bin Affan di anggap sebagai penggasab atau perampas. Inti ajaran syi’ah adalah berkisar masalah khilafah. Jadi masalah politik, yang akhirnya berkembang dan bercampur dengan masalah-masalah agama. Ajaran-ajarannya yang terpenting yang berkaitan dengan khilafah.
2. Firqah Khawarij: Asal mulanya kaum khawarij adalah orang-orang yang mendukung Sayyidina Ali. Akan tetapi akhirnya mereka membencinya karena dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran, mau menerima tahkim yang sangat mengecewakan, sebagaimana mereka juga membenci mu’awiyyah karena melawan sayyidina ali khalifah yang sah. Kaum khawarij kadang-kadang menamakan diri mereka sebagai kaum syurah. Artinya orang-orang yang mengorbankan dirinya untuk kepentingan keridhaan Allah. Latar belakang khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya, yaitu dosa besar, agar dengan demikian orang Islam yang tidak sejalan dengan pendiriannya dapat diperangi dan dapat dirampas harta bendanya. Dengan dalih mereka bedosa besar dan setiap yang berdosa adalah kafir.
3. Firqah Mu’tazilah: Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala, artinya menyisihkan diri. Kaum Mu’tazilah berarti orang-orang yang menyisihkan diri. Berbeda dengan pendapat orang tentang sebab musabab timbulnya firqah Mu’tazilah itu. Mu’tazilah ini ternyata banyak terpengaruh oleh unsur-unsur luar. Antara lain dari kalangan orang-orang Yahudi, sehingga mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an itu hadits atau khalqul qur’an. Pengaruh yang sama dari orang-orang Kristen. Orang-orang Mu’tazilah giat mempelajari filsafat Yunani untk mempertahankan pendapat-pendapatnya, terutama filsafat Plato dan Aristoteles. Ilmu logika sangat menarik perhatiannya, karena menunjang berfikir logis. Memang mu’tazilah lebih mengutamakan akal fikiran, dan sesudah itu baru al-Qur’an dan hadits. Hal ini berbeda dengan golongan ahlussunnah, yang mendahulukan al-Qur’an dan hadist, kemudian baru akal fikiran. Sekalipun firqah mu’tazilah terpecah belah menjadi 22 aliran, namun aliran-aliran tersebut masih mempunyai lima prinsip ajaran yang mereka sepakati, yaitu: Tauhid, Adil, Janji dan ancaman, Tempat di antara dua tempat, dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
4. Firqah Qadariyah: Qadariyah mula-mula timbul sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh Ma’bad Al-Juhni al-Bisri dan Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan (685-705 M). Latar belakang timbulnya qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijakan politik Bani Umayyah yang dianggapnya kejam. Mereka mengatakan bahwa Allah itu adil, maka Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat kebaikan. Manusia harus bebas dalam menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Manusia harus mempunyai kebebasan berkehendak
5. Firqah Jabariyah: Firqah Jabariyah timbul bersama dengan timbulnya firqah Qadariyah. Dan tampaknya merupakan reaksi dari padanya. Daerah tempat timbulnya juga tidak berjauhan. Firqah Jabariyah timbul di Khurasan Persia. Pemimpinnya yang pertama ialah Jahm Bin Sofwan. Karena itu, firqah ini kadang-kadang disebut al-Jahamiyah. Ajaran-ajarannya banyak persamaannya dengan aliran Qura’ Agama Yahudi dan aliran Ya’qubiyah Agama krisetn. Orang-orang jabariyah berpendapat bahwa manusia itu tidak mempunyai daya ikhtiar, merupakan kebalikan dari faham qadariya. Jabariyah berpendapat bahwa hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua perbuatannya itu sejak semula telah diketahui Allah. Dan semua amal perbuatannya itu adalah berlaku dengan kodrat dan iradat-nya.
6. Firqah Murji’ah: Firqah murji’ah adalah dengan latar belakang politik. Sewaktu pusat pemerintahan Islam pindah kedamaskus, maka mulai tampak kurang taatnya beragama kalangan penguasa Bani Umayyah, berbeda dengan kulafaur rasyidin. Pemimpin Murji’ah ini adalah Hasan Bin Bilal Al-Muzni, Abu salat as-samman, tsauban Dhirar bin Umar. Orang-orang Murji’ah berpendapat bahwa seorang muslim boleh saja shalat di belakang seorang yang saleh ataupun dibelakang orang yang fasiq. Sebab penilaian baik dan buruk itu terserah kepada Allah. Soal ini mereka tangguhkan dan karena itu pulalah mereka dinamakan golongan murji’ah, yang berarti melambatkan atau menganggalkan tentang balasan Allah sampai akhirat nanti.
7. Firqah Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah: Ini adalah orang-orang yang pengikut sunnah Rasulullah. Artinya berpegang teguh dengannya. Sedangkan yang dimaksud al jama’ah ialah jama’ah Rasulullah dan mereka orang-orang yang dijamin selamat dari api neraka. Ahlus sunnah wal jama’ah ialah orang-orang yang menganut I’tikad yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW dan diikuti oleh sahabat-sahabatnya. Ajaran I’tikad yang termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits itu. Di himpun dan disusun secara rapi dan teratur.
14. Jelaskan tokoh-tokoh dalam tasawuf yang terpenting
Di antara tokoh-tokoh Tasawuf yang terpenting adalah:
1. Ibn AthaillahasSakandary
Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as Sakandary (w. 1350M), dikenal seorang Sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalam madzhab Maliki serta tokoh ketiga dalam tarikat al Syadzili. Penguasaannya akan hadits dan fiqih membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan akar syariat yang kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan, diantaranya Al Hikam, kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf. Kitab lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab al-Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang disebut terakhir berisi tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi, dan ada lagi kitab tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah - Kitab Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas al Mursi wa Syaikhihi Abil Hasan
2. Al Muhasibi
Nama lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857). Lahir di Basrah. Nama "Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan karya mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah karya "Ri'ayah li Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek kehidupan spiritual.
3. Abdul Qadir Al-Jilani
Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166) adalah seorang Sufi yang sangat tekenal dalam agama Islam. Ia adalah pendiri tharikat Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan, Persia, tetapi meninggal di Baghdad Irak. Abdul Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir disebut-sebut sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebut sebagai Ghauts Al-‘Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak bisa diragukan karena janjinya untuk memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku karangannya yang paling populer adalah Futuh Al Ghayb (menyingkap kegaiban). Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui bimbingan guru tharikat (mursyid). Jadi Qadiriyah adalah tharikat yang paling pertama berdiri.
4. Al-Hallaj
Nama lengkapnya Husayn Ibn Mansyur al-Hallaj (857-932), seorang Sufi Persia dilahirkan di Thus yang dituduh Musyrik oleh khalifah dan oleh para pakar Abbasiyah di Baghdad oleh karenanya dia dihukum mati. Al-Hallaj pertama kali menjadi murid Tharikat Syeikh Sahl di Al Tutsari, kemudian berganti guru pada Syeikh Al-Makki, kemudian mencoba bergabung menjadi murid al-Junaed al-Baghdadi, tetapi ditolak. Al-Hallaj terkenal karena ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya Akulah Yang Maha Mutlak, Akulah Yang Maha Nyata,bisa juga berarti "Akulah Tuhan", mengomentari masalah ini Al Junaid menjelaskan "melalui yang Haq engkau terwujud", ungkapan tersebut mengandung makna sebagai penghapusan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Junaid "al-‘abd yabqa al-‘abd, al-Rabb yabqa al-Rabb" artinya pada ujung perjalanan "manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap menjadi Tuhan". Pada jamannya Al Hallaj dianggap musyrik, akan tetapi setelah kematiannya justru ada gerakan penghapusan bahkan Al-Hallaj disebut sebagai martir atau syahid. Sampai sekarang Al-Hallaj tetap menjadi teka-teki atau misteri karena masih pro dan kontra.
15. Bagaimana perbedaan kondisi dunia Islam dahulu dan sekarang?
Kaum Muslim di masa keemasannya menghasilkan kecemerlangan Islam di dunia secara spektakuler, sementara dunia non-Islam masa itu dalam kondisi gelap-gulita. Akhirnya, setelah Islam merambah ke dunia itu, barulah dunia itu mengalami kecemerlangan pula. Lebih aneh lagi, justru pembawa kecemerlangan dunia berasal dari orang-orang yang dahulunya dianggap sebagai manusia yang kurang beradab dan menurut sebagian sejarawan mereka itu sebagai orang-orang yang secara genetik dianggap tidak mempunyai bakat dan kemampuan rasional. Oleh sebab itu, kemajuan yang spektakuler umat Islam pada masa itu merupakan suatu prestasi yang sangat mengagumkan. Karena dengan Islamnya, orang-orang tersebut mampu mendirikan Negara adikuasa tanpa tandingan dan mengalahkan adikuasa-adikuasa yang sudah ada pada masa itu. Secara historis, kaum Muslimin menjadi adikuasa selama 12,5 abad. Setelah itu, barulah kaum Muslimin mengalami kemunduran. Belakangan, pada abad ke-20-an kaum Muslimin baru mengalami kebangkitan kembali, setelah 300 tahun (tiga abad) dijajah Eropa. Kondisi kaum Muslimin secara sangat mengejutkan menjadi adikuasa dunia, sampai mencapai dua belas abad lebih, dan secara tiba-tiba terjatuh sehingga menjadi negara-negara lemah dan terjajah oleh Eropa, padahal mulanya Eropa sendiri adalah murid kaum Muslimin dan merupakan suatu kejutan baru bagi para ilmuwan dunia. Ada apa dengan kaum Muslimin itu. Mengapa dengan secara mengejutkan mampu menguasai dunia begitu lama, lalu secara tiba-tiba jadi lumpuh bahkan bertekuk lutut di hadapan para penguasa Eropa. Hingga kini (abad 21) sepertinya belum ada satu negara Islam pun di dunia ini yang mampu menyaingi kemajuan Eropa.
16. Bagaimana kaum intelektual kini menyikapi kelumpuhan dunia Islam di segala bidang di masa kini? Apa saja usulan solusi dan terapinya?
Menyikapi kondisi umat Islam yang lumpuh dan bertekuk lutut dihadapan Eropa itu telah mendorong lahirnya beberapa pemikir Islam modern. Di Mesir lahir seorang raja buta huruf namun, berpikiran modern dan brilian, Muhammad Ali. la menjadi pembaru di Mesir sehingga dikenal sebagai The Founder of Modern Egypt, di India lahir pula seorang pembaru, Syah Waliyullah al-Dahlawy; beberapa tokoh selanjutnya menjadi pembangkit rakyal India (Muslim) untuk merebut kembali supremasi kekuasaan kaum muslimin. Akhir-akhir ini, juga lahir para pemikir muslim yang suara lebih nyaring lagi. Mereka menyuarakan kebangkitan Islam. Sebagian mereka menyuarakan Islamisasi iptek, sebagian lagi bahkan menyuarakan agar iptek dijadikan sebagai sarana metodologi untuk mengkaji Islam agar Islam tidak ketinggalan dari Eropa karena sejarah kemajuan Islam pada masa klasik lebih disebabkan oleh kaum Muslimin masa klasik menggunakan iptek untuk mengkaji Islam sehingga kaum Muslimin memperoleh kemajuan yang menakjubkan, bahkan telah menjadi guru besar bagi orang-orang Eropa lebih dari dua belas abad lamanya. Di antara mereka yang menyuarakan konsep-konsep ini adalah C.A. Qadir (lahir 1909), A.K. Brohi (1915-1987), Abdul Salam (lahir 1926), Fazlurrahman (1919-1988), M. Arkoun (lahir 1928), Ziauddin Sardar, dan Hasan Hanafi (lahir 1935).
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: PENGANTAR STUDI ISLAM
Ditulis oleh Mustopa Almurtaqi Makarima
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://akumenuliskarenaalloh.blogspot.com/2013/03/pengantar-studi-islam.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Mustopa Almurtaqi Makarima
Rating Blog 5 dari 5