PENGANTAR STUDI ISLAM

Posted by Mustopa Almurtaqi Makarima 0 komentar
1.    Apa yang dimaksud dengan Pengantar  Studi  Islam  (PSI)? Jelaskan tujuan mempelajarinya dan urgensi studi ini bagi kaum Muslim dan para penstudi Islam
Pengantar  Studi  Islam  (PSI) adalah suatu  ilmu  yang  membahas  tentang cara mengkaji Islam, baik  dari dimensi normatif,  dimensi historis, maupun  dimensi aktualnya. Di dalam istilah  penelitian, sering dikenal dengan  istilah approach (pendekatan). 
Secara umum, PSI bertujuan: (1) Menjadikan umat Islam dapat memahami berbagai.metode yang telah  digunakan oleh  para ilmuwan  muslim dalam  mengkaji Islam  sehingga menimbulkan kesimpulan yang beragam. Pemahaman terhadap adanya keragaman  metode dengan berbagai  kelemahan dan  kekurangannya dapat  menumbuhkan sikap toleransi yang pada gilirannya menumbuhkan sikap kerukunan internal umat beragama  Islam. (2) Menciptakan kontekstualisasi doktrin Islam secara temporal sehingga  doktrin Islam akan  tampak selalu  aktual di  dalam kehidupan  sosiokultural yang dinamis.  Hal ini  lebih memungkinkan  karena para  ilmuwan   muslim kontemporer tidak  perlu  ragu  lagi  untuk  memanfaatkan  sebuah  metoda  kajian untuk mengkaji  al-Islam  karena   pada  masa  lalu   para  ilmuwan  muslim   pun telah mempergunakan metode  itu untuk  mengkaji al-Islam. 
Secara   khusus  - di  dunia  perguruan  tinggi-PSI bertujuan agar  seorang  mahasiswa   dapat memahami perkembangan  pemikiran metodologi  yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan muslim masa klasik  dalam mengkaji al-Islam, baik sebagai upaya memurnikan ajaran Islam dari  unsur-unsur   yang merusak   adat al-Islam maupun sebagai  upaya    untuk  mengontekstualisasikan doktrin  al-Islam itu  sendiri.  Pada  gilirannya, para mahasiswa yang  akan menjadi  ilmuwan  muslim masa   datang akan  menjadi sarjana  muslim  yang  sangat  toleran  terhadap perbedaan pandangan antarsesama sarjana  muslim  yang   lain,  bahkan   dengan nonmuslim   sekalipun. 
Urgensinya adalah untuk mengenalkan berbagai pendekatan dalam belajar Islam. Perbedaan pendekatan bukan berarti keluar dari Islam.  

2.   Sebutkan tiga makna utama dari kata "Islam"!.
Kata  "Islam"  mempunyai   arti   atau  makna  yang   bermacam-macam,  tetapi mengandung kesatuan  arti/makna.  Pengertian  umum yang mendasar adalah penyerahan diri atau pasrah   kepada Tuhan dengan segala bentuk  dan realisasinya. 
Tiga makna yang utama adalah:  Pertama, "Islam"   berasal dari    kata al-salamu,   al-salmu, dan  al-silmu, yang berarti : menyerahkan   diri, pasrah, tunduk  dan  patuh.  Dengan demikian "Islam" mengandung  makna  sikap  penyerahan  diri,  pasrah, tunduk   dan  patuh dari   manusia  terhadap   Tuhannya, atau   makhluk  (ciptaan)   terhadap Khaliq (Pencipta),  Tuhan  Yang Maha  Esa.  Sikap tersebut  tidak  hanya berlaku   bagi hambaNya  (manusia), tetapi  juga merupakan  hakikat dari  seluruh alam,   yaitu sikap  penyerahan  diri,  pasrah,  tunduk  dan  patuh  pihak  ciptaan  {makhluk} kepada Penciptanya  (Khaliq), yaitu  Allah. Langit  dan bumi  (benda-benda mati) adalah taat, patuh  dan pasrah  (islam}  kepada  Tuhan (Baca: Q.S. Fushilat: 11),  demikian  pula  segala   apa yang   ada  di  langit  dan   di bumi,   baik berupa benda   mati   maupun  benda  hidup   (Q.S.al-Nahl:  49  dan   Ali lmran: 83). Semua  makhluk, baik  berupa benda    mati  maupun   benda hidup,  berjalan secara alami,  teratur,  seimbang,   mengikuti ketentuan    Tuhan yang    berupa 'hukum alam'  {sunnatullah).   Sehingga   hukum-hukum  itu   dijadikan   pedoman dan kemudian digunakan  oleh    manusia  dalam  pengembangan  ilmu   pengetahuan dan teknologi.
Kedua, "Islam"  berasal  dari  kata al-silmu  atau al-salmu yang  berarti  damai (perdamaian) dan aman (keamanan). Hal  ini mengandung  makna bahwa orang    yang ber-Islam,  berarti   orang  yang masuk  dalam  perdamaian   dan keamanan,   dan seorang  muslim adalah   orang yang membikin  perdamaian  dan  keamanan   dengan Tuhan,  sesama  manusia,  dirinya dan  dengan alam. Damai  dengan  Tuhan berarti tunduk  dan patuh  secara  menyeluruh kepada KehendakNya. Damai  dengan  manusia tidak hanya  berarti meninggalkan   perbuatan jelek dan tidak  menyakitkan orang lain,  tetapi juga  berbuat baik   kepada orang  lain, karena  manusia  tidaklah terlepas dari ketergantungannya kepada yang  lain. Damai dengan dirinya  sendiri berarti selalu memelihara diri dan menjaganya  dari berbagai  macam ancaman  dan siksaan  atau  penderitaan,  apakah   berupa  penyakit  jasmani  maupun  rohani, atau lain-lainnya.   Sedangkan damai   dengan  alam  berarti   memelihara, memakmurkan  dan membudayakan  alam, serta  memanfaatkannya selaras dengan sifat dan kondisi   dari  alam   itu sendiri,    dan tidak   merusaknya atau melanggar hukum-hukum  alam  (sunnatullah).  Pengertian  itu  dapat  difahami dari  firman Allah dalam  Q.S.  al-Baqarah  ayat 208;    al-Nisa' ayat 91;  al-Tahrim ayat 5; al-Anbiya  ayat  105-107.  Pengertian  ini   merupakan  konsekwensi  dari  makna al-Islam   yang    berarti   'penyerahan  diri   atau   pasrah'    kepada Tuhan.
Ketiga, "Islam" berasal dari kata-kata al-salmu, al-salamu, dan al-sala'matu,  yang berarti   bersih   dan  selamat    dari kecacatan-kecacatan    lahir  dan batin. Pengertian ini  antara  lain  dapat difahami   dari firman  Allah  dalam Q.S. al-Syu'ara  ayat  89,  Q.S.  al-Shaffat   ayat  84.  Manusia   terdiri   atas  dua substansi,  yaitu  jasad  dan  roh. Jasad   manusia tunduk,   patuh dan   pasrah kepada   sunnatullah atau    aturan-aturan   Allah  yang  berlaku  di     alam, sedangkan     roh  manusia    sudah  melakukan    perjanjian primordial   dengan Tuhan dan  siap  untuk tunduk,  patuh  dan  pasrah kepadaNya.  Sehingga  manusia pasti   mampu   melaksanakan   tugasnya  sebagai    hamba  Allah,  yang   selalu tunduk,   mengabdi    dan    menyembah    kepadaNya.   Semuanya    itu merupakan fitrah  bagi manusia.  Selama  manusia senantiasa  menjaga  diri  dan memelihara fitrahnya, serta pilihannya mengarah  kepada pilihan baiknya (pahala),  maka dia akan   bersih dan  selamat  dari  kecacatan-kecacatan lahir   maupun batin,  dan selamat  dunia-akhirat. Sebaliknya,  kalau manusia  dalam perjalanan    hidupnya menyimpang dari fitrahnya, dan  pilihan hidupnya mengarah pada  pilihan buruknya (dosa), maka  dia akan  sengsara, tidak  selamat, dan  tidak bahagia    hidupnya lahir-batin, dunia-akhirat.

3.   Apakah yang dimaksud kebudayaan Islam? Antara budaya sebagai hasil karya, karsa, dan cita-cita manusia, dan Islam sebagai agama, dapatkah disandingkan?
Agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada agama; tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karen a itu, agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena ia subordinat terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya.
Dalam pandangan Harun Nasution, agama pada hakikatnya mengandung dua kelompok ajaran. Kelompok pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui para rasul-Nya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar ini terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan, baik mengenai arti maupun cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan ini diberikan oleh para pemuka atau ahli agama. Penjelasan-penjelasan mereka terhadap ajaran dasar agama adalah kelompok kedua dari ajaran agama. Kelompok pertama, karena merupakan wahyu dari Tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Kelompok kedua, karena merupakan penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama, pada hakikatnya tidaklah  absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Kelompok kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Menurut hasil penelitian ulama, jumlah kelompok pertama tidak banyak.
Pada umumnya, yang banyak adalah kelompok kedua. Dalam Islam, kelompok pertama terdapat dalam al-Qur'an. Al-Qur'an terdiri atas 30 (tiga puluh) juz, 114 (seratus empat belas) surat, dan sekitar 6.000 (enam ribu) ayat. Ayat hukum hanya berjumlah 368 ayat. Harun Nasution berkesimpulan bahwa dari 368 ayat ini, hanya 228 ayat atau 3,5% (tiga setengah persen) yang merupakan ayat yang mengurus hidup kemasyarakatan. Dengan demikian, jumlah ayat yang mengatur hubungan kemasyarakatan sedikit saja. Ajaran dasar agama pada al-Qur'an dan Sunah yang periwayatannya shahih bukan termasuk budaya. Tetapi pemahaman ulama terhadap ajaran dasar agama merupakan hasil karsa ulama. Oleh karena itu, ia merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi, umat Islam meyakini bahwa kebudayaan yang merupakan hasil upaya ulama dalam memahami ajaran dasar agama Islam, dituntun oleh petunjuk Tuhan, yaitu Al-Quran dan Sunah. Oleh karena itu, ia disebut kebudayaan Islam.

4.    Bagaimana Nabi Muhammad s.a.w., sebagai pembawa risalah agama Islam, melakukan pemecahan masalah? Lalu bagaimana para ulama penerus risalahnya memecahkan masalah umat?
Dengan menggunakan   cara   yang   berbeda-beda sesuai kemampuan audiens atau pengaju masalah. Perbedaan telah terjadi sejak masa Nabi Muhammad saw., masih hidup, namun waktu itu Rasul  mampu meredam gejolak perbedaan pemikiran itu. Oleh karena itu,  konflik  antara  satu sahabat dan  sahabat  lainnya  secara  maksimal dan komprehensif dapat  diredam. Dimaklumi bahwa pada  masa itu, selain  karena Nabi masih memperoleh  wahyu dari Tuhan Yang  Maha Esa  sehingga  segala permasalahan yang terjadi dalam  memahami Islam  dapat  dikembalikan  langsung  kepada  Rasulullah  saw.  sekaligus  dapat dijadikan pegangan  dalam memberikan solusi pada masa  itu, juga secara   khusus Nabi   Muhammad  saw.   diberi   kemampuan   rasio  yang  cemerlang,   melampaui kecemerlangan  rasio  seluruh  manusia genius   yang pernah  ada  di  dunia  ini sehingga  hasil  kajiannya  mendalam. Nabi  dapat  memuaskan  berbagai  pihak  yang sedang konflik. Bahkan, seperti ditulis dalam sejarah, Nabi Muhammad saw.  mampu mendamaikan  dua  komunitas  yang  saling  bersengketa  seumur  hidup  secara memuaskan. Secara historis, para ulama sangat  beragam dalam menggunakan  metode pemahaman Islam.  Masing-masing   cara  yang   digunakan   oleh   para  ulama   itu   bahkan   mempunyai karakteristiknya masing-masing. Dari  masing-masing karakter itu,  tampak adanya kekurangan  dan  kelebihan. Namun,  ada pula sebagian ulama  dengan kecenderungan antusiasme berlebihan  menganggap  bahwa  hanya caranya  sendiri yang  paling  benar.  Padahal,   dengan berbedanya  metode  yang  digunakan  oleh satu  ulama  dengan  ulama  lain telah menjadikan berkembangnya kesimpulan kajian mereka yang berbeda. Dari sinilah, tampak antara satu ulama dengan ulama lainnya saling menyalahkan. Dalam kondisi tertentu  sering menimbulkan  sikap saling  mengafirkan. Dan  pada skala tertentu  sikap  semacam  itu  bahkan  telah  menimbulkan   konflik    pemikiran internal   umat  Islam. Kondisi   semacam    ini  sebenarnya  secara   ilmiah  justru  dapat  memperkaya khazanah  intelektual   Islam.  Namun, ketika  konflik  ini    telah menimbulkan perpecahan  karena   saling  menghujat dan   menumpahkan   darah,   justru telah merugikan    Islam.
Salah satu  risalah KH Hasyim Asy'ari, yang berjudul  al-Risalah fi al-Nahy  'an Muqala 'ill  al-Arham wa   al-Qarub wa  al-Ikhwan, menyebut  mengenai dilarangnya  bagi  kita  untuk  memutuskan  tali  persaudaraan  hanya karena perbedaan faham.  Misalnya, dalam  risalah itu  disebutkan, bahwa  antara Imam Syafi'i (w.204 H) dengan gurunya  berbeda pendapat sekitar seribu masalah.  Dan antara  Abu Hanifah  (w.150 H)  H) dengan  Imam Malik  (w.179 H), yang keduanya di dalam perbendaharaan pemikiran Islam perbedaan  antara Ahl Ra'yi dengan  Ahl Riwayah, berbeda pendapat sekitar tiga belas ribu masalah. "Tetapi,"  Hasyim Asy'ari  mengatakan,  "Tidak  ada  saling  permusuhan,  saling mengumpat,  dan tidak   ada saling menyatakan  bahwa orang lain  sebagai sesat." Bayangkan saja, berbeda  tiga belas ribu  masalah.  Oleh karena  itu,  jika kita berbeda  pendapat dengan  siapa saja, jika perbedaannya  kurang dari seribu, itu bukan apa-apa dibandingkan  antara Syafi'i dengan gurunya; belum lagi antara Imam Hanafi dengan Imam Malik
5.   Sebutkan dalil-dalil syara'  atau sumber-sumber hukum yang dipegangi oleh empat mazhab terkemuka dalam hukum Islam.
Bila diperhatikan,   Ushul Fikih  dari keempat  mazhab fikih  yang berkembang di  kalangan kaum Muslimin,  yaitu  mazhab  Hanafi,  Maliki,  Syafi'i,  dan  Hanbali,  memiliki  perbedaan  tentang  dalil-dalil syara'  yang mereka  pegangi.   Dalil-dalil syara'  yang dipegang  oleh  mazhab  Hanafi  adalah   al-Quran,  sunnah,  ijma'  sahabat,  kias,  istihsan,  dan 'urf. Mazhab  Maliki  berpegang    pada al-Quran,   sunnah,   ijma'   ahl  al-madinah,   fatwa  sahabat,  khabar   ahad dan  kias,   istihsan,   istishlah,   sadd   al-zara'i',   mura'at  khilaf   al-mujtahidin,  istishbab,  dan   syar'  man   qablana.  Sedangkan    dalil-dalil syara'    yang   dipegang   oleh     mazhab    Syafi'i     adalah     al-Quran, sunnah,  ijma’,    kias,  istishlah,  dan  istishhab.  Adapun  mazhab  Hanbali berpegang pada al-Quran,  sunnah,  fatwa    sahabat,  dan     kias.
6.   Jelaskan perdebatan para ulama tentang penamaan kitab suci agama Islam, al-Qur’an.  
Terdapat perdebatan ulama mengenai penamaan Al-Quran. Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah nama yang khusus (khas) bagi Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Kedua, sebagian ulama lagi menyatakan bahwa Al-Qur'an diambil dari kata qara'in (petunjuk atau indikator) karena ayat-ayat Al-Qur'an satu sama lainnya saling menguatkan dan membenarkan. Al-Qur'an pun, masih menurut pendapat kedua. diambil dari kata al-qar'u yang berarti kumpulan (al-jam'). Ketiga, ulama yang lainnya memberikan nama lain bagi Al-Qur'an seperti al-Kitab, al-Nur, al-Rahmah, al-Furqan, al-Syifa, al-Mauizhah, al-Dzikr, al-Hukm, al-Qaul, al-Naba', al-Azhim, Ahsan al-Hadits, al-Matsany, al-Tanzil, al-Ruh, al-Bayan, al-Wahy wa al-Bashir, al-‘Ilm, al-Haqq, al-Shidq, al-Adl, al-Amr, al-Basyary, dan al-Balagh. Nama-nama lain untuk Al-Qur'an dikembangkan oleh ulama sedemikian rupa, sehingga Abu Hasan al-Harali dan Abd al-Ma'ali Syaizalah masing-masing memberikan nama sebanyak 90 dan 55 macam. Pemberian nama terhadap Al-Quran yang begitu banyak tidak disetujui oleh sebagian ulama, antara lain Shubhi Shalih. Menurutnya, pemberian nama yang banyak terhadap Al-Qur'an dinilai berlebihan sehingga terkesan adanya pencampuradukan antara nama-nama Al-Qur'an dan sifat-sifatnya. Sebagian nama-nama tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, memperlihatkan fungsi-fungsi Al-Qur'an.
7.   Jelaskan hikmah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur
Dilihat dari sejarah dan proses pewahyuan, Al-Quran memang tidak diturunkan secara sekaligus, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu secara periodik, sedikit demi sedikit dan ayat demi ayat. Hikmah pewahyuan semacam ini adalah untuk memberikan pemahaman bahwa setiap ayat Al-Quran tidak hampa sosial.  Pewahyuannya sangat bergantung pada lingkup dan persoalan-persoalan kemasyarakatan. Dari aspek ini, sebagian ayat Al-Qur'an merupakan jawaban terhadap berbagai persoalan sosial yang melanda kehidupan manusia. Tenggang waktu pewahyuan berlangsung selama kurang lebih 23 tahun yang secara geografis terbagi dua fase. Pertama, ketika Nabi Muhammad Saw berada di Kota Mekah sebelum berhijrah ke Madinah, yaitu selama 13 tahun. Kedua, ketika Nabi Muhammad berada di kota Madinah selama 10 tahun. Pendapat ini umumnya dipegang oleh para ulama 'ulum al-Qur'an.
8.   Jelaskan secara singkat perkembangan studi al-Qur’an hingga masa modern.
Ulama membagi periode tafsir kepada dua bagian. Pertama, periode nabi, sahabat dan tabi'in sampai kira-kira tahun 150 H. Kelompok tafsir periode itu disebut tafsir bi al-ma’tsur, Corak tafsir ini bersumber pada penafsiran Rasulullah, penafsiran sahabat, dan penafsi tabi'in. Periode pertama ini disebut juga dengan Periode Mutaqaddimin. Para ahli tafsir pada masa sahabat yang terkenal di antaranya al-Khulafa' al-Rasyidun yang empat, Ibnu Mas'ud, Abd Allah bin Abbas (68 H), Ubay bin  Ka'ab (19 H), Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy'ary, dan Abd Allah bin Zubair. Di antara mereka, yang paling terkenal ialah Abd Allah bin Abbas. Tafsir para sahabat selanjutnya dijadikan rujukan oleh para murid-muridnya (tabi'in) sehingga lahirlah tabaqat al-mufassirin(tingkatan para     penafsir). Di Mesir muncul thabaqat yang tafsirnya merujuk pada tafsir Abdullah bin Abbas. Di Madinah muncul thabaqat lain, seperti Zaid bin Tsabit, Abd al-Rahman bin Salam, dan Imam Malik bin Anas. Di Kufah muncul thabaqat  yang bersumber dari Ibnu Masud. Dari masa tabiinberalih ke masa tabi' al tabi’in. Di antara mereka yang  terkenal adalah Sufyan bin Uyainah, Zaid bin Harun, Syu'bah bin Hajjaj, dan Waqi al-Jarrah sarnpai akhirnya muncul Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari (w.310 H) dengan karya tafsirnya Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an yang merupakan kelompok tafsir bi al-ma'tsur.
Kedua, periode ketika hadis-hadis Rasul Allah telah beredar luas dan berkembang hadis-hadis palsu di tengah-tengah masyarakat sehingga menimbulkan banyak persoalan yang belum terjadi sebelumnya. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, para mufasir mulai berijtihad. Kegiatan ijtihad pada mulanya masih terikat pada kaidah-kaidah bahasa serta makna kosakata. Namun, sejalan dengan berkembangnya masyarakat, peran akal dalam berijtihad menjadi lebih subur. Ujungnya, lahir tafsir yang coraknya berbeda dengan tafsir corak pertama .
Periode kedua disebut sebagai Periode Muta'akhirinyang berlangsung antara abad ke-4 sampai abad ke-12 Hijriyah.  Corak tafsir yang muncul pada periode kedua di antaranya sebagai berikut.
1. Corak kebahasaan, artinya Al-Quran ditafsirkan melalui pendekatan gaya dan keindahan bahasa, seperti Tafsir al-Kasysyafyang ditulis oleh Zamakhsyari. Masih tafsir yang bercorak kebahasaan, tetapi melalui pendekatan tata bahasa adalah Tafsir Ma'ani al-Qur'an dan Tafsiral-Bahr al-Muhith yang secara berturut-turut ditulis oleh al-Ziyad al-Wahidi dan Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusy.
2. Corak tafsir yang bahasanya menitikberatkan pada kisah-kisah umat terdahulu, seperti yang ditulis oleh al-Tsa’labi,  Alaudin bin Muhammad al-Bagdadi.
3. Corak fikih dan hukurn, seperti Tafsir Jami' al-Qur'an, Ahkam al-Qur’an, dan Nail al-Maram yang masing-masing ditulis oleh al-Qurthubi, Ibnu 'Arabi dan al-Jashash, dan Hasan Shidiq Khan.
4. Corak tafsir yang menafsirkan ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah Swt, seperti Tafsir Mafatih at-Ghaib karya Imam al-Razi (w. 610 H).
5. Corak tafsir yang menitikberatkan pada isyarat ayat yang berhubungan dengan tasawuf, seperti tafsir yang ditulis oleh Abu Muhammad Sahl bin Abd Allah al-Tsauri.
6. Tafsir corak gharib (yang jarang dipakai dalam keseharian), seperti tafsir yang disusun oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, yaitu Mu'jam Gharib al-Qur'an.
     Di samping keenam corak tafsir di atas, terdapat corak tafsir yang lain, yaitu tafsir bercorak filsafat dan teologi, tafsir dengan penafsiran ilmiah, tafsir yang bercorak sastra budaya kemasyarakatan, tafsir tematik (maudlu'i), dan tafsir ilmi.
     Masih dalam periode kedua atau periode muta’akhirin, lahir pula tafsir dari kalangan Muktazilah dan Syiah. Tafsir dan kalangan Muktazilah di antaranya ialah Tanzih al-Qur'an 'an al-Mata'in karya Abd al-Qasim al-Thahir, al-Kasysyaf 'an Haqa'iq al- Tanzil wa Uyun al-Aqwal fi Wujud al-Ta’wil karya Abu al-Qasim Muhammad bin Umar al-Zamaksyari. Kelompok Syiah juga menulis banyak kitab tafsir yang bahasannya lebih menitikberatkan pada Ali bin Abi Thalib.
     Masih perlu ditambahkan satu periode lagi mengenai perkembangan tafsir, yaitu periode ketiga yang disebut Periode Baru yang dimulai abad ke-19 M. Dalam sejarah perkembangan pemikiran umat Islam, periode ini dikenal dengan Periode Kebangkitan Kembali. Pada periode ini muncul tokoh-tokoh pembaru seperti Jamalud din al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Khan, dan Ahmad Dahlan.
     Kelahiran para pembaru berpengaruh terhadap karya tafsir mereka. Tafsir yang ditulis pada periode ini di antaranya al-Manar yang mulanya ditulis oleh Muhammad Abduh lalu diselesaikan oleh muridnya, Rasyid Ridha, Tafsir Mahasin al-Ta'wil karya Jamal al-Din al-Qasimi, dan Tafsir Jawahirkarya Thanthawi Jauhari.
     Dilihat dari keterlibatan akal (ra'yu) dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, tafsir terbagi dua kelompok, tafsir bi al-ma'tsurdan tafsir bi al-ra'y. Tafsir kelompok pertama di antaranya ialah Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an karya al- Thabari, Bahr al-‘Ulum karya Nashr bin Muhammad al-Samarkand, al-Kasyf wa al-Bayan 'an Tafsir al-Qur'ankarya Abu Ishaq al-Tsalabi, Ma'alim al-Tanzil karya Muhammad al-Hasan al-Bagawi, al-Muharrir al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz karya Muhammad al-Andalusi.
     Adapun tafsir kelompok kedua (bi al-ra'y) di antaranya al-Bahrul al-Muhith karya al-Andalusi, Gharib al-Qur'an wa Raghib al-Furqankarya Nizamuddin al-Naisabur, Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur'an al-'Azhim wa at-Sab’ al-Matsani karya al-Allamah al-Lusi, dan Mafatih al-Ghaibkarya Fakhr al- Din al-Razi.
9.   Jelaskan perbedaan istilah-istilah al-hadits, al-sunnah, al-khabar, dan al-atsar
Dalam arti terminologi, ketiga istilah tersebut menurut kebanyakan ulama hadits adalah sarna dengan terminologi al-hadits, meskipun ulama lain ada yang membedakannya.
     Menurut ahli bahasa, al-hadits adalah al-jadid (baru), al-khabar(berita), dan al-qarib (dekat). Hadis dalam pengertian al-khabar dapat dijumpai di antaranya dalam surat al-Thur [52] ayat 34, surat al-Kahfi [18] ayat 6, dan surat al-Dluha [93] ayat 11.
     Dalam mengartikan al-hadits secara istilah atau terminologi, antara ulama hadits dan ulama ushul fiqh terjadi berbeda pendapat. Menurut ulama hadits, arti hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat.  Sedangkan ulama ahli ushul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah segala yang bersumber dari Rasulullah Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat khalaqah atau khuluqiyah maupun perjalanan hidupnya sebelum atau sesudah ia diangkat menjadi rasul.
     Al-khabar secara bahasa berarti al-naba’ (berita); sedangkan al-atsar berarti pengaruh atau sisa sesuatu (baqiyat al-syai'). Arti terminologi al-khabar dan al-atsar, menurut jumhur ulama, memiliki arti yang sarna, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., sahabat, dan tabi'in. Sedangkan menurut ulama Khurasan, al-atsar hanya untuk yang mauquf(disandarkan kepada sahabat) dan al-khabar untuk yang marfu' (disandarkan kepada Nabi). Oleh karena itu, baik al-hadis, al-sunnah, al-khabar, maupun al-atsar dilihat dari aspek penyandarannya ada yang marfu', mauquf, dan maqthu’ (disandarkan kepada tabi'in).
     Terhadap keempat pengertian istilah di atas al-hadis, al-sunnah, al-khabar dan al-atsar terutama aspek makna terrninologinya, ada ulama yang mempersamakan artinya, ada pula yang membedakannya. Ulama yang membedakan arti keempat istilah tersebut mengatakan bahwa al-hadits adalah sesuatu yang sandarannya adalah Nabi Muhammad saw., sedangkan al-sunnah adalah sesuatu yang sandarannya tidak hanya Nabi Muhammad saw, tetapi juga sahabat dan tabi'in.      Adanya perbedaan makna terminologi keempat istilah di atas, sebenarnya, tidaklah prinsipil. Keempat istilah tersebut mengacu pada pengertian yang sama, yaitu segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir.
10. Jelaskan secara singkat sejarah penulisan dan kodifikasi hadits.
Penulisan resmi hadis dalam kitab-kitab hadits, seperti dijumpai sekarang baru dimulai pada masa Bani Umayah, yaitu pada zaman Umar bin Abd al-Aziz. Penulisan secara resmi (kodifikasi) atau disebut juga tadwin, dimulai setelah adanya perintah dari Khalifah Umar bin Abd al-Aziz kepada para pakar hadis untuk menuliskannya.
     Para ulama hadis tidak sependapat dalam menentukan jumlah periodisasi hadits. Ada yang membaginya menjadi tiga periode, lima periode, bahkan tujuh periode. Di bawah ini adalah periodisasi hadis secara garis besar.
     Periode pertama adalah periode Nabi dan disebut Masa Wahyu dan Pembentukan ('ashr al-wahy wa al-takwin). Pada periode ini, Nabi melarang para sahabat menulis hadis, karena di samping adanya rasa takut bercampur antara hadis dan Al-Qur'an, juga agar potensi umat Islam lebih tercurah kepada Al-Qur'an. Namun, walaupun ada larangan, sebagian sahabat ada juga yang berinisiatif menuliskannya untuk berbagai alasan." Pada masa ini, para sahabat menerima hadis dari Nabi melalui dua cara: langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara lansung di antaranya melalui ceramah atau khutbah, pengajian, atau penjelasan terhadap pertanyaan yang disampaikan kepada Nabi. Adapun yang tidak langsung di antaranya mendengar dari sahabat yang lain atau mendengar dari utusan-utusan, baik utusan dari Nabi ke daerah-daerah atau utusan dari daerah yang datang kepada Nabi. Ciri utama periode ini ialah aktifnya para sahabat dalam menerima hadis dan menyalinnya secara sendiri-sendiri. Di samping itu, sahabat menerima hadis dan menyampaikannya kepada yang lain melalui kekuatan hafalan. Para sahabat yang banyak menerima hadis ialah khulafa rasyidun, Abd Allah bin Mas’ud, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Siti Aisyah, dan Ummu Salamah.
     Periode kedua adalah zaman khulafa rasyidun. Masa ini dikenal dengan periode pembatasan hadis dan penyedikitan riwayat (zaman al-tatsabut wa al-iqlal min al-riwayah). Usaha-usaha para sahabat di dalam membatasi hadis dilatarbelakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Kekhawatiran muncul karena suhu politik umat Islam secara internal mulai labil, terutama dalam suksesi kepemimpinan yang selalu menimbulkan perpecahan bahkan fitnah. Oleh karenanya, para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Mereka melakukan meriwayatan hadis dengan dua cara: lafdzi dan ma'nawi. Periwayatan bi al-lafdz adalah redaksi hadis yang diriwayatkan betul-betul sama dengan yang disabdakan oleh Nabi. Adapun periwayatan ma'nawii ialah redaksi hadis yang diriwayatkan berbeda dengan yang disabdakan Nabi, tapi substansinya sama.
     Periode ketiga adalah penyebaran hadits ke berbagai wilayah (zaman intisyar al-riwayat ila al-amshar) yang berlangsung pada masa sahabat kecil dan tabi'in besar. Pada masa ini, wilayah Islam sudah sampai ke Syam (Suriah), Irak, Mesir, Persia, Samarkand, dan Spanyol. Bertambah luasnya wilayah berdampak kepada menyebarnya hadis ke wilayah-wilayah tersebut yang dibawa oleh para sahabat yang pindah ke wilayah-wilayah tadi untuk menjadi pimpinan atau menjadi guru (pengajar) di sana. Di antara tokoh-tokoh hadis pada masa ini ialah Sa'id dan Urwah di Madinah, Ikrimah dan Atha bin Abi Rabi'ah di Mekkah, Ibrahim al-Nakha'i di Kufahl Muhammad bin Sirin di Bashrah, Umar bin Abd al-Aziz di Syam, Yazid bin Habib di Mesir, dan Wahab bin Munabih di Yaman.
     Periode keempat adalah periode penulisan dan pembukuan hadis secara resmi ('ashr al-kiiabai wa al-tadwin). Penulisan dimulai setelah ada perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd al-'Aziz (717-720 M) sampai akhir abad ke-8 M. Ia adalah khalifah Bani Umayah kedelapan yang menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin' Amr bin Hazrn, Gubernur Madinah untuk menulis hadis. Latar belakang Umar bin Abd al-Aziz menginstruksikan untuk mengkodifikasi hadits adalah bercampurbaurnya hadits sahih dengan hadits palsu, di samping rasa takut dan khawatir lenyapnya hadis-hadis dengan meninggalnya para ulama dalam perang. Pentadwinan terus berlangsung sampai masa Bani Abbas sehingga melahirkan para ulama hadits, seperti Ibnu Juraij (w.179 H) di Mekkah, Abi Ishaq (w.151 H) dan Imam Malik (w.179 H) di Madinah, al-Rabi Ibin Sabih (w.160 H) dan Abd al-Rahman al-Auzi (w.156 H) di Suriah.
     Di samping lahirnya para ulama hadits, dihasilkan pula sejumlah kitab-kitab hadits karya para ulama, baik berupa al-Jami', al-Musnaf, maupun al-Musnad. Misalnya, al-Musnad karya Imam Syafi'i, al-Musnaf karya al-Auza'i, dan al-Muwaththa' karya Imam Malik yang disusun atas perintah khalifah Abu Ja'far al-Mansur,
     Kitab-kitab hadits terbitan periode ini belum terseleksi betul sehingga isinya masih bercampur antara hadits Nabi dan fatwa sahabat, bahkan fatwa tabi'in, atau hadits marfu', mauquf, dan maqthu' di samping juga hadits palsu.
     Periode kelima adalah periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan ('ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih) yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-3 Hijriah. Atau tepatnya, saat Dinasti Abbasiah dipegang oleh Khalifah al-Ma'mun sampai al-Muqtadir (2011-300 H). Pada masa ini, para ulama mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan pengklasifikasian hadits-hadits, yaitu dengan cara memisahkan hadits marfu' dari hadits mauquf dan maqthu'. Hasil dari gerakan ini adalah lahirnya kitab-kitab hadits yang sudah terseleksi, seperti Kitab Shahih, Kitab Sunan, dan Kitab musnad. Kitab Shahih adalah kitab atau buku hadis yang hanya memuat hadits-hadits yang sahih. Kitab Sunan ialah kitab hadits yang mengoleksi hadits-hadits sahih dan hadits-hadits yang tidak terlalu lemah (dha'if). Adapun Kitab Musnad adalah kitab hadits yang mengoleksi segala macam hadits tanpa memperhatikan kualitasnya (sahih dan tidaknya), di samping juga tidak menerangkan derajat hadis.
Pada periode ini tersusun 6 kitab hadits terkenal yang biasa disebut Kutub al-Sittah, yaitu:   .
1. Al-Jami' al-Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H);
2. Al-Jami' al-Shahih karya Imam Muslim (204-261 H);
3. Al-Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202-275 H);
4. Al-Sunan karya al-Tirmidzi (200-279 H);
5. Al-Sunan karya al-Nasai (215-302 H); dan
6. Al-Sunan karya bin Majah (207-273 H).
     Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan ('ashr al-Tahzib wa al-Tartib wa al-Istidrak wa al-Jam'). Periode ini berlangsung sekitar dua setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh Masehi, saat jatuhnya Dinasti Abbasiah ke tangan Hulagu Khan tahun 656 H/1258 M.
     Gerakan ulama hadits pada periode keenam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gerakan ulama pada periode kelima. Hasil dari gerakan mereka adalah lahirnya sejumlah kitab hadits yang berbeda seperti Kitab Syarah, Kitab Mustakhrij, Kitab Athraf, Kitab Mustadrak, dan Kitab Jami', Kitab Syarah ialah kitab hadits yang memperjelas dan mengomentari hadis-hadis tertentu yang sudah tersusun dalam beberapa kitab hadits sebelumnya. Kitab Mustakhrij ialah kitab hadits yang metode pengumpulan hadisnya dengan cara mengambil hadis dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadits tersebut. Kitab Athraf ialah kitab hadits yang hanya memuat sebagian matan hadits, tetapi sanadnya ditulis lengkap. Kitab Mustadrak ialah kitab yang memuat hadits-hadits yang memenuhi syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau syarat-syarat salah satu dari keduannya. Kitab Jami' ialah kitab yang memuat hadits-hadits yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
    Ulama-ulama hadits dan kitab-kitab hadits yang masyhur pada periode ini di antaranya ialah Sulaiman bin Ahmad al-Thabari, 'Abd al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquhni, Abu Awanah Yakub al-Safrayani, Ibnu Khuzaimah Muhammad bin Ishaq, Abu Bakr Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi,. Majuddin al-Harrani, al-Syaukani, Al-Munziri, Al-Shiddiqi, dan Muhyiddin Abi Zakaria al-Nawawi yang menulis kitab Riyadl al-Shalihin.
     Periode ketujuh adalah periode persyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan ('ahd al-syarh wa al-jamu' wa al-takhrij wa al-bahts). Periode ini ini merupakan kelanjutan periode sebelumnya, terutama dalam aspek pensyarahan dan pengumpulan hadits-hadits. Ulama pada periode ini mulai mensistemisasi hadits-hadits menurut kehendak penyusun, memperbarui kitab-kitab mustakhraj dengan cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya. Mereka cenderung menyusun hadis sesuai dengan topik pembicaraan.
11. Jelaskan syarat-syarat ijtihad
Seseorang yang ingin mendudukkan  dirinya  sebagai  mujtahid harus   memenuhi  beberapa  persyaratan.  Di  antara  sekian persyaratan itu yang terpenting ialah:
1.          Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
2.          Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum.
3.          Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'.
4.          Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
5.          Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam  bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
6.          Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh (mansukh) untuk menggali hukum.
7.          Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara  tepat.
8.          Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan ta'dil tajrih (screening).
9.          Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum dan sanggup mempertahankannya.
10.       Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar dengan kaidah kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan diketahuinya.
12. Jelaskan macam-macam tingkat ijtihad
Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu:
1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah   istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu.   Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan  sebutan Mazhab Empat.
2. Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah  istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan  sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari  mazhab Syafi'i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab  Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok   pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.
3. Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid  mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid   dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya, demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya, men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa   pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan  mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini  dari madzhab Syafi'i.
4. Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan  dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik  dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai   mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai  dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam  mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok   ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga   sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya satu tingkatan.
13. Jelaskan madzhab atau firqah Ilmu Kalam yang terpenting
Firqah-firqah ilmu kalam dalam Islam ada banyak. Yang terpenting adalah:
1.  Firqah Syi’ah:    Golongan firqah ini terpadu padanya firqoh dan mazhab. Sebab mereka beranggapan bahwa sayidina Ali bin abi Thalib dan anak keturunannya lebih berhak menjadi khalifah daripada orang lain. Berdasarkan wasiat nabi. masalah khilafah ini adalah soal politik yang dalam perkembangan ini selanjutnya mewarnai pandangan mereka di bidang agama. Syi’ah adalah golongan yang menyanjung dan memuji Sayyidina Ali secara berlebih-lebihan. Karena mereka beranggapan bahwa beliau adalah yang lebih berhak menjadi khalifah pengganti nabi Muhammad saw. Berdasarkan wasiatnya. Sedangkan khalifah-khalifah, seperti Abu Bakar, Umar bin Khatab, dan Utsman bin Affan di anggap sebagai penggasab atau perampas. Inti ajaran syi’ah adalah berkisar masalah khilafah. Jadi masalah politik, yang akhirnya berkembang dan bercampur dengan masalah-masalah agama. Ajaran-ajarannya yang terpenting yang berkaitan dengan khilafah.
2. Firqah Khawarij:   Asal mulanya kaum khawarij adalah orang-orang yang mendukung Sayyidina Ali. Akan tetapi akhirnya mereka membencinya karena dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran, mau menerima tahkim yang sangat mengecewakan, sebagaimana mereka juga membenci mu’awiyyah karena melawan sayyidina ali khalifah yang sah. Kaum khawarij kadang-kadang menamakan diri mereka sebagai kaum syurah. Artinya orang-orang yang mengorbankan dirinya untuk kepentingan keridhaan Allah. Latar belakang khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya, yaitu dosa besar, agar dengan demikian orang Islam yang tidak sejalan dengan pendiriannya dapat diperangi dan dapat dirampas harta bendanya. Dengan dalih mereka bedosa besar dan setiap yang berdosa adalah kafir.
3. Firqah Mu’tazilah:    Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala, artinya menyisihkan diri. Kaum Mu’tazilah berarti orang-orang yang menyisihkan diri. Berbeda dengan pendapat orang tentang sebab musabab timbulnya firqah Mu’tazilah itu.   Mu’tazilah ini ternyata banyak terpengaruh oleh unsur-unsur luar. Antara lain dari kalangan orang-orang Yahudi, sehingga mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an itu hadits atau khalqul qur’an. Pengaruh yang sama dari orang-orang Kristen.   Orang-orang Mu’tazilah giat mempelajari filsafat Yunani untk mempertahankan pendapat-pendapatnya, terutama filsafat Plato dan Aristoteles. Ilmu logika sangat menarik perhatiannya, karena menunjang berfikir logis. Memang mu’tazilah lebih mengutamakan akal fikiran, dan sesudah itu baru al-Qur’an dan hadits. Hal ini berbeda dengan golongan ahlussunnah, yang mendahulukan al-Qur’an dan hadist, kemudian baru akal fikiran.   Sekalipun firqah mu’tazilah terpecah belah menjadi 22 aliran, namun aliran-aliran tersebut masih mempunyai lima prinsip ajaran yang mereka sepakati, yaitu: Tauhid, Adil, Janji dan ancaman,  Tempat di antara dua tempat, dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
 4.  Firqah Qadariyah: Qadariyah mula-mula timbul sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh Ma’bad Al-Juhni al-Bisri dan Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan (685-705 M).   Latar belakang timbulnya qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijakan politik Bani Umayyah yang dianggapnya kejam. Mereka mengatakan bahwa Allah itu adil, maka Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat kebaikan. Manusia harus bebas dalam menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Manusia harus mempunyai kebebasan berkehendak
5. Firqah Jabariyah:     Firqah Jabariyah timbul bersama dengan timbulnya firqah Qadariyah. Dan tampaknya merupakan reaksi dari padanya. Daerah tempat timbulnya juga tidak berjauhan. Firqah Jabariyah timbul di Khurasan Persia.  Pemimpinnya yang pertama ialah Jahm Bin Sofwan. Karena itu, firqah ini kadang-kadang disebut al-Jahamiyah. Ajaran-ajarannya banyak persamaannya dengan aliran Qura’ Agama Yahudi dan aliran Ya’qubiyah Agama krisetn. Orang-orang jabariyah berpendapat bahwa manusia itu tidak mempunyai daya ikhtiar, merupakan kebalikan dari faham qadariya.  Jabariyah berpendapat bahwa hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua perbuatannya itu sejak semula telah diketahui Allah. Dan semua amal perbuatannya itu adalah berlaku dengan kodrat dan iradat-nya.
6. Firqah Murji’ah:   Firqah murji’ah adalah dengan latar belakang politik. Sewaktu pusat pemerintahan Islam pindah kedamaskus, maka mulai tampak kurang taatnya beragama kalangan penguasa Bani Umayyah, berbeda dengan kulafaur rasyidin. Pemimpin Murji’ah ini adalah Hasan Bin Bilal Al-Muzni, Abu salat as-samman, tsauban Dhirar bin Umar.  Orang-orang Murji’ah berpendapat bahwa seorang muslim boleh saja shalat di belakang seorang yang saleh ataupun dibelakang orang yang fasiq. Sebab penilaian baik dan buruk itu terserah kepada Allah. Soal ini mereka tangguhkan dan karena itu pulalah mereka dinamakan golongan murji’ah, yang berarti melambatkan atau menganggalkan tentang balasan Allah sampai akhirat nanti.
7. Firqah Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah: Ini adalah orang-orang yang pengikut sunnah Rasulullah. Artinya berpegang teguh dengannya. Sedangkan yang dimaksud al jama’ah ialah jama’ah Rasulullah dan mereka orang-orang yang dijamin selamat dari api neraka. Ahlus sunnah wal jama’ah ialah orang-orang yang menganut I’tikad yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW dan diikuti oleh sahabat-sahabatnya. Ajaran I’tikad yang termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits itu. Di himpun dan disusun secara rapi dan teratur. 
14. Jelaskan tokoh-tokoh  dalam tasawuf yang terpenting
Di antara tokoh-tokoh Tasawuf  yang terpenting adalah:
1. Ibn AthaillahasSakandary
Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as Sakandary (w. 1350M), dikenal seorang Sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalam madzhab Maliki serta tokoh ketiga dalam tarikat al Syadzili. Penguasaannya akan hadits dan fiqih membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan akar syariat yang kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan, diantaranya Al Hikam, kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf. Kitab lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab al-Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang disebut terakhir berisi tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi, dan ada lagi kitab tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah - Kitab Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas al Mursi wa Syaikhihi Abil Hasan
2. Al Muhasibi
Nama lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857). Lahir di Basrah. Nama "Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan karya mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah karya "Ri'ayah li Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek kehidupan spiritual.
3. Abdul Qadir Al-Jilani
Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166) adalah seorang Sufi yang sangat tekenal dalam agama Islam. Ia adalah pendiri tharikat Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan, Persia, tetapi meninggal di Baghdad Irak. Abdul Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir disebut-sebut sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebut sebagai Ghauts Al-‘Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak bisa diragukan karena janjinya untuk memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku karangannya yang paling populer adalah Futuh Al Ghayb (menyingkap kegaiban). Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui bimbingan guru tharikat (mursyid). Jadi Qadiriyah adalah tharikat yang paling pertama berdiri.
4. Al-Hallaj
Nama lengkapnya Husayn Ibn Mansyur al-Hallaj (857-932), seorang Sufi Persia dilahirkan di Thus yang dituduh Musyrik oleh khalifah dan oleh para pakar Abbasiyah di Baghdad oleh karenanya dia dihukum mati. Al-Hallaj pertama kali menjadi murid Tharikat Syeikh Sahl di Al Tutsari, kemudian berganti guru pada Syeikh Al-Makki, kemudian mencoba bergabung menjadi murid al-Junaed al-Baghdadi, tetapi ditolak. Al-Hallaj terkenal karena ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya Akulah Yang Maha Mutlak, Akulah Yang Maha Nyata,bisa juga berarti "Akulah Tuhan", mengomentari masalah ini Al Junaid menjelaskan "melalui yang Haq engkau terwujud", ungkapan tersebut mengandung makna sebagai penghapusan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Junaid "al-‘abd yabqa al-‘abd, al-Rabb yabqa al-Rabb" artinya pada ujung perjalanan "manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap menjadi Tuhan". Pada jamannya Al Hallaj dianggap musyrik, akan tetapi setelah kematiannya justru ada gerakan penghapusan bahkan Al-Hallaj disebut sebagai martir atau syahid. Sampai sekarang Al-Hallaj tetap menjadi teka-teki atau misteri karena masih pro dan kontra.
15.  Bagaimana perbedaan kondisi dunia Islam dahulu dan sekarang?
Kaum Muslim di masa keemasannya menghasilkan   kecemerlangan Islam  di dunia secara spektakuler, sementara dunia  non-Islam masa itu dalam kondisi gelap-gulita.  Akhirnya, setelah  Islam merambah ke   dunia itu, barulah   dunia itu   mengalami   kecemerlangan   pula.   Lebih   aneh   lagi,  justru   pembawa kecemerlangan  dunia berasal  dari orang-orang  yang dahulunya  dianggap sebagai manusia yang  kurang beradab dan  menurut sebagian sejarawan  mereka itu sebagai orang-orang   yang  secara   genetik   dianggap  tidak   mempunyai   bakat   dan kemampuan rasional. Oleh   sebab  itu,  kemajuan   yang  spektakuler  umat   Islam  pada  masa   itu merupakan  suatu  prestasi  yang  sangat  mengagumkan.  Karena dengan  Islamnya, orang-orang  tersebut  mampu  mendirikan Negara  adikuasa  tanpa   tandingan dan mengalahkan adikuasa-adikuasa  yang sudah  ada pada  masa itu.  Secara historis, kaum  Muslimin menjadi  adikuasa selama  12,5 abad.  Setelah itu,  barulah  kaum Muslimin mengalami kemunduran. Belakangan, pada abad ke-20-an kaum Muslimin baru mengalami  kebangkitan kembali,  setelah 300  tahun (tiga  abad) dijajah  Eropa. Kondisi kaum Muslimin secara  sangat mengejutkan menjadi adikuasa  dunia, sampai mencapai dua belas  abad lebih, dan  secara tiba-tiba terjatuh  sehingga menjadi negara-negara  lemah  dan terjajah  oleh  Eropa, padahal  mulanya  Eropa sendiri adalah murid kaum  Muslimin dan merupakan  suatu kejutan baru  bagi para ilmuwan dunia. Ada apa dengan kaum Muslimin itu. Mengapa dengan secara mengejutkan mampu menguasai dunia begitu lama, lalu  secara tiba-tiba jadi lumpuh bahkan  bertekuk lutut di hadapan para penguasa Eropa. Hingga kini (abad 21) sepertinya belum ada satu negara Islam pun di dunia ini yang mampu menyaingi kemajuan Eropa.
16.  Bagaimana kaum intelektual kini menyikapi kelumpuhan dunia Islam di segala bidang di masa kini? Apa saja usulan solusi dan terapinya?
Menyikapi kondisi umat  Islam yang  lumpuh dan  bertekuk lutut  dihadapan  Eropa itu telah  mendorong lahirnya  beberapa  pemikir  Islam modern.   Di Mesir lahir seorang raja buta  huruf namun,  berpikiran modern  dan brilian,  Muhammad  Ali. la  menjadi  pembaru di  Mesir sehingga  dikenal sebagai  The Founder  of Modern Egypt, di  India lahir  pula  seorang  pembaru,   Syah  Waliyullah   al-Dahlawy; beberapa   tokoh selanjutnya  menjadi  pembangkit  rakyal India  (Muslim)  untuk merebut  kembali supremasi   kekuasaan kaum   muslimin. Akhir-akhir   ini,  juga lahir para  pemikir muslim  yang suara  lebih nyaring  lagi. Mereka  menyuarakan kebangkitan  Islam. Sebagian mereka menyuarakan Islamisasi  iptek, sebagian lagi bahkan   menyuarakan  agar  iptek  dijadikan  sebagai  sarana   metodologi untuk mengkaji  Islam  agar   Islam  tidak  ketinggalan   dari  Eropa   karena sejarah kemajuan Islam  pada masa  klasik lebih  disebabkan  oleh  kaum  Muslimin  masa klasik   menggunakan   iptek  untuk  mengkaji  Islam   sehingga  kaum   Muslimin memperoleh  kemajuan  yang  menakjubkan,  bahkan telah  menjadi guru  besar bagi orang-orang  Eropa lebih  dari dua  belas abad  lamanya. Di  antara mereka  yang menyuarakan  konsep-konsep  ini adalah  C.A.   Qadir (lahir  1909),  A.K.  Brohi (1915-1987), Abdul   Salam (lahir  1926),  Fazlurrahman  (1919-1988), M.  Arkoun (lahir  1928),  Ziauddin   Sardar,  dan  Hasan   Hanafi  (lahir  1935).  


TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: PENGANTAR STUDI ISLAM
Ditulis oleh Mustopa Almurtaqi Makarima
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://akumenuliskarenaalloh.blogspot.com/2013/03/pengantar-studi-islam.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
Cara Buat Email Di Google | Copyright of Aku Menulis Karena Alloh.