USHUL FIQH
0
komentar
1. Jelaskan pengertian dan latar belakang munculnya ilmu ushul fiqh!
A. Pengertian ushul Fiqh
Kata “ushul Fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul” dan kata “fiqh”. Kata “fiqh” secara bahasa berarti “ paham yang mendalam”. SEmentara menurt istilah, fiqh berarti ilmu tentang hUkum-hukum syara’ yang brsifat amaliyah yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafshili”. Dan dari arti istilah tersebut dapat dipahami dua bahasan, yaitu bahasan tentang hUkum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah dan tentang dalil-dalil tafshili.
Kata “ushul” yang merupakan bentuk jamak dari kata “ashal”, secara bahasa berarti ” sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya”. Arti ini tidak jauh dari maksud defenitif dari kata “ushul fiqh” tersebut karena ilmu ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan fiqh. Dengan demikian, ushul fiqh secara istilah berarti “ Ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalil-dalilnya yang terinci atau secara sderhana adalah “Kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.
B. Latar belakang munculnya ilmu ushul fiqh
Pada waktu Rasulullah masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hokum dengan menyebutkan ayat-ayat Al Qur’an dan jika tidak ditemukan dalam AlQur’an, beliau memberikan jawaban melalui penetapannya sendiri yang disebut dengan hadits.Al Qur’an turun dalam bahasa Arab, begitupin hadits Nabi. Para sahabat Nabi memiliki pengetahuan yang luas tentang Bahasa Arab, mereka mengetahui secara baik arti setiap lafadz dan maksud dari setiap ungkapan. Pengalaman mereka dalam menyertai Rasulullah dan pengetahuan mereka tentang asbabun nuzul ayat-ayat hukum memungkinkan mereka mengetahui rahasia semua hukum yang ditetapkan Allah. Jika para sahabat menemukan peristiwa yang memerlukan hukumnya, mereka mencari jawabanya dalam Al Qur’an dan hadits dan jika tidak ditemukan mereka menggunakan daya nalar mereka yang dinamakan ijtihad.
Setelah masa gemilang itu berlalu, datanglah suatu masa dimana umat Islam sudah bercampur baur antara orang-orang yang berbahasa Arab dan memahaminya secara baik dengan orang-orang yang tidak berbahasa Arab atau tidak memahaminya dengan baik. Waktu itu Bahasa Arab menjadi suatu yang harus dipelajari untuk memahami hukum-hukum Allah. Karenanya para ahli berusaha menyusun kaidah-kaidah untuk menjaga seseorang dari kesalahan dalam memhami Al Qur’an dan hadits yang keduanya adalah sumber pokok ajaran Islam. Kemudian para ulama mujtahid merasa perlu menetapkan dan menyusun kaidah atauran permainan yang dijadikan pedoman dalam merumuskan hukum-hukum dari sumbernya yang memperhatikan asas dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan menggunakan Bahasa Arab secara baik. Kaidah dalam memahami hukum Allah dari sumbernya itulah yang disebut ushul fiqh.
2. Bagaimanakah perkembangan ushul fiqh pada masa sahabat dan tabi’in?
Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dulu. Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung sesudah Nabi wafat, yaitu pada masa sahabat. Pemikiran dalam ushul fiqh telah ada pada waktu perumusan fiqh tersebut. Para sahabat- diantaranya Umar bin Khattab, Ibnu Mas’ud, Ali Bin Abi Thalib ketika mengemukakan pendapatnya tentang hukum, sebenarnya telah menggunakan aturan atau pedoman dalam merumuskan hukum, meskipun secara jelas mereka tidak mengemukakan demikian. Misalnya ketika Ali bin Abi Thalib menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali bagi peminum khamr, beliau berkata “bila ia minum ia akan mabuk, bila mabuk ia akan menuduh orang berbuat zina, maka kepadanya diberikan hukuman berbuat zina. Pernyataan Ali tersebut rupanya menggunakan kaidah menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau “sad al Dari’ah”. Pada masa tabi’in lapangan istinbath atau perumusan hukum semakin luas karena begitu banyaknya peristiwa hukum yang bermunculan. Pada masa ini tampil beberapa ulama seperti Sa’id ibnu Musayyab dan Ibrahim al Nakha di Irak. Mereka mengetahui secara baik ayat-ayat hukum dalam AL Qur’an dan memiliki koleksi hadits yang lengkap. Jika mreka tidak menemukan jawaban hukum dalam Al Qur’an dan hadits, sebagian mereka mengikuti metode maslahat dan sebagian lagi mengikuti qiyas. Usaha istnbath hukum yang dilakukan Ibrahim al Nakha mengarah pada mengeluarkan illat hukum dari nash dan menerapkannya terhadap peristiwa yang sama yang baru bermunculan kemudian hari. Perbedaan metode yang digunakan inilah akhirnya menyebabkan timbulnya perbedaan aliran dalam fiqh.
3. Bagaimanakah peranan Imam syafi’i dalam penyusunan buku ushul fiqh?
Imam Syafi’I pantas disebut sebagai orang pertama yang menyusun sistem metodologi berpikir tentang hukum Islam, yang kemudian populer dengan sebutan ushul fiqh; sehingga tidak salah ucapan seorang orientalis Inggris, N.J. Coulson yang mengatakan bahwa Imam Syafi’I adalah arsitek ilmu fiqh. Hal ini bukanlah berarti bahwa beliau yang merintis dan mengembangkan ilmu tersebut, jauh sebelum beliau, mulai dari para sahabat, tabi’in bahkan di kalangan imam mujtahid belakangan seperti Abu Hanifah, Imam Malik , Muhammad Al Baqir dan Ja’far al Shadiq sudah menemukan dan menggunakan metodologi dalam perumusan fiqh. Tetapi mereka belum menyusun ilmu itu secara sistematis sehingga dapat disebut sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Tidak seperti halnya Imam Syafi’I yang menyusun sebuah buku dengan judul Ar risalah sebagai buku pertama yang mengupas tuntas tentang ilmu ushul fiqh secara sistematis.
4. Setelah melembaganya madzhab-madzhab fiqh, arah pengembangan ushul fiqh terlihat dalam dua bentuk, yaitu ushul fiqh syafi’iyah atau ushul fiqh mutakallimin dengan ushul fiqh Hanafiyah. Jelaskan perbedaan kedua metode di atas!
Ushul fiqh Syafi’iyah atau ushul mutakallimin merupakan arah pemikiran murni, yaitu penyusunan kaidah ushul yang tidak terpengaruh kepada furu’ madzhab manapun. Perhatian pembahasan dalam hal ini mengarah pada penerapan kaidah dan menguatkannya tanpa terikat pada amal yang berkembang di kalangan mdzhab. Penamaan ulama mutakalllimin di sini karena pemikiran ulama kalam di bidang ini mengelempok dalam aliran ushul fiqh. Adapun ushul fiqh hanafiyah mengarah pada penyusunan ushul fiqh yang terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikannya bagi kepentingan furu' serta berusaha mengembangkan ijtihad yang telah berlangsung sebelumnya. Hal ini berarti bahwa pengikut madzhab melakukan ijtihad untuk memelihara hukum fiqh yang dicapai oleh ulama pendahulu madzhabnya. Mereka mengemukakan kaidah-kaiadah yang mendukung dan menguatkan madzhab mereka.
5. Ahlussunnah menyepakati Al Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas sebagai dalil dan sumber hukum Islam. Jelaskan landasan hukum yang kuat dari AL Qur’an dan hadits terhadap keempat sumber hukum tersebut!
1. Landasan dalam Al Qur’an tentang sumber hukum Islam diantaranya tercantum dalam surat al nisa (4) ayat 59, yaitu:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al nisa (4) : 9)
Perintah mentaati Allah berarti perintah menjalankan hukum yang terdapat dalam Al Qur’an. Perintah mentaati Rasul berari perintah mengamalkan apa yang disampaikan Rasul dalam sunnahnya. Perintah mentaati ulil Amri berarti perintah mengamalkan hukum yang ditemukan berdasarkan ijma’. Perintah mengembalikan sesuautu yang diperselisihkan hukumnya kepada Allah dan Rasul berarti perintah megamalkan hukum yang ditemukan melalui qiyas. Sedangkan landasan dalam sunnah adalah kisah pembicaraan Rasuullah dengan Muaz bin Jabal ketika ditanya tentang sumber hukum yang dipakai dalam memutuskan suatu perkara, Muaz menjawab bahwa ia akan memutuskan perkara tersebut berdasarkan Al Qur’an, jika tidak ditemukan dalam Al Qur’an maka akan dicari dalam hadits Nabi dan jika tidak ditemukan pula maka ia akan mengamalkan ijtihad dengan daya nalarnya dan ia pun berjanji tidak akan berbuat kelengahan. Rasulullah merasa bangga atas semua yang diuacapkan Muaz tersebut.
6. Apa yang Anda ketahui tentang kedudukan Sunnah terhadap Al Qur’an?
Sunnah merupakan sumber kedua setelah Al Qur’an. Kedudukan Sunnah terhadap Al Qur’an sekurang-kurangnya ada tiga hal, yaitu :
a. Sunnah sebagai penguat Al Qur’an. Hukum Islam disandarkan pada dua sumber yaitu Al Qur’an dan sunnah. Uuntuk itu, tidak heran jika banyak sekali sunnah yang menerangkan hal-hal yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an seperti kewajiban shalat, puasa, larangan musyrik, dan lain-lain.
b. Sunnah sebagai penjelas Al Qur’an, misalnya jumlah rakat dalam shalat. Dalam Al Qur’an hanya menyuruh manusia untuk mengerjakan shalat sedangkan cara-cara dan jumlah rakaat dalam setiap shalat baru dijelaskan dalam Sunnah.
7. Jelaskan pengertian ijma’ baik secara bahasa maupun istilah!
Ijma’ menurut bahasa (etimologi) mengandung dua arti, yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Hal ini dapat dilihat dalam Al Qur’an surat Yunus (10) ayat 71 :
(#þqãèÏHødr'sù öNä.{øBr& öNä.uä!%x.uà°ur
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)…”. (QS. Yunus (10) : 71
Kedua, ijma’ dalam arti sepakat sebagai mana terdapat dalam AlQur’an surat Yusuf (12) ayat 15 :
$£Jn=sù (#qç7yds ¾ÏmÎ/ (#þqãèuHødr&ur br& çnqè=yèøgs Îû ÏMt6»uxî Éb=ègø:$# 4
“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur)”. (QS. Yusuf (12): 15)
Adapun pengertian ijma’ menurut istilah sebagaimana pendapat Abdul Wahab Khalaf yaitu:
إتفاق جميع المجتهدين من المسلمين فى عصر من العصور بعد وفاة الرسول على حكم شرعيّ فى واقعة من الوقائع
“Konsensus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasulullah wafat atas suatu hukum syara’ mengenai suatu kasus”
8. Jelaskan dua dalil yang dikemukakan Jumhur ulama tentang kehujjahan ijma’!
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ menempati salah satu sumber hukum Islam setelah Al Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al Qur’an maupun Sunnah. Untuk menguatkan pendapat ini jumhur ulama mengemukan beberapa ayat Al Qur’an, di antaranya surat Al Nisa (4) ayat 115, dan surat Al Baqarah (2) ayat 143, yaitu :
`tBur È,Ï%$t±ç tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6Ftur uöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ôNuä!$yur #·ÅÁtB ÇÊÊÎÈ
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. Al Nisa (4) : 115)
Dalam ayat ini, “ jalan-jalan orang mukmin” diartikan sebagai apa-apa yang telah disepakati untuk dilakukan orang mukmin. Inilah yang disebut ijma’ kaum mukminin.
y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tur ãAqߧ9$# öNä3øn=tæ #YÎgx© 3
“Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”.(QS. Al Baqarah (2) : 143)
Ayat ini mensifati manusia dengan wasath yang berarti adil. Ayat ini memandang umat Islam itu sebagai adil dan dijadikan hujjah yang mengikat terhadap manusia untuk menerima pendapat mereka sebagaimana ucapan Rasulullah menjadi hujjah terhadap kita untuk menerima semua ucapan yang ditujukan kepada kita. Ijma’ berkedudukan sebagai hujjah tidak lain artinya kecuali bahwa pendapat mereka itu menjadi hujjah terhadap yang lain.
9. Jelaskan pengertian Qiyas menurut ulama ushul! Berikan contoh hukum yang ditetapkan berdasarkan qiyas!
Secara etimologis, kata qiyas berarti قدرartinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Sedangkan menurut istilah, pengertian qiyas sebagaimana pendapat Al Ghazali, yaitu :
حمل معلوم على معلوم فى إثبات حكم لهما أو نفيه عنهما بأمر جامع بينهما من إثبات حكم أو نفيه عنهما
Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduana disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hokum atau peniadaan hukum.
Adapun contoh penetapan hukum berdasarkan qiyas misalnya hukum haramnya narkoba karena diqiyaskan pada minuman keras. Hal ini terjadi karena dalam qiyas terdapat empat rukun, yaitu :
- Maqis alaih atau ashal yaitu hal yang telah ditetapkan sendiri hukumnya. dalam hal ini minuman keras atau khamr
- Maqis atau far’u yaitu hal yang belum diketahui hukumnya secara jelas dalam nash syara’. Dalam hal ini narkoba
- Hukum asal, yaitu hukum syara’ yang telah ditetapkan oleh nash. Dalam hal ini hukum haram minum khamr
- Illat yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashal. Dalam hal ini, khamr itu memabukkan. Untuk lebih jelasnya : Khamr hukumnya haram karena memabukkan. Narkoba adalah sesuatu yang belum jelas hukumnya dalam nash tapi memilki kesamaan dengan khamr karena sama-sama memabukkan, maka narkoba hukumnya haram sama seperti khamr.
10. Uraikan pengertian dan dasar hukum ijtihad!
Ijtihad menurut bahasa berarti kesanggupan yang sangat atau kesungguhan yang sangat. Adapun pengertian ijtihad menurut istilah adalah :
عمليّة إستنباط الأحكام الشرعيّة من أدلّتها التفصيليّة فى الشريعة
Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syari’at.
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara”. Adapun dasar hukum yang membolehkannya ijtihad itu banyak sekali baik melalui pernyataan jelas maupun yang berupa isyarat, diantaranya terdapat dalam surat Al Nisa (4) ayat 105, yaitu :
!$¯RÎ) !$uZø9tRr& y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# !$oÿÏ3 y71ur& ª!$#
“Sesungguhnya Kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi diantara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu”.(QS. Al Nisa (4) : 105)
Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad berdasarkan qiyas. Selain ayat Al Qur’an di atas, terdapat pula keterangan dari sunnah yang membolehkan berijtihad,diantaranya kisah pembicaraan Rasulullah dengan Muaz bin Jabal atau berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar, sebagai berikut :
إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران فإذا حكم الحاكم فاجتهد ثمّ أخطأ فله أجر
“Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua pahala, dan bila salahmaka ia mendapat satu pahala”
11. Bagaimanakan cara penyelesaian dalil-dalil yang bertentangan? Berikan contohnya!
Dalam upaya penyelesaian perbenturan antara dua dalil hukum, para ulama ushul fiqh bertolak pada suatu prinsip yang dirumuskan dalam kaidah :
العمل بالدليلين المتعارضين أولى من إلغاء أحدهما
Mengamalkan dua dalil yang berbenturan lebih baik dari pada menyingkirkan satu diantaranya
Ada tiga tahap penyelesaian yang tergambar dalam kaidah itu, yaitu :
a. Sedapat mungkin kedua dalil itu digunakan sekaligus, sehingga tidak ada dalil yang disingkirkan. Misalnya ayat 240 dan ayat 243 surat Al Baqarah yang menetapkan bahwa iddah bagi istri yang kematian suami adalah 4 bulan 10 hari, sedangkan ayat 240 menetapkan iddahnya satu tahun. Usaha kompromi dalam kasus ini adalah dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud “bersenang-senang selama satu tahun” (dalam ayat 240) adalah untuk tinggal di rumah suaminya selama satu tahun kalau ia tidak kawin lagi, sedangkan waktu tunggu 4 bulan 10 hari (dalam ayat 243) maksudnya sebagai larangan untuk kawin dalam masa itu. Dengan demikian kedua ayat walaupun kelihatannya bertentangan namun keduanya dapat digunakan sekaligus.
b. Setelah dengan cara apapun kedua dalil itu tidak dapat digunakan sekaligus, maka diusahakan setidaknya satu diantaranya diamalkan, sedangkan yang satu lagi ditinggalkan. Hal ini bisa menggunakan metode nasakh yaitu dalil yang datang belakangan yang dipergunakan, atau dengan tarjih yaitu menggunakan dalil yang dipandang lebih kuat, atau juga bisa dengan cara takhyiryaitu memilih salah satunya dengan tetap menghormati kebenaran dalil yang tidak diamalkan.
c. Sebagai langkah terakhir, tidak dapat dihindarkan kedua dalil itu ditinggalkan, dalam arti tidak diamalkan keduanya.
12. Jelaskan secara singkat beberapa metode ijtihad yang masih menjadi ikhtilaf dikalangan para ulama!
Metode ijtihad yang masih menjadi ikhtilaf adalah sebagai berikut :
a. Istihsan, yaitu perpindahan dari satu hukum yang telah ditetapkan oleh dalil syara’ kepada hukum lain karena ada dalil syara’ yang mengharuskan perpindahan ini sesuai dengan jiwa syari’at Islam. Misalnya ; seseorang memiliki kewenangan bertindak hukum jika sudah dweasa dan berakal. Bagaimana kalau anak kecil yang pergi ke warung untuk membeli sesuatu? Berdasarkan istihsan anak kecil itu diperbolehkan membeli barang-barang kecil yang menurut kebiasaan tidak menimbulkan mafsadat.
a. Maslahah Mursalah, yaitu memberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak terdapat dalam nash atau ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan, misalnya pembentukan dewan-dewan dan percetakan mata uang di masa Umar bin Khathab, memberlakukan adzan dua kali pada masa Usman bin ‘Affan.
b. Istishhab, yaitu tetapnya suatu hukum jika tidak ada yang merubahnya, seperti Seorang yang telah menikah terus dianggap ada dalam hubungan suami istri sampai ada bukti lain mereka telah bercerai, misalnya dengan talak.
c. Adat atau ‘Urf adalah sikap, perbuatan dan perkataan yang biasa dilakukan oleh kebanyakan manusia atau oleh manusia seluruhnya, seperti ketika seseorang masuk ke kolam renang atau pemandian umum yang memungut bayaran, orang hanya membayar seharga tarif masuk yang ditentukan tanpa memperhitungkan berapa banyak air yang dipakainya dan berapa lama ia menggunakan pemandian tersebut.
d. Madzhab Shahabi adalah fatwa sahabat secara perorangan, misalnya adzan dua kali ketika akan melaksanakan shalat jum’at pada masa Usman bin Affan
e. Syar’u man Qablana yaitu syariat sebelum kita, misalnya pelaksanaan puasa diwajibkan kepada umat Muhammad diwajibkan pula pada umat sebelumnya, atau puasa nabi Daud masih bisa dilakukan oleh umat Muhammad karena tidak ada larangan baik dari Al Qur’an maupun hadits .
f. Sadd darari’. Dzari’ah adalah jalan yang menyampaikan kepada tujuan, yaitu jalan untuk sampai kepada yang haram atau kepada yang halal. Maka jalan yang menyampaikan pada yang haram, hukumnya pun menjadi haram begitu juga sebaliknya, misalnya zina itu hukumnya haram, maka melihat aurat wanita yang membawa kepada perzinahan adalah haram juga.
13. Analisa ayat أقيموا الصلاة ditinjau dari segi sighat taklif!
Analisa ayat أقيموا الصلاة ditinjau dari segi sighat taklif. Ayat di atas terbentuk dari shighat amar yang menghendaki pihak yang disuruh wajib melaksanakan apa yang tersebut dalam lafadz itu. Amar dalam ayat ini menimbulkan hukum wajib meskipun tanpa qarinah yang mengarahkannya untuk itu. Dengan demikian, menurut ayat di atas shalat itu hukumnya wajib. Di samping itu pula ada kaidah الأصل فى الأمر للوجوب
14. Bolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah? Lengkapi dengan contoh hukumnya!
Mafhum mukhalafah adalah pengertian yang dipahami berbeda dari ucapan, baik dalam istinbath maupun nafyi. Berhujjah dengan mafhum mukhalafah diperbolehkan dengan syarat :
a. Mafhum mukhalafah tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat baik dalil manthuq maupun mafhum muwafaqah, misalnya ayat
wur (#þqè=çGø)s? öNä.y»s9÷rr& spuô±yz 9,»n=øBÎ)
“Janganlah kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan” (QS. Al Isra (17) : 31)
Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan maka anak boleh dibunuh. Mafhum mukhalafah ini bertentangan dengan manthuq,
wur (#qè=çFø)s? }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# wÎ) Èd,ysø9$$Î/ 3
“ Janganlah kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran” (QS. Al Isra (17) : 33)
Atau contoh lain dalam ayat:
* xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s?
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka”. (QS. Al Isra (17) : 23)
Menurut ayat di atas, yang tidak boleh adalah mengatakan “ah” atau kata-kata kasar kepada orang tua, mafhum mukhalafahnya boleh memukul. Tetapi mafhum ini berlawanan dengan mafhum muwafaqahnya yaitu tidak boleh memukul, menendang, membunuh,dan lain-lain.
b. Yang disebutkan (manthuq) bukan yang biasanya terjadi, seperti :
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ËF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur ÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu…” (QS. Al Nisa (4) : 23)
Perkataan “ yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahami bahwa yang tidak ada dalam pemeliharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan sebab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
c. Manthuq bukan dimaksudkan untuk menguatkan suatu keadaan, misalnya :
المسلم من سلم المسلمون من يديه و لسانه
“Orang Islam adalah orang yang tidak mengganggu orang Islam lainnya, baik dengan tangan ataupun dengan lisannya” (Hadits)
Dengan perkataan “orang Islam” tidak dipahami bahwa orang kafir boleh diganggu, sebab perkataan tersebut dimaksudkan alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.
d. Manthuq harus berdiri sendiri, tidak mengikuti pada yang lain. Misalnya :
wur Æèdrçų»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$#
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid…”. (QS. Al baqarah (2) : 187)
Ini tidak berarti kalau tidak I’tikaf di mesjid boleh dicampuri.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: USHUL FIQH
Ditulis oleh Mustopa Almurtaqi Makarima
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://akumenuliskarenaalloh.blogspot.com/2013/03/ushul-fiqh.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Mustopa Almurtaqi Makarima
Rating Blog 5 dari 5