Novel Arinillah

Posted by Mustopa Almurtaqi Makarima 0 komentar
Bismilahirrohmanirrohim

 MELIHAT ALLAH
(Sebuah Novel Filsafat)
distributed by www.lentera-rakyat.sos4um.com
Nama buku : Arinillah
Judul terjemah : Perlihatkanlah Allah kepadaku!..
Penulis : Taufik Hakim
Penerjemah : Yessi HM Basyaruddin, Lc
Penerbit : Maktabah Usrah
Jumlah Halaman asli : 234
Jumlah Halaman terj : 201

InilahTerjamahan Novelnya

Ayah, Perlihatkanlah Allah Kepadaku!… Pada zaman dahulu kala, terdapat seorang laki-laki yang sangat sederhana, bersahaja dan suci jiwanya. Ia dikaruniai seorang anak laki-laki yang sangat cerdik dan fasih dalam berbicara...laki-laki itu sering menghabiskan waktunya bersama sang anak....mereka benar-benar seperti sepasang sahabat sejati...
Kita dapat melihat bagaimana perbedaan usia dan jarak waktu tidak terlihat di antara keduanya. Seperti kain idaman yang terbuat dari sutra. Keduanya terlihat kompak dan saling memahami antara satu dengan yang lain. Sayangnya, mereka berdua memiliki ilmu pengetahuan yang sama tentang hakikat keberadaan alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, ketika sang anak tidak tahu...sang ayah-pun akan mengalami hal yang sama...
Pada suatu hari, sang ayah memandang anaknya dan berkata: “Terima kasih Allah!...” Sambil mengusap kepala anaknya, sang ayah berkata: “Engkaulah nikmat paling berharga yang Allah berikan kepadaku!...” Maka, sang anak-pun berkata: “Ayah...engkau selalu berbicara tentang Allah...perlihatkanlah Allah kepadaku!...” Dengan sangat kaget, sang ayah berkata: “Apa yang engkau ucapkan tadi anakku?!...” Sang ayah mengucapkan kata-kata tersebut dengan wajah terlihat bingung. Ini adalah sebuah pertanyaan anak kecil, yang ia sendiri tidak tahu apa jawaban yang harus ia berikan kepadanya....
Sang ayah-pun terdiam dan berfikir. Setelah itu, ia berpaling kepada anaknya. Dengan suara perlahan dan ragu-ragu, ia berbicara kepada anaknya: “Anakku, benarkah kamu memintaku untuk memperlihatkan Allah kepadamu?” Dengan wajah tanpa dosa, sang anak-pun menjawab: “Ya, benar...perlihatknlah Allah kepadaku ayah!...” Dengan setengah bergumam, sang ayah berkata: “Bagaimana aku dapat memperlihatkan sesuatu yang tidak pernah aku lihat sebelumnya?!...”
Mendengar kata-kata itu, sang anak semakin mencecarnya dengan pertanyaan: “Mengapa ayah...mengapa engkau belum pernah melihatnya?” Dengan perlahan, sang ayah menjawab: “Karena aku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya...” Sang anak terus memaksa: “Dan seandainya aku meminta ayah untuk pergi dan melihatnya...,
barulah setelah itu, ayah perlihatkan Ia kepadaku...bagaimana?” Dengan semangat, sang ayah menjawab: “Aku akan melakukannya anakku....aku akan melakukannya.....”
Sang ayah-pun bangkit dari duduknya...ia menghabiskan waktunya pada hari itu dengan menelusuri jalan-jalan di sekeliling kota. Ia terus bertanya tentang masalah yang dihadapinya kepada orang-orang. Sayangnya, mereka tidak dapat menjawabnya. Mereka telah disibukkan oleh perkara dunia dan sudah lupa dengan Allah...
Akhirnya, ia-pun pergi kepada para ulama. Maka, para ulama itu berusaha untuk berbicara dan mendebatnya dengan teks-teks keagamaan juga berbagai susunan kata yang berhubungan dengan ajaran agama. Sayangnya, tidak ada satu-pun dari mereka yang dapat membuatnya puas. Akhirnya, laki-laki ini meninggalkan mereka dengan putus asa...
Ia terus menelusuri jalan-jalan kota tanpa arah tujuan, sambil berkata kepada dirinya sendiri: “Apakah aku harus pulang kepada anakku dengan tangan kosong, tanpa membawa pesanannya?” Pada akhirnya, ia bertemu dengan seorang kakek tua yang memberi tahu dengan perkataannya: “Pergilah ke pinggir kota. Di sana, kamu akan menemukan seorang kakek tua, ahli ibadah. Setiap ia meminta dari Allah, pasti permintaannya itu dikabulkan....mungkin...di sanalah kamu akan mendapatkan seluruh pemecahan permasalahanmu!”
Dengan semangat, sang ayah-pun pergi kepada kakek itu dan berkata kepadanya: “Aku datang kepadamu untuk mengadukan sebuah permasalahan. Saya harap, anda tidak akan membuat saya kecewa dan merasa gagal.” Si kakek tua itu-pun mengangkat kepalanya sambil berkata dengan suara yang begitu dalam dan lembut: “Beritahukanlah keinginanmu itu anakku!...”
Sang ayah-pun akhirnya berkata: “Kakek, aku mohon anda berkenan memperlihatkan Allah kepadaku!...” Sang kakek-pun terlihat berfikir dan memegang jenggotnya yang sudah memutih dengan tangannya. Setelah itu, ia berkata: “Apakah kamu menyadari, apa yang kamu katakan tadi?” Dengan harap-harap cemas, sang ayah menjawab: “Benar kakek...aku ingin anda memperlihatkn Allah kepadaku!...” Dengan suara lembut dan dalam, sang kakek kembali berkata: “Anakku!...Allah tidak akan dapat dilihat oleh mata kasat kita....dan Allah tidak akan dapat disentuh oleh fisik luar kita....apakah kita dapat menelusuri kedalaman laut dengan jari-jari yang hanya dapat menelusuri kedalaman sebuah gelas?!...”
Dengan penuh penasaran, laki-laki itu kembali bertanya: “Lalu, bagaimana aku dapat melihat-Nya?” Si kakek menjawab: “Apabila Allah membukakan ruhmu...” Laki-laki itu terus bertanya lagi: “Dan kapan Allah akan membuka ruhku?” Sang kakek menjawab: “Seandainya kamu beruntung mendapatkan cinta-Nya...” Laki-laki itu-pun langsung bersujud dan menuangkan debu di dahinya. Setelah itu, ia mengambil tangan kakek tua yang ahli ibadah itu sambil berkata: “Kakek...engkau adalah orang shalih ahli ibadah...pintalah kepada Allah untuk memberikan kepadaku sepotong cintanya...”
Sang kakek-pun akhirnya menyambut tangan laki-laki tersebut dengan lemah lembut dan berkata: “Tenang nak...pintalah sedikit demi sedikit...” Laki-laki itu-pun kembali berkata: “Baiklah, kalau begitu, berikan cinta-Nya kepadaku. Sekalipun, hanya sebesar satu dirham...” Si kakek langsung berkata: “Dasar tamak!...itu terlalu banyak...” Laki-laki itu kembali berkata: “Baiklah...kalau begitu, bagaimana dengan seperempat dirham....” Si kakek menjawab: “Turunkan lagi...turunkan!...”
Laki-laki itu lalu berkata: “Apakah engkau tidak dapat meminta cintanya. Sekalipun, hanya seberat biji jagung saja?...” Sang kakek kemudian berkata: “Tidak bisa...” Laki-laki itu meminta lagi: “Bagaimana seandainya jika setengah berat biji gandum...” Sang kakek menjawab: “Ya, mungkin saja...” si kakek-pun mengangkat kepalanya memandang ke arah langit sambil berkata: “Ya Allah...berikanlah rasa cinta-Mu kepadanya. Sekalipun, hanya seberat setengah biji jagung!...”
Laki-laki ini-pun akhirnya pergi dan meninggalkan si kakek....hari-haripun berlalu...keluarga laki-laki ini, anak dan juga sahabat-sahabatnya datang ke orang tua tadi dengan berbondong-bondong. Mereka mengatakan bahwa semenjak hari itu, laki-laki yang tidak lain ayah dari anak ini tidak pulang ke rumah dan keluarganya. Ia menghilang begitu saja...dan tidak ada satu-pun orang yang mengetahuinya...sang kakek ahli ibadah-pun berdiri dengan gelisah... akhirnya ia memutuskan untuk ikut mencari laki-laki tadi.
Setelah berhari-hari mencari, akhirnya mereka bertemu dengan sekelompok pengembala yang mengatakan bahwa ada seorang laki-laki gila yang naik ke atas gunung. Akhirnya, mereka segera mengikuti jejaknya dan menemukan laki-laki tersebut berdiri di tengah-tengah padang pasir. Pandangannya lurus ke arah langit. Mereka-pun mengucapkan salam kepadanya. Akan tetapi...laki-laki itu tidak menjawabnya...
Maka, si kakek ahli ibadah tadi berkata kepadanya: “Masih ingatkah kamu kepadaku....aku kakek ahli ibadah yang kamu datangi...” Akan tetapi, laki-laki itu tidak juga bergerak. Maka, giliran anak laki-lakinya yang maju dengan harap-harap cemas. Kemudian, ia berkata dengan suaranya yang kecil dan lembut: “Ayah...apakah engkau tidak mengenalku?...” Sayangnya...tidak ada satu gerakan-pun dari laki-laki itu setelah mendengar suara anaknya.
Akhirnya, keluarga laki-laki yang berada di sekelilingnya itu berteriak dan berusaha membangunkan kesadarannya. Akan tetapi, si kakek ahli ibadah tadi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata kepada mereka: “Tidak ada manfaatnya!...bagaimana mungkin orang yang telah mendapatkan cinta Allah. Sekalipun, beratnya hanya setengah biji jagung, dapat mendengar perkataan manusia!...Demi Allah, seandainya kalian memotong dirinya dengan gergaji sekalipun, ia tidak akan menyadari hal itu!...”
Kini, giliran anak kecil itu yang menjerit pilu: “Ini adalah kesalahanku...aku-lah yang memintanya untuk memperlihatkan Allah kepadaku!...” Si kakek ahli ibadah-pun akhirnya melirik kepada sang anak. Dengan suara perlahan, ia berkata, seakan mengucapkan kata-kata itu kepada dirinya sendiri: “Apakah kamu dapat melihat? Cahaya Allah yang hanya seberat setengah biji jagung saja telah mampu menghancurkan struktur tubuh manusia dan menghancurkan susunan jaringan saraf manusia!...”
Sang Pejuang
Lonceng gereja dan katedral-katedral kembali berbunyi. Sebagai tanda upacara kelahiran Isa al Masih telah di mulai. Suara lonceng tersebut seakan berbisik dan menyusup ke tubuh kota Roma. Sebagaimana ruh kudus telah merasuk ke dalam jasad para pendeta. Pada saat itu, datanglah seorang laki-laki asing. Ia berjalan menuju kota Vatikan.
Ia kembali mempertajam pendengarannya. Terdengar suara para jamaat kristiani membaca kitab injil di seluruh penjuru kota: “Perempuan suci tengah mengandung....dan akan melahirkan seorang anak laki-laki. Namanya dikenal dengan Yasu‟. Karena, ia harus mengorbankan dirinya, demi menebus semua dosa bangsanya.” Suara alat musik
organ terdengar sayup-sayup. Dan akhirnya sampai ke telinga laki-laki itu. Diiringi dengan nyanyi-nyanyian: “Oratorio1 Al Masih, ia memiliki pelayan. Oratorio hari kelahiran, Logan Sebastian.” Semua alunan musik keagamaan ditujukan untuk Isa. Karena ia dianggap telah menuntun manusia untuk membunuh sikap egoisme diri. Sandi cinta yang telah mensucikan manusia dari dosa-dosa...
1 Oratorio bermakna puji Tuhan!
Lalu, sampailah bacaan Injil pada bait berikut: “Kemudian Iblis berkata kepadanya Yasu‟ (Isa): “Seandainya kamu adalah putra Allah, maka perintahkanlah batu ini untuk menjadi roti.” Maka, Yasu‟-pun berkata: “Manusia tidak hanya dapat bertahan hidup dengan roti. Akan tetapi, dengan seluruh kalimat yang keluar dari „mulut‟ Allah.” Kemudian, Iblis membawa Yasu‟ ke sebuah gunung yang sangat tinggi dan kemudian memperlihatkan seluruh penguasa bumi yang mengagungkannya. Setelah itu, Iblis berkata: “Aku akan menyerahkan semua ini. Seandainya, kamu merendahkan diri dan bersujud kepadaku...” Pada saat itu, Yasu‟ berkata: “Pergilah wahai Syaitan. Telah tertulis sebuah perintah, bahwa hanya kepada Tuhan-mulah kamu bersujud. Dan hanya kepada-Nyalah kamu menyembah!”
Pada saat itu, terdengar hembusan nafas panjang dari orang asing tadi. Dari kedalaman jiwanya ia menjerit: “Seandainya aku taat dan patuh kepadanya pada saat itu...!” Ketika itu, ia telah sampai di Istana sang bapak (Pendeta). Tanpa menunggu lama, ia-pun segera menuju kepada bapak. Entahlah, tiba-tiba di kedalaman matanya keluar kekuatan yang tidak dapat dibaca. Sesuatu yang sulit untuk diperkirakan. Sehingga, tidak ada satu orang-pun yang dapat menghalangi jalannya. Tidak pendeta, tidak juga kardinal. Didepannya, pintu telah terbuka lebar. Dengan mantap, ia menuju ruang utama gereja.
Mata sang bapak akhirnya tertumbuk pada orang tersebut. Ia datang dalam bentuk seorang laki-laki. Dengan suara gemetar (menahan marah) bapak berucap: “Kamu!!” Laki-laki itu menjawab: “Benar, aku...” Dengan sinis, sang bapak bertanya kembali: “Apa yang kamu inginkan dariku?” Laki-laki tadi menjawab: “Aku ingin masuk dan meresapi indahnya sebuah keimanan...” Dengan emosi, bapak pendeta menjawab: “Apa yang kamu katakan tadi wahai makhluk terkutuk!!!
Bapak mengucapkan kata-kata itu dengan suara tertekan. Seolah-olah, ia tenggelam dalam ketidak percayaan. Akan tetapi...laki-laki asing yang mendatanginya segera mengucapkan kembali kata-kata tadi dengan jujur dan tulus: “Selama aku masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan ini semua. Aku datang kepadamu untuk bertaubat. Betapa meruginya diriku seandainya kamu mencemooh dan meragukan semua ucapanku...Segala sesuatu pastilah ada akhirnya. Dan...pastilah pada suatu hari, aku juga akan melihat pintu kebenaran. Dan kembali ke dalamnya. Sebagaimana, pastilah...pada suatu hari, aku juga akan merindukan kasih sayang Tuhan. Kemudian, menjauhkan diri dari perang batin yang begitu panjang dan tidak bermanfaat tersebut.
Aku akan berhenti merencanakan kejahatan dan melawan Tuhan. Membenci hidangan yang buruk-buruk dan merindukan makanan yang baik-baik. Benar, Ambillah segala sesuatu yang kalian inginkan dariku. Siksalah diriku dengan siksa yang paling pedih. Jatuhkanlah kepadaku hukuman yang seberat-beratnya. Akan tetapi....demi Tuhan yang memiliki langit...jangan kalian larang diriku untuk merasakan nimatnya kebaikan. Sekalipun, hanya beberapa saat. Aku juga ingin merasakan apa rasa perbuatan yang orang-orang sebut sebagai “kebaikan.” Kalian-lah yang memilikinya. Akan tetapi, mengapa kalian menyembunyikannya dariku!?”
Si laki-laki yang tidak lain syaitan ini berkata lagi: “Aku telah menjalani hidup yang sangat panjang ini. aku telah menjalaninya semenjak zaman dahulu. Ketika aku beranjak dewasa....Ketika aku masih mencoba untuk bertahan....Ketika aku bersabar.....Ketika aku mencoba menghibur diri dan mengatakan bahwa aku telah memiliki segalanya. Dan aku sudah merasa cukup dengan semua yang kumiliki.
Aku berusaha untuk menghibur diri bahwa aku tidak membutuhkan Tuhan. Sehingga aku tidak dituntut untuk tertunduk patuh kepada-Nya. Aku juga tidak butuh dan tidak perduli apakah orang-orang mau menyembahku atau tidak sama sekali. Aku selalu menjadi penguasa di setiap tempat. Sampai di sini, yang telah dilapisi oleh dinding-dinding (gereja). Tempat orang bertaubat dan terpancangnya kayu salib. Akan tetapi...apalah arti semuanya itu. Seandainya aku masih merasakan diri ini terpasung.”
Dengan terpatah-patah, Syaitan berkata: “Tolonglah diriku. Bawalah aku menuju kasih sayang Tuhan kalian. Pertemukanlah diriku dengan-Nya. Sekalipun, hanya sekali. Setelah itu, lemparkanlah diriku ke neraka Jahannam. Aku telah berusaha sekuat
tenaga...diriku juga adalah orang yang beriman. Itu semuanya adalah harapanku...menjadi salah satu di antara orang-orang yang baik dan beriman. Dimana mereka selalu menghabiskan waktu-waktunya di gereja. Mereka bersujud kepada Tuhan, dan dengan tenang membaca Injil. Bergembira dengan datangnya hari kelahiran Isa al Masih. Mereka selalu mengulang perkataannya dan menerapkan dalam setiap perbuatan mereka.”
Laki-laki tadi berkata lagi: “Wahai bapak, wakil al Masih, aku datang dan bersimpuh di kedua kakimu, agar engkau meraihku dengan kedua tanganmu dan memasukkan aku ke dalam naungan agama. Niscaya, engkau akan melihatku termasuk ke dalam golongan generasi gereja terbaik. Dan berada di tengah-tengah orang baik dan jujur.”
Bapak-pun terhenyak di tempat duduknya setelah mendengar pengakuan yang sangat mengejutkan, tapi tulus itu. Akan tetapi, belum selesai dari keterkejutan dan ungkapan si syaitan, sang pendeta berkata dengan marah: “Kamu!! Kamu Iblis..akan masuk ke dalam agama?!” Si Iblis menjawab: “Mengapa tidak?...mengapa Al Masih harus berkata: “Saya akan mengatakan, penguasa langit akan berbahagia dengan satu orang yang melakukan kesalahan kemudian bertaubat. Dan orang yang melakukan lebih dari sembilan puluh sembilan kebaikan sudah tidak memerlukan taubat lagi!”
Apakah Al Masih membeda-bedakan antara satu manusia dengan manusia lainnya? Bukankah antara satu manusia dengan manusia lainnya tidak memiliki perbedaan di hadapan pintu pengampunan? Bukankah mereka tidak menutupkan pintu taubat untukku? Biarkanlah diriku bertaubat....masukkanlah aku ke dalam agama. Dan dengarkanlah, rasakan keimanan yang meresap ke dalam hatiku!”
Sang pendeta-pun terjatuh dalam rasa bingung. Ia semakin dilanda keraguan. Ia mencoba untuk berfikir dan berfikir...sampai akhirnya...ia berteriak: “Tidak...tidak..saya tidak dapat melakukan semuanya ini!”
Seolah-olah, suara musik mengiringi kesombongan bapak Marcell Louis. Alunan musik klasik-pun melebarkan sayapnya ke angkasa raya. Menyertai daya imajinasi sang pendeta yang terus mengambang di awan sana. Ia terus berfikir: “Seandainya Iblis beriman, maka apa tugas gereja setelah ini? Apa yang akan dilakukan Vatikan, musium dan peninggalan agamanya yang sangat banyak. Semuanya itu akan kehilangan maknanya, kehilangan keindahannya, tujuan dan harapannya. Gereja
“Sakistain” yang dihiasi oleh lukisan Michael Anggelo tentang “Dosa Hawa, para nabi, bencana alam dan hari perhitungan di hari akhir. Di samping, masih ada juga ruang pertemuan dan istana-istana hasil goresan kuas Rafael yang menggambarkan bagaimana Allah menciptakan cahaya dan keluar dari surga Firdaus. Atau, sebuah lukisan yang menggambarkan pembaptisan Al Masih....semuanya itu akan ikut terhapus...
Selain itu, bukankah Iblis adalah fokus bahasan dalam dua kitab suci; baik versi perjanjian lama maupun baru. Bagaimana semuanya itu akan dihapuskan tanpa menghapus lukisan, legenda, makna dan kalimat-kalimat yang selama ini menghiasi hati orang-orang yang beriman? Bagaimana mungkin aku menghancurkan anggapan mereka selama ini terhadap syaitan? Lalu, bagaimana dengan makna hari pembalasan nanti, seandainya keburukan dihapuskan di dunia ini?
Apakah orang-orang yang mengikuti syaitan sebelum ia beriman akan dihitung amal perbuatannya? Atau, justru akan dihapuskan begitu saja...haruskah taubat Iblis diterima? Lalu, untuk apa dunia ini ada, seandainya keburukan dihapuskan? Bagaiman dengan peperangan dunia yang telah menjadikan masyarakat Kristen Eropa sebagai tuan manusia?! Bagaimana pula dengan berbagai perdebatan di bidang teologi, logika nalar dan dunia materi yang dipicu oleh cahaya nalar dan ilmu pengetahuan?!
Tidak...ini adalah permasalahan yang sangat berbahaya. Dan bukan hak seorang pendeta untuk memutuskannya. Membuang keburukan dan menghapuskannya dari dunia ini. Karena hal tersebut hanya akan mengakibatkan timbulnya ledakan yang tidak dapat terbayangkan besarnya...
Bapak-pun mengangkat dan memalingkan kepalanya kepada Iblis dengan penuh berat hati. Kemudian ia berkata: “Kenapa engkau datang kepadaku, dan bukan kepada yang lainnya? Mengapa kau justru memilih agama Nasrani dan bukan agama-agama lainnya? Si Iblis menjawab: “Peringatan kelahiran Isa al Masih ini telah mengilhamiku untuk datang kemari...”
Kemudian sang pendeta berkata: “Pergilah wahai...” Perkataan bapak pendeta terputus. Kemudian, ia melanjutkan: “Aku tidak tahu harus memanggilmu siapa? Apakah kamu dapat membayangkan jika ini benar-benar terjadi?....setelah namamu tercatat sebagai makhluk yang bertaubat, maka akan terjadi peristiwa yang sangat besar! Tidak! Pihak gereja tidak akan dapat mengabulkan permintaanmu...pergilah ke agama
lain..sesuai dengan kehendak hatimu.” Setelah berbicara itu, sang pendeta langsung meninggalkannya...
**********
Syaitan-pun keluar dari dalam gereja. Ia merasa dirinya telah gagal dan terhina. Akan tetapi, ia tidak kehilangan harapan. Pintu menuju Tuhan sangatlah banyak. Maka, ia-pun pergi menuju pintu yang lain, pendeta Yahudi.
Ia-pun menemui pemimpin bangsa Israil, seperti halnya ia menemui pemimpin umat Nasrani. Dan sama, pendeta tersebut-pun mendengarkan seluruh harapan syaitan. Setelah Syaitan selesai bicaranya, pendeta Yahudi itu-pun berkata: “Apakah kamu ingin menjadi seorang Yahudi? Si Syaitan menjawab: “Aku hanya ingin menggapai ridlo Allah!”
Maka, sang pendeta Yahudi tadi-pun berbicara panjang lebar...: “Seandainya Allah mengampuni Iblis dan menghapus keburukan dari bumi, maka untuk apa Allah membedakan antara satu bangsa dengan bangsa yang lainnya?” Kemudian, sang pendeta tadi meneruskan: “Bani Israil adalah bangsa pilihan. Maka, seandainya ini semuanya terjadi, tidak akan ada lagi yang membenarkan agama ini.
Padahal, Bani Israil telah menjadi bangsa pilihan di antara bangsa-bangsa lain. Selain itu, bangsa Israil juga memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh makhluk ciptaan Allah yang lain. Masalah perekonomian misalnya, bangsa Israel telah menguasai bidang itu dari generasi ke generasi. Semuanya itu akan hilang begitu saja dengan hilangnya keburukan dari dalam jiwa mereka. Dan dengan hilangnya keburukan dari dalam jiwa manusia, berarti hilang pula rasa iri hati dan tamak, hancurnya sikap egosentris dan keinginan diri. Padahal, semuanya itu merupakan faktor utama dalam meraih sebuah kekuasaan. Keimanan Iblis akan menghancurkan nama baik bangsa Yahudi dan menghancurkan kehormatan Bani Israil.”
Akhirnya, pendeta Yahudi ini-pun mengangkat kepalanya dengan nada mengejek: “Kita tidak memiliki kebiasaan untuk memberikan kabar gembira. Kita juga tidak membutuhkan orang lain untuk masuk ke dalam agama kami...apalagi, Iblis! Pergilah dari kami. Datangilah agama lain yang dapat menerimamu...
**********
Akhirnya, Iblis keluar dari tempat ibadah umat Yahudi tersebut. Ia kembali mendapatkan kegagalan dan rasa hina. Akan tetapi, ia belum juga putus asa. Ia merasa, bahwa di hadapannya masih ada pintu yang lain. Agama Islam...
Oleh karena itu, ia-pun segera menuju kepada syaikh Azhar. Akhirnya, ia bertemu dengan orang alim tersebut. Sama seperti sebelumnya, sang alim-pun mendengarkan seluruh cerita yang dikisahkan oleh Iblis. Setelah selesai, sang alim tadi memalingkan wajahnya kepada Syaitan dan berkata: “Seorang syaitan ingin beriman?! Benar-benar perbuatan yang sangat mulia...akan tetapi...”
Syaitan langsung menimpali: “Kenapa? Bukankah termasuk ke dalam hak manusia untuk masuk ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong? Bukankah tertulis di dalam kitab Allah: “Maka, bertasbihlah dengan mensucikan nama Tuhanmu. Dan mohonlah ampun kepada-Nya. Karena, sesungguhnya ia adalah dzat yang maha penerima taubat? Maka, inilah diriku. Aku yang akan bertasbih dengan mensucikan nama Allah dan memohon ampun kepada-Nya. Dan aku ingin masuk ke dalam agama-Nya dengan ikhlas dan tulus. Aku ingin menyerahkan seluruh jiwaku dengan sebaik-baik penyerahan diri. Dan aku akan menjadi pengikut terbaik di antara orang-orang yang mendapatkan petunjuk!”
Kemudian, syaikh Azhar berusaha untuk membayangkan, apa yang akan terjandi nanti, seandainya Syaitan masuk Islam. Bagaimana dengan bacaan al Quran (didalamnya bercerita tentang keburukan syaitan)? Apakah manusia harus meninggalkan bacaan: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan Syaitan yang terkutuk?” Seandainya ayat ini dihilangkan, maka akan banyak ayat-ayat al Quran lain yang akan dibuang. Karena, banyak sekali kalimat dalam al Quran yang menggambarkan bahwa Syaitan adalah makhluk terkutuk. Dan setiap orang diberikan peringatan untuk tidak melakukan perbuatan yang dilakukan olehnya.
Sebagaimana syaitan juga dianggap sebagai makhluk kotor dan selalu menggoda manusia. Semuanya itu tertulis dalam banyak tempat dalam al Quran.
Bagaimana seorang syaikh Azhar dapat menerima keislaman seorang syaitan, tanpa mengindahkan ajaran Islam secara keseluruhan?!...
Syaikh Azhar-pun mengangkat kepalanya dan memandang kepada Iblis, sambil berkata: “Engkau telah datang kepadaku dan meminta sesuatu yang tidak dapat aku terima. Di samping, hal tersebut sudah berada jauh di luar kekuasaan dan kemampuanku...sehingga, tanganku ini tidak dapat memberikan segala harapan yang engkau pinta. Dan dalam hal ini, kamu telah salah memilih arah untuk datang dan mengadukan permasalahanmu kepadaku.”
Dengan perasaan sedih dan putus asa, Iblis berkata: “Lalu, kepada siapa aku harus mengadu?” Syaikh Azhar-pun mengusulkan: “Adukanlah kepada sumber yang memiliki agama ini? Bagaimana seandainya engkau mengembalikan semua permasalahanmu kepada Allah? Bukankah itu yang dilakukan oleh setiap makhluk Allah yang ingin dekat dengan-Nya?!” Setengah bergumam, Iblis berkata: “Ya...akan tetapi, dirimu adalah manusia yang memiliki kelebihan dibanding manusia lainnya.” Dengan keheranan, syaikh Azhar bertanya: “Maksudnya?”
Kemudian, Iblis berkata: “Aku tidak ingin membedakan diriku dengan yang lain. Aku tidak ingin langsung naik ke langit yang paling tinggi; berbicara dengan para malaikat dan betemu para nabi. Sekalipun, semuanya itu dapat aku lakukan dengan mudah. Bagaimanapun juga, aku harus dapat membuktikan kemampuanku dan menjaga kehormatanku. Oleh karena itu, aku tidak memperkenankan diriku untuk mengetuk pintu langit dengan tongkat kekuasaanku. Seperti yang biasa dilakukan oleh para malaikat.
Aku juga enggan untuk menggoncangkan langit dengan suaraku. Aku juga tidak mau menghancurkan langit dengan teriakanku. Kemudian, meletakkan pedangku dan menyerahkan senjataku. Dan tertunduk seperti menyerahnya satu penguasa kepada penguasa yang lain. Akan tetapi, aku ingin memasuki pintu agama sebagai seorang yang tidak memiliki apa-apa. Aku tidak mau merayap dengan kedua kakiku menghadap para malaikat dengan debu menutupi kepalaku. Oleh karena itu, aku telah memohon petunjuk dan ampunan dari tempat peribadatan Yahudi, gereja dan masjid sebagaimana manusia paling hina dan lemah mencari pengampunan.”
Untuk beberapa saat...syaikh Azhar-pun terdiam dan merenung. Sambil mengusap-usap jenggotnya, ia berkata: “Tekad yang baik dan jangan sampai kau tunda
lagi, lakukanlah sekarang! Akan tetapi, sekalipun engkau telah menceritakan semuanya dengan tulus...aku jujur kepadamu....tugasku hanyalah meninggikan kalimat Islam dan menjaga kehormatan Azhar. Dan dengan sangat menyesal, aku tidak dapat meletakkan tanganku di tanganmu.” Dengan perasaan sedih...Iblis pun berkata: “Terima kasih....”
**********
Iblis telah megucapkan salam terakhirnya untuk syaikh Azhar. Ia merasa dirinya sangat hina dan tidak berdaya. Ia keluar dari dalam masjid dengan rasa putus asa yang memenuhi rongga jiwanya. Ia-pun menelusuri sepanjang jalan, tanpa arah tujuan. Ia melihat kebebasan yang dimiliki anak kecil. Maka, ia-pun mulai terlarut. Hatinya merasakan kedamaian setiap kali melihat segala sesuatu yang suci dan bebas merdeka untuk berbuat apapun yang diinginkannya.
Setelah itu, ia-pun melihat pemandangan yang sangat indah...orang-orang shalih yang tengah mengerjakan perbuatan baik. Maka, hatinya mulai merindukan kembali udara kebaikan. Dimana semua perbuatan tersebut akan membuahkan perbaikan, takwa dan keimanan di dalam hati orang-orang pilihan tersebut. Seakan...pada saat itu ia tengah berada di sebuah toko. Kemudian, ia mengulurkan tangannya untuk meraih barang yang diinginkan. Sayangnya, ia tidak dapat melakukannya. Ia telah dihalangi oleh batasan-batasan tertentu. Dan ia terlalu lemah untuk menyingkirkan batasan itu. Ia hanya dapat melihatnya dengan pandangan bingung dan kacau...ia telah dipasung dan tidak diperbolehkan merasakan indahnya nilai-nilai kebaikan. Semua itu telah menorehkan luka yang sangat mendalam pada jiwa syaitan!
Ia-pun menjerit dengan penuh rasa sakit. Jeritannya itu terdengar di seantero langit dan menembus awan-awan. Ia-pun naik menembus langit. Tidak ada kesabaran yang tersisa dalam dirinya. Ketika itu, jasadnya bergetar hebat merasakan kepedihan dan kehancuran. Ia-pun melesat terus naik ke langit paling atas...
Sesampainya di atas, ia mengetuk pintu langit. Bahkan, ia memukulnya dengan keras. Ia benar-benar telah kehilangan kesabaran. Seakan-akan, ia pengemis yang mengetuk pintu rumah untuk mencari sesuap nasi ketika matahari hendak tenggelam....
Pada saat itu...malaikat Jibril datang membukakan pintu. Ia-pun berkata: “Apa yang kamu inginkan?” Iblis menjawab: “Taubat” Dengan keheranan, Jibril bertanya lagi: “Sekarang?!” Iblis bertanya: “Apakah aku datang terlambat?!” Jibril berkata kembali: “Bahkan, kamu datang sebelum waktu yang ditentukan. Kamu tidak dapat merubah keputusan yang telah berlaku. Sebagaimana, kamu juga tidak dapat membalikkan kondisi yang telah digariskan Tuhan. Karena semuanya itu sudah menjadi sebuah ketetapan. Kamu akan kembali, persis seperti ketika kamu datang. Dan hiduplah kamu di dunia terserah dirimu....”
Iblis-pun berkata dengan penuh emosi: “Kamu juga?!” Ia semakin merasakan putus asa, Iblis berkata: “Ah...Aku memang sudah tidak bisa merasakan nikmatnya kebaikan..!” Malaikat menimpali perkataan Iblis: “Kau memang terhalang untuk mendapatkan kebaikan. Seharusnya, kau kembali mengulurkan tanganmu ke.....” Belum selesai Jibril berkata, Iblis menyambung: “Pohon terlarang?” Jibril menjawab: “Benar. Dan tidak ada yang dapat menolongmu dari dosa perbuatan ini. Sebagaimana engkau juga telah memasukkan Hawa ke dalam dosa yang sama sebelumnya. Pada hari, dirinya meminta Adam untuk memakan buah pohon terlarang!”
Kemudian, Iblis bertanya dengan penuh harap: “Bukankah Allah menjanjikan rahmat dan ampunan bagi hamba-Nya?!” Malaikat menjawab: “Rahmat dan ampunan tidak harus berarti menghapuskan hukum penciptaan.” Dengan pilu, Iblis berkata: “Betapa aku makhluk Allah yang paling hina.” Malaikat menjawab: “Benar. Akan tetapi, kepergianmu dari dunia berarti menghilangkan beberapa unsur kehidupan dan menghancurkan dinding-dinding ketentuan Tuhan. Menghilangkan beberapa keutamaan dan mencampur adukkan berbagai pembagian. Menghapuskan warna kehidupan dan menghancurkan beberapa cirinya.
Karena, makna keutamaan tidak akan pernah ada. Kecuali, dengan adanya kehinaan. Sebagaimana tidak akan ada kebenaran seandainya tidak ada kebatilan. Tidak ada yang baik-baik seandainya tidak ada yang buruk. Tidak akan ada putih seandainya tidak ada hitam. Tidak akan ada cahaya, seandainya tidak ada kegelapan. Bahkan, tidak akan ada kebaikan seandainya tidak ada keburukan. Bahkan, manusia tidak akan dapat melihat cahaya Tuhan. Kecuali, setelah melihat kegelapan duniamu. Keberadaanmu di
dunia sangatlah penting. Dan bumi akan tetap tertunduk kepada ketentuan Allah terhadap manusia!”
Akhirnya, Iblis berkata kepada dirinya sendiri: “Keberadaaanku sangatlah penting untuk melestarikan nilai-nilai kebaikan itu sendiri?! Jiwaku yang selalu berada dalam kegelapan, harus tetap seperti ini untuk mempertahankan cahaya Allah! Aku akan menjalani seluruh ketentuan hidupku yang sangat buruk. Semuanya itu kulakukan demi terwujudnya kebaikan dan menjaga kesucian Allah. Akan tetapi, apakah murka Allah masih akan tetap menimpaku, sebagaimana kutukannya terhadap namaku. Sekalipun, hatiku selalu diliputi niat yang baik dan nurani yang mulia?!...”
Jibril menjawab: “Ya, kau harus tetap menjadi seorang yang terkutuk sampai akhir zaman. Seandainya hilang sifat terkutuk dari dirimu...hilang pula segala sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah...
Iblis berkata dengan perasaan yang sangat tertekan: “Ya Allah, aku memohon ampunanmu! Mengapa aku harus menanggung beban yang begitu berat. Mengapa engkau memberikan keputusan yang sangat mengerikan ini kepadaku? Mengapa sekarang ini engkau tidak menjadikan diriku sebagai salah satu malaikatmu. Aku akan rela....sekalipun, engkau menempatkan diriku sebagai malaikat yang memiliki tingkatan yang paling rendah. Sehingga, aku dapat mencintaimu dan mencinta cahaya kebenaran-Mu. Dan engkau dapat membalas kecintaanku itu dengan kasih sayang-Mu dan pujian dari manusia?
Inilah diriku yang mencintaimu dengan sepotong cinta yang tidak ada bandingnya. Sepotong cinta yang mengharuskan diriku melakukan pengorbanan ini. Sebuah cinta yang tidak disadari oleh para malaikat, juga tidak diketahui oleh manusia. Sebuah cinta yang memaksa diriku untuk rela memakai pakaian dosa. Bersandiwara, seolah diriku adalah pembangkang-Mu.
Sebuah cinta yang menuntut diriku untuk menanggung kutukan-Mu dan caci maki manusia. Sepotong cinta yang tidak memperkenankan diriku untuk berdoa kepadamu dan membuat diriku senang. Sebuah cinta yang memperkenankan diriku untuk selalu didekat-Mu. Sebuah cinta yang seandainya terdapat pada seorang hamba Allah yang shalih, maka hatinya akan dipenuhi oleh cahaya Allah. Sepotong cinta yang
terpaksa harus aku sembunyikan. Bahkan, ketika aku berusaha mencapai cahaya-Nya, cahaya itu enggan untuk aku dekati....”
Iblis-pun menangis...
Akhirnya, air matanya terjatuh ke bumi. Cucuran air matanya tak ubah seperti air yang terjatuh dari kelembaban awan. Bahkan, air mata tersebut seperti cahaya bintang jatuh di kegelapan malam. Atau, lempengan batu meteor yang melintasi bumi!
Jibril-pun merasa terharu bercampur was-was. Sambil mencoba membuatnya terdiam, Jibril berkata: “Sudahlah..sudahlah...! Air matamu terjatuh ke bumi dan menimpa kepala hamba Allah!” Maka, seketika itu pula Iblis berhenti menangis. Sambil merasakan kepedihannya, iblis bergumam, seolah berbicara kepada dirinya sendiri: “Ya...sampai air mataku saja dapat membuat kehancuran bagi mereka!”
Ia-pun terdiam. Air matannya telah surut. Dan akhirnya, dengan menurunkan nada suaranya, Jibril berkata: “Sekarang, terimalah takdirmu...jalankanlah kewajiban dan tugasmu dengan baik. Janganlah gelisah, merasa sakit atau membantah semua yang diperintahkan Allah kepadamu...”
Iblis menjawab perkataan Jibril: “Membantah? Seandainya aku ingin membantah dan membangkang, pastilah aku dapat melakukannya dengan mudah. Setelah itu, aku akan berbuat dosa dan keluar dari hukum Allah. Aku akan berontak dan tidak taat dengan perintah Allah. Semuanya dapat kulakukan hanya dengan diam untuk sesaat dan tidak menggoda manusia. Atau, aku dapat membuktikan pembangkanganku dengan berhenti sejenak untuk tidak menjalankan tugas ini....Selain itu, untuk membuktikan pemberontakanku, bisa saja aku mencegah manusia dari perbuatan buruk. Sekalipun, hanya satu menit saja. Dan bumi akan menjadi seperti sesuatu yang engkau gambarkan tadi...”
Semua unsur kehidupan akan hancur dan dinding-dindingnya akan tergoyah. Aku adalah makhluk Allah yang mencintai-Nya. Dan bukan ingin melakukan perlawanan kepada-Nya. Aku percaya, semua ini telah Allah rencanakan, mengapa Allah berkehendak seperti ini dalam membangun bumi! Karena, hanya Allah-lah yang mengetahui semua rahasia di balik penciptaan hukum dan undang-undang-Nya!”
Jibril akhirnya berkata kepada Iblis: “Kembalilah kepada pekerjaanmu!” Iblis menjawab: “Aku akan kembali menutupi jati diriku dengan jubah kutukan. Dan tidak tahu, kapan aku dapat melepaskannya....”
Biasanya, para aktor yang ada di bumi akan memerankan seorang lakon penjahat dan berbuat buruk untuk sementara waktu. Dan mereka tahu, bahwa peran tersebut akan mereka tinggalkan dalam beberapa jam kemudian. Setelah itu, mereka akan kembali menjadi orang terhormat dan suci. Bahkan, mereka benar-benar memiliki kedudukan dengan perannya tersebut. Sedangkan aku...”
Jibril kembali menghibur: “Sudahlah...kamu harus dapat menanggung semua ini. Karena, setiap makhluk yang mencintai Tuhannya, pasti harus berkorban dan dapat menahan semua ini..” Iblis menjawab: “Aku telah melakukan sesuatu lebih dari sebuah pengorbanan. Orang yang berperang di jalan Allah pasti akan tercatat di sisi Allah sebagai seorang syahid. Dan aku telah berkorban di jalan-Nya lebih dari sebuah kematian. Seandianya yang aku jalani ini dianggap sebagai sebuah pertempuran...seandainya aku menemukan kematian di dalamnya...seandainya aku digolongkan ke dalam tentara-Nya..
Aku harus hidup dengan membohongi perasaanku! Aku berusaha untuk membenci dan mengutuk diriku. Bahkan, dalam sekejap saja, aku dapat melakukannya sampai berkali-kali. Akan tetapi, aku tetap tidak dapat merasakan kematian. Sampai akhirnya aku harus membunuh diriku atau mendorong diriku agar terbunuh di jalan Allah. Sayangnya, sekalipun aku telah melakukannya dengan susah payah, aku masih termasuk ke dalam makhluk Tuhan yang dibenci dan mendapat murka-Nya. Semuanya lebih buruk dari sekedar makna kematian...
Bahkan, aku tidak diperkenankan untuk menikmati kasih sayang Tuhan. Atau, sekedar bersimpuh dan meminta ampunan..atau menjadi bagian dalam pasukan jihad...”
Jibril mulai melihat genangan air mata di kedua kelopak mata Iblis. Ia-pun segera berkata: “Sudahlah...sudahlah jangan menangis! Jangan lupa, air matamu dapat menyebabkan kehancuran...tawamu dapat menyebabkan goncangan. Janganlah melibatkan emosimu. Kasihanilah manusia....pergilah, sabar dan tetaplah dalam koridor kewajibanmu...”
Iblis termenung dan berfikir cukup lama...akan tetapi, pada akhirnya ia pergi juga. Dengan suara perlahan, hampir tidak terdengar, ia berkata: “Kamu benar....!”
Iblis-pun meninggalkan langit dengan penuh ketaatan. Ia turun ke bumi dengan pasrah. Akan tetapi, terdengar helaan nafas panjang keluar dari dalam rongga jiwanya, membakar kekosongan. Kepergiannya diiringi gema jeritan bintang-bintang. Seakan, mereka ikut bersamanya mengeluarkan tangisan darah....
Dari kedalaman hatinya ia berkata: “Aku adalah pejuang....aku adalah pejuang....!
Pak Pos!!…
Aku mengenalnya ketika berada di tepi pantai...orang asing itu. Laki-laki pembawa tas yang biasanya dipakai oleh para pekerja di kantor pos. Pada saat itu, orang tersebut sedang bermalas-malasan dan bersantai. Bahkan, terlihat seperti orang bodoh! Aku melihat pandangannya yang kosong....Pandangan seseorang yang tengah diterpa sakit secara kejiwaan. Ia terlihat bingung dan lemah...
Begitupun dilihat dari caranya duduk. Laki-laki tersebut terlihat seperti tengah merasakan lelah dan letih yang sangat memuncak. Bahkan, sepertinya, ia sudah bosan dengan semua yang dialaminya; baik dengan dirinya ataupun kehidupan yang ada dihadapannya. Karena, laki-laki itu terus diam dan tidak berbicara, sempat terbayang dalam benakku, sepertinya, mulut laki-laki ini hanya dapat mengucapkan satu kata saja: “Ah”!!
Akhirnya, akupun mendekatinya dan menyapanya dengan sopan: “Apabila tidak salah, sepertinya anda seorang pak pos yang tengah cuti...” Laki-laki itu menjawab pertanyaan tadi tanpa memalingkan pandangannya ke arahku. Ia mengucapkan jawabannya dengan tawa tertahan, seakan penuh beban: “Cuti!”. Akupun berkata lagi: “Mengapa tidak? Bukankah sudah menjadi hak anda untuk mendapatkan dan menikmati libur mingguan?” Laki-laki tadi akhirnya menjawab: “Aku tidak pernah merasakan cuti barang satu haripun seumur hidupku.”
Secara spontan akupun berkata: “Betapa kejamnya lembaga yang membawahi kantor pos!! Apakah tidak ada undang-undang atau sistem hukum yang mengatur tentang
masalah cuti?!!” Laki-laki tadi menjawab ringan: “Kantor pos tidak pernah mengenal yang namanya libur, tuan!!” Aku-pun bertanya keheranan: “Apa yang kamu katakan tadi?!”
Tanpa memperdulikanku yang tengah keheranan, laki-laki tadi berkata lagi: “Tuan, bayangkanlah! Aku bangun setiap hari bersamaan dengan datangnya fajar. Setelah berbenah, akupun segera menyambar tasku yang sudah penuh dengan surat. Saking banyaknya, surat-surat yang ada di dalamnya sudah tidak terhitung jumlahnya. Sehingga, saya merasa, setiap manusia yang ada di seluruh penjuru dunia ini, memiliki satu surat yang ada di dalam tasku ini. Dan sudah menjadi kewajibanku untuk berkeliling dan menyampaikan surat-surat tersebut kepada yang dituju secara adil dan bijaksana...
Ketika hari hendak menjelang malam, aku harus selesai menyebarkan surat-surat ini. Sampai tasku ini kosong. Sehingga, pada hari selanjutnya aku dapat mengisi tasku ini dengan surat-surat baru lainnya. Dan memberikannya kepada orang satu-persatu. Dan begitulah seterusnya...
Hari terus bergulir tanpa henti, manusia tidak pernah punah dan tasku-pun tidak pernah kosong...tidak ada yang habis...kecuali kesabaranku. Tapi, apalah dayaku? Bagaimanapun juga, aku harus mengerjakan tugasku. Jika tidak, maka surat-surat itu akan menumpuk. Dan aku harus mengelilingkan surat selama dua hari selama satu hari?! Itu hanya akan membuatku terjatuh dalam kesulitan....”
Dengan masih terkesima, akupun berkata: “Aneh sekali! Apakah tidak ada pegawai lain di kantor pos, selain dirimu?!” Laki-laki tadi menjawab: “Tidak ada. Akulah satu-satunya pekerja yang bertugas di kantor tersebut.” Masih penasaran, akupun terus memberondongnya dengan berbagai pertanyaan: “Apakah itu sebuah bukti pengabaian atau buruknya koordinasi lembaga tersebut?! Laki-laki tadi menjawab: “Entahlah, aku tidak tahu. Yang aku tahu, ketika aku merasa terkekang, karena begitu banyaknya tugas yang harus aku kerjakan, aku-pun datang ke tempat ini untuk berteriak dan mengadukan nasibku kepada angin....Biasanya, setelah itu, akan hilang rasa pesimis dan apatis yang menderaku...”
Aku kembali bertanya: “Apakah kamu dapat menyebarkan surat ini dalam satu hari?!” Dengan arif, laki-laki tadi menjawab: “Aku menyebarkan surat-surat ini, sesuai dengan kemampuanku. Karena, manusia tidak dapat dituntut dengan segala sesuatu, di
luar kemampuannya. Dan sampai saat ini, tidak ada satu orang-pun yang menghukumi kesalahanku. Sekalipun, aku yakin, pasti banyak sekali kesalahan yang telah aku lakukan. Yang penting, ketika aku pulang, aku tidak menyisakan satu surat-pun di dalam tasku!”
**********
Sambil mengucapkan kata-kata tersebut, ia membuka tasnya. Seolah-olah, ia teringat akan surat-surat yang belum ia sebarkan. Benar saja, aku melihat surat-surat yang jumlahnya sangat banyak. Sehingga, tidak terhitung olehku. Secara spontan, aku-pun bertanya kepadanya: “Kapan anda akan menyebarkan surat-surat ini. Padahal. Sekarang ini matahari telah beranjak naik?!”
Dengan nada tenang, laki-laki tadi menjawab: “Tidak usah panik ataupun mengkhawatirkanku. Aku akan mengerjakan seluruh tugasku, seperti hari-hari kemarin...” Kemudian, laki-laki tadi melambaikan tangannya kepada seorang nelayan. Orang tersebut melakukan aktifitas hariannya itu tidak jauh dari tempat kami duduk. Dari pagi tadi, orang tersebut belum mendapatkan apapun. Maka, laki-laki tadi merogoh sakunya dan memasukkan puluhan surat ke dalam kantong si nelayan tadi. Tiba-tiba, jaring yang dilemparkannya ia tarik, banyak sekali ikan-ikan yang terjerat di dalamnya. Orang itu-pun menari-nari saking girangnya.
Sedikit jauh dari tempat kami duduk, banyak sekali para nelayan dan penjaring ikan yang berusaha untuk mendapatkan ikan dari laut. Akan tetapi, usaha mereka sia-sia. Maka, akupun berkata kepada pak pos tadi, sambil menunjuk pada para nelayan tadi: “Dan mereka?” Laki-laki itupun melemparkan pandangannya kepada mereka dengan pandangan sinis: “Mereka sangat jauh dariku. Aku telah mengatakan kepada anda. Diriku adalah orang yang sangat lelah. Tidak ada satupun yang mengharuskan diriku memberikan surat-surat tadi satu per satu kepada mereka. Karena, aku telah memberikan semuanya kepada nelayan yang duduk, dekat dengan kita tadi.” Aku-pun bertanya keheranan: “Apakah engkau juga melakukan hal sama dengan surat-surat yang lain?!”
Laki-laki tadi menjawab dengan ringan: “Tentu saja. Apakah aku sudah gila, menyebarkan surat-surat tersebut satu per satu. Sehingga aku kehilangan nafas karena harus berlari untuk mengejar seluruh manusia?! Oleh karena itu, aku akan memberikan
surat-surat yang tidak aku kenal kepada orang-orang yang aku kenal saja. Dan aku akan merasa tenang, dalam lindungan Tuhan!”
**********
Kemudian, seorang nenek tua melintas di dekatnya. Nenek tersebut memiliki suara jelek dan perangai buruk. Setelah itu, si nenek terlihat mengeluarkan kertas. Si nenek-pun bergumam: “Oh semoga saja! Kemudian, ia memanggil seorang penjual koran untuk melihatkan nomornya. Apakah tertulis di koran atau tidak. Si nenek memerintahkan ini dan itu kepada si tukang koran dengan sangat berani. Semuanya itu si nenek lakukan, karena ia yakin, bahwa di belakang nomor tersebut ada sebuah penawaran yang sangat menjanjikan. Baginya, nomor itu bagaikan sekumpulan kijang yang berada di bawah sorotan lampu tembak. Mereka terus berlari di tanah berpasir. Sehingga, kakinya terlihat seperti kilauan cahaya perak. Dan dengan kakinya yang putih, mereka membawa kertas yang bertuliskan: “Anda beruntung!”
Sayangnya, si nenek tersebut belum juga dapat menemukan nomor yang ia maksudkan. Akhirnya, ia-pun mendekati pak pos tadi. Laki-laki yang ada di sampingku itu-pun mengeluarkan seribu surat dan memasukkannya ke dalam kantong si nenek. Anehnya, ketika si nenek melihat kembali kertasnya, ia mendapatkan nomor tersebut sebagai pemenang sebuah undian yang hadiahnya lebih dari ribuan pound.2 Dengan suaranya yang jelek, si nenek-pun menjerit kegirangan. Sebuah teriakan keberuntungan, kebahagiaan dan kemenangan!
2 Pound adalah: Mata uang Mesir
Setelah melihat seluruh peristiwa yang terjadi di hadapanku tersebut, akhirnya hilang sudah akal sehatku. Pada waktu itu juga aku berteriak kepadanya: “Kau! Takutlah kepada Allah! Setidaknya, kalau kamu tidak dapat berlaku adil, maka pergunakanlah otakmu! Orang tua yang sangat buruk tingkah lakunya. Sehingga, kuburanpun menolak untuk tersenyum kepadanya. Anehnya, kamu malah menerimanya dan memberikan kenikmatan ini kepadanya. Padahal, masih banyak orang-orang yang bertingkah laku baik semenjak mereka kecil. Mereka sangat menikmati kehidupan ini. Sebagaimana kehidupan
ini juga menerima mereka dengan senang hati. Akan tetapi, kedua matamu telah membuat mereka buta dan wajahmu telah membuat mereka tidak dapat tertawa!”
Kedua tangan laki-laki tadi mendorongku dengan kasar. Kemudian ia berkata: “Tolong, anda tidak usah ikut berbicara lagi. Diam! Seandainya aku diharuskan untuk memilih antara musim semi dengan musim gugur, yang buruk dan yang baik. Atau, aku harus memisahkan antara mana yang berhak dan mana yang tidak berhak, niscaya aku tidak akan dapat menyelesaikan tugas ini dalam satu hari!...”
Akupun kembali angkat bicara: “Bukankah tiap-tiap manusia memiliki surat yang kini berada di tanganmu. Sehingga, kamu harus memberikannya kepada mereka. Bukankah setiap manusia memiliki hak yang tersimpan pada saudaranya yang lain?” Laki-laki itu kembali membentakku: “Sudah kuulang dari tadi, aku tidak dapat melakukan hal-hal yang mustahil aku lakukan!...Kasihanilah diriku! Apakah ada satu orang saja yang mengasihi dan memaafkan diriku; baik di bumi ataupun di langit!
Mereka yang ada di langit berkata kepadaku: “Karena kelalaianmu, kamu akan mendapatkan murka manusia.” Dan kalian yang ada di bumi berteriak kepadaku: “Yang ini telah mendapatkan haknya. Sedangkan yang ini belum!...” Sedangkan kalian enggan untuk membuka mata lebar-lebar bahwa diriku ini teraniaya. Sekarang, pandanganku telah kabur tidak bercahaya dan akalku-pun telah terjajah. Semuanya itu berlaku, karena tugasku yang sangat melelahkan dari hari ke hari.
Wahai manusia, ucapkanlah puji syukur kepada Tuhan kalian! Sesungguhnya, kedua mataku ini dapat melihat kedalaman jiwa kalian. Dan aku menyebarkan seluruh yang ada dalam tasku kepada kalian dari hari ke hari. Dan hanya itulah batas kemampuanku! Oleh karena itu, barang siapa yang mendekatiku atau aku yang mendekatinya, aku akan mengeluarkan dan memberikan segala sesuatu yang tersentuh oleh jemariku. Sesuai dengan kemampuanku. Aku pasti akan memberi mereka segala sesuatu yang aku dapatkan dari dalam tasku. Atau, barang-barang lain yang dengan sengaja aku simpan di dalamnya. Sesuai dengan siapa aku bertemu dan kondisi seperti apa yang aku hadapi.
Adapun tuntutan agar diriku dapat berlaku adil dan seimbang dalam memberikan hak kepada manusia. Atau, tiap-tiap individu diwajibkan unutk memberikan hak yang semestinya kepada sesama saudaranya yang lain, merupakan tugas yang sangat
berat. Semuanya itu akan mengharuskan aku untuk berlari. Dan terus terang, aku tidak mampu untuk memikulnya. Karena semua usaha tersebut sudah berada di luar kekuasaanku. Terserah, katakanlah aku ini orang yang malas...terserah kalian!
Katakanlah aku orang yag telah berbuat aniaya atau melalaikan tugas. Karena aku tidak akan melakukan apapun. Selain, apa yang kalian lihat selama ini. Dan barang siapa yang keberatan, kalian berhak untuk memberitakannya...terserah! Dan setiap kalian bebas untuk menyerukan keberatan kepadaku melalui surat setiap hari, maka setiap itu pula jumlah surat akan terus bertambah banyak!”
**********
Akhirnya, tukang pos „aneh‟ tadi berlalu dariku dan meninggalkan pantai. Meninggalkan diriku yang terus menyelami kedalaman fikiranku sendiri dan tenggelam dalam renunganku. Sampai akhirnya suara teriakan kegirangan memecahkan keheningan dan segala hal yang berkecamuk dalam fikiranku. Suara itu datang dari nelayan yang telah mendapatkan ikan dan nenek tua yang berbahagia karena mendapatkan hadiah besar. Maka, akupun bangun dari duduk dan berteriak layaknya seperti orang gila: “Hai pak pos!..Tunggu!...Aku lupa untuk meminta sesuatu darimu...Berikan surat-surat itu kepadaku...keluarkan semua yang ada di tasmu!...
**********
Sayangnya, pak pos tadi telah menghilang dari pandanganku. Akhirnya, dengan putus asa, aku duduk lagi di tepi pantai. Aku tidak mendapatkan dirinya. Aku hanya dapat duduk di sisa-sisa debu yang dapat aku genggam. Sambil menggigit ujung jari karena menyesal, akupun berkata: “Tuhan telah memberikan kutukannya kepadaku!...padahal, kesempatan emas itu sudah ada tepat di sini, di sampingku. Tepatnya, dalam tas pak pos yang penuh dengan surat. Dimana pak pos tadi dapat memberikannya kepadaku, sesuai dengan kehendakku!
Akan tetapi, semuanya telah menjadi ketentuan yang maha kuasa. Dan Allah telah mencegahnya untuk sampai kepadaku. Diriku yang disibukkan dengan
kemaslahatanku pribadi dan ia sibuk dengan fikirannya untuk memberikan yang terbaik kepadaku. Sehingga, waktuku hilang begitu saja dipergunakan untuk mengobrol...dan aku tidak mendapatkan keuntungan sedikitpun darinya. Kecuali, sebuah percakapan!...Seandainya aku tidak terlalu berdebat lama dan jauh berfikir, niscaya ia akan mengulurkan tangannya kepadaku. Dan niscaya, hari ini aku akan menjadi seorang Rachel dan Qarun!...
**********
Akulah Kematian!...
Al kisah. Terdapat sebuah batu karang yang dikelilingi oleh laut luas dan deburan ombak. Suasana seperti itu layaknya seperti kalung permata yang terhias manis di leher para pengiring seorang putri. Di puncak batu karang tersebut, duduklah seorang pemuda yang sedang memegang buku di tangannya. Ia tidak mempelajarinya. Karena terkadang, pada suatu waktu, ia mengamati langit yang tidak memiliki ujung. Setelah itu, ia-pun melihat ke kedalaman laut.
Tidak diragukan lagi. Ada satu suara yang berbisik memanggilnya. Akan tetapi, ia merasa bingung, apakah suara tersebut datang dari buku yang tengah ada di genggamannya. Atau, datang dari tanah yang jauh. Atau, mungkin saja datang dari kedalaman laut? Ia mendengar suara itu datang dari seluruh penjuru. Bahasanya sangat familiar dan bisa difahami olehnya. Suaranya juga sudah tidak asing lagi di pendengarannya. Dan tibalah waktunya rasa penasaran tersebut memuncak. Akhirnya, pemuda tadi bangkit dan berdiri. Seakan-akan sesuatu tengah menariknya. Sampai akhirnya, ia menceburkan diri ke dalam lautan...
Tidak berselang lama, ia merasakan banyak sekali para penyelam dan pembawa lampu sorot di tengah lautan. Mereka mengatakan bahwa ada seorang yang tenggelam di tengah lautan. Suasana pantai semakin ramai dan orang-orangpun berbondong-bondong membanjiri kawasan tersebut. Teriakan-teriakan orang-pun sahut menyahut menambah suasana semakin berisik. Tidak sampai disitu, perahu-perahu penyelamat juga segera diturunkan. Orang-orang yang sangat berani mengambil resiko dan memiliki keahlian
berenang-pun segera terjun ke laut. Orang-orang tersebut mulai merasa, bahwa semua usaha yang telah mereka lakukan sia-sia belaka...
Usaha yang mereka lakukan semakin di ambang keputus asaan. Ketika pertama kali orang itu tenggelam, tangannya masih terlihat menggapai-gapai. Akan tetapi, pada detik-detik terakhir, tangan tersebut hilang. Dan tidak pernah muncul lagi. Pernah, tangan itu sesekali muncul ke permukaan terbawa ombak. Sayangnya, sebelum para penolong tersebut sampai ke tempat tersebut, orang tadi telah tenggelam lagi ke kedalaman lautan. Dan orang-orang hanya dapat mengikuti orang yang hilang tersebut dengan hati getir...
Banyak sudah air mata yang mengalir karena menyayangkan kepergian orang tadi. Mulut orang-orang juga ikut berkomat-kamit. Merasa kasihan dengan orang itu. Bahkan, orang-orang tersebut yakin, sepertinya orang tersebut sudah tidak dapat tertolong. Tidak ada satupun orang yang beranggapan bahwa orang tersebut masih hidup...
Akan tetapi, sebuah jeritan kegembiraan memecah kesunyian udara yang muram mencekam tersebut. Orang-orangpun berpaling ke arah datangnya suara tersebut. Ternyata, seorang gadis dengan mempergunakan perahu karet kecil berwarna terang datang dari arah belakang batu karang. Gadis tersebut membawa tubuh pemuda yang tenggelam di hadapannya. Si gadis meletakkan pemuda tersebut tepat di bagian depan perahunya. Seolah-oleh ia membawa barang-barang belanjaannya yang ia beli dari pasar. Ia terlihat sangat gembira dan bersuka ria di tengah lautan. Dengan terengah-engah, ia berteriak: “Hey..hey...Haloo...”
Setelah sampai di pantai, orang-orang segera memeriksa jasad yang dibawa gadis tadi. Dan ternyata, jasad itu masih hidup...
Orang-orang-pun berhamburan mendekati tepi pantai menuju si gadis. Begitupula dengan regu penyelam dan penyelamat, mereka mendekati si gadis dan mengambil pemuda yang tenggelam tadi. Kemudian, menyerahkannya kepada petugas ambulans. Akhirnya, si gadis berjalan dengan langkah bangga. Dan disekelilingnya, orang-orang semakin bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi pada pemuda itu...
Si gadis tadi akhirnya angkat bicara. Ia mengatakan bahwa sebenarnya, ia telah melihat peristiwa tersebut dari awal sampai akhir. Ketika itu, ia sedang mendayung perahu karetnya dekat batu karang. Pada saat itulah ia melihat seorang pemuda yang
bangkit dari duduknya. Ia berdiri tegak di atas kedua kakinya. Pemuda tersebut berada pas di puncak batu karang. Kemudian, ia melemparkan buku yang ada di tangannya. Dan terjun ke laut. Seketika itu juga aku bergegas menunju ke arahnya. Dengan seluruh kekuatan, aku mencoba untuk menyelamatkannya. Sekalipun, aku harus bertarung dengan gelombang ombak yang cukup besar. Akhirnya, akupun berhasil mencengkram tangannya. Aku berusaha untuk menariknya pada bagian depan perahu yang terbuat dari kayu. Ketika aku menolongnya, pemuda itu sudah limbung tidak memiliki kekuatan dan hilang kesadarannya....”
Jadi, semuanya itu aksi bunuh diri?! Mengapa ia mau bunuh diri?! Inilah pertanyaan yang keluar dari mulut orang-orang yang ada di sana!....
Terkadang, sebuah peristiwa membutuhkan pelacakan. Terlebih, peristiwa ini dianggap sebagai peristiwa yang sangat misterius. Bunuh diri merupakan salah satu tindak kejahatan pidana yang harus diusut sampai tuntas. Dan dalam tindak kejahatan pidana, biasanya diserahkan kepada bagian public prosecution (jaksa penuntut umum).
Syukurnya, kondisi kesehatan orang yang tenggelam tadi tidak begitu mengkhawatirkan. Sehingga, tidak menunggu lama, pemuda tersebutpun sadar. Ia-pun dapat kembali menjalani kehidupannya secara normal. Setelah sehat, ia-pun didudukkan di hadapan para jaksa penuntut. Pada saat itu, juga hadir si gadis yang menolongnya, untuk memberikan kesaksian. Gadis itu terus menceritakan kronologi kejadian. Setelah selesai, jaksa penuntut umum berpaling kepada si pemuda dan berkata: “Apa unsur di belakang semua ini. Sehingga, mendorong anda untuk bunuh diri?”
Si pemuda tadi tidak menjawab. Malah, ia menatap gadis tadi dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Bukan terpesona oleh kecantikannya, akan tetapi...ia menyembunyikan rasa marah di dadanya. Dengan geram, si pemuda berkata: “Dan apa hak nona ini dalam mencegahku melakukan tindakan bunuh diri?!”
Jaksa penuntut umum-pun mengernyitkan dahinya. Ia sedikit bingung. Akan tetapi, ia berusaha untuk berucap. Tapi, sebelum kata-kata tersebut keluar dari mulutnya, gadis tadi menjawab pertanyaan si pemuda: “Seandainya anda melihat sapu tangan saya terjatuh di jalanan, apakah anda tidak memperbolehkan saya untuk mengambilnya lagi. Atau, seandainya anda melihat dan mengambilnya, apakah anda tidak akan mengembalikannya kepada saya? Seandainya bunuh diri anda anggap sebagai hak pribadi
anda. Apakah saya juga tidak berhak menyelamatkannya. Terlebih, ketika saya melihat kehidupan anda tengah berada di ambang pintu kematian. Nyawa anda terlempar di tengah lautan dan saya hanya mencoba untuk meraih dan mengembalikannya kepada anda?!”
Dengan suara keras menahan kemarahan, pemuda tersebut berkata: “Bukan itu masalahnya nona! Materi pembicaraan kita sama sekali berlawanan dengan apa yang anda ucapkan tadi. Sapu tangan milik anda itu tidak terjatuh begitu saja di jalanan. Tapi, sengaja anda jatuhkan dari tangan anda. Dan memang, itulah yang anda inginkan. Tegasnya, anda menjatuhkannya dengan sengaja...Seandainya ada salah seorang yang melihat anda dengan sengaja melemparkan sapu tangan itu di jalanan atau di laut, kemudian ia mengambil dan mengembalikannya lagi, apakah anda masih menganggap bahwa ia berhak melakukan semuanya itu?...”
Tidak mau kalah, si gadis berkata: “Akan tetapi, sapu tangan itu...” Belum selesai si gadis mengucapkan kata-katanya secara sempurna, ketua tim jaksa penuntut umum dengan berang membentak: “Sudah...kita tidak usah membahas tentang masalah sapu tangan itu lagi...pembicaraan seperi itu bukan permasalahan yang tengah kita bahas sekarang ini di tempat ini. Sekarang, kita tengah membicarakan masalah kejahatan bunuh diri.
Dan kau pemuda! Aku telah melemparkan pertanyaan yang sangat jelas kepadamu: apa yang menyebabkan dirimu terdorong untuk melakukan hal tersebut? Dan seharusnya, kamu menjawab pertanyaan ini dengan singkat dan padat. Tanpa harus keluar dari permasalahan ini....silahkan!...”
Si pemuda tadi akhirnya menjawab dengan ketus: “Tulislah oleh kalian semua. Unsur penyebab bunuh diriku, sama seperti yang sudah biasa terjadi. Aku telah terilhami dari berbagai bacaan di koran-koran. Semua berawal dari keterbatasan tanganku dalam berusaha. Dan aku merasa putus asa!”
Pada saat itu, ketua tim jaksa penuntut umum berkata: “Apakah anda lupa apa yang telah anda ucapkan kepada panitera proses pengadilan ini. Pada saat itu, anda mengatakan kepadanya bahwa anda berasal dari keluarga berada. Dan anda hidup dari hasil tanah yang anda dapatkan dari warisan kedua orang tua anda?!”
dengancuek, pemuda itu menjawab: “Ya sudah! Tulislah: penyebabnya adalah, aku idiot, gila atau otakku lemah!”
Ketua tim jaksa penuntut umum tadi berkata lagi: “Apakah anda lupa apa yang telah anda ucapkan kepada panitera proses pengadilan ini. Pada saat itu, anda mengatakan kepadanya bahwa anda telah mendapatkan gelar master dari jurusan filsafat di sebuah universitas!?”
Saking kesalnya, pemuda tadi berkata: “Katakanlah bapak ketua tim jaksa penuntut umum, apa urusan anda dengan kehidupan saya. Saya ingin hidup atau mati, itu adalah hak saya?!”
Ketua tim tadi berkata: “Aneh! Apakah anda tidak mengetahui bahwa bunuh diri termasuk ke dalam salah satu tindak kejahatan?”
Si pemuda tadi menjawab: “Yang saya tahu, bunuh diri merupakan sebuah keinginan untuk pindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Apakah anda tidak membaca pengumuman kematian di koran-koran. Di sana tertulis si pulan telah berpindah dari dunia ke akhirat. Sebagaimana berpindahnya orang-orang yang ingin menghabiskan musim panas dari kota Kairo ke Alexandria. Jadi, anggaplah saya seperti orang-orang yang ingin menikmati musim panas tersebut. Saya telah berusaha untuk meninggalkan seluruh kehidupan dunia ini. Apakah saya tidak berhak untuk berpindah dari dunia ini ke dunia lain?...”
Ketua tim tadi-pun berkata lagi: “Begitu saja? tanpa paspor atau karcis? Atau, setidaknya memiliki surat idzin?” Si pemuda tadi bertanya dengan kesal: “Apakah sampai pada hal-hal seperti ini juga membutuhkan proses seperti itu?”
Sang ketua menjawab: “Tentu saja! Apakah anda menyangka bahwa semuanya akan dibiarkan begitu saja. Sehingga, anda dapat berpindah dari satu dunia ke dunia lain dengan seenaknya. Dan anda berfikir bahwa diri anda dapat bersembunyi dan akan terbebas dari semuanya itu? Anda harus tahu...setiap orang yang melakukan perjalanan secara sembunyi-sembunyi, telah dianggap sebagai orang yang menyalahi hukum. Dan termasuk ke dalamnya, orang yang akan melakukan perjalanan ke dunia lain!....”
Pemuda tadi berkata: “Jadi, anda menganggap bahwa saya seorang yang menyalahi hukum, karena saya telah melakukan perjalanan tanpa idzin ataupun perintah?....Baiklah, akan tetapi, anda tidak berhak untuk mempertanyakan kepada saya,
apa penyebab yang mendorong saya melakukan perjalanan!...Karena, bisa jadi semuanya itu saya lakukan untuk mencari suasana baru, lari dari orang-orang yang telah saya hutangi, bertemu dengan seorang bangsawan dan penguasa, atau mengakhiri seluruh derita yang saya rasakan semakin berat bergelayut di pundak ini...”
Sang ketua akhirnya angkat bicara kembali: “Berikanlah kesempatan kepada saya untuk mengingatkan anda dengan sesuatu. Yang namanya unsur penyebab, mengapa seseorang harus melakukan perjalanan selalu diminta oleh petugas imigrasi. Khususnya, ketika ia akan berpindah selamanya dan menetap di sebuah tempat lainnya. Hal tersebut selalu dilakukan, ketika seseorang hendak berpindah dari satu negara ke negara lainnya. Apalagi, perpindahan yang anda lakukan adalah perpindahan dari satu dunia ke dunia yang lain?!...”
Dengan perasaan kesal bercampur kecewa, si pemuda tadi mendengus: “Huh...dasar manusia! Oh kebebasan yang hilang dari muka bumi!....”
Akhirnya, pemuda itu hanya termenung dan menopangkan kepalanya di kedua telapak tangannya. Sang jaksa penuntut umum akhirnya memberikan kesempatan kepada si pemuda untuk melakukan hal tersebut. Sebagai tanda belas kasihan dan meringankan beban yang tengah di ada di pundaknya. Sampai akhirnya, sang pemuda itu menegakkan kepalanya kembali dan melemparkan pandangannya kepada sang ketua. Kemudian, ia berbicara: “Apakah anda akan tetap memberikan keputusan?”
Sang ketua menjawab: “Benar, engkau harus menjawab seluruh pertanyaan kami.”
Maka, sambil bersiap-siap berdiri, pemuda tadi menjawab: “Baiklah, tulis bahwa penyebabnya adalah: Aku sakit jiwa! Hanya itulah jawaban yang kumiliki....”
Sepertinya, tim jaksa penuntut umum tidak merasa puas dengan jawaban ini. Akan tetapi, mereka tidak memilki pilihan lain. Akhirnya, selesai sudah proses dakwaan tersebut. Dan pengadilan-pun segera ditutup. Setelah itu, mahkamah mempersilahkan sang pemuda dan para hadirin untuk meninggalkan ruangan....
Belum juga sang pemuda sampai di jalanan, gadis yang menyelamatkan nyawanya menyusulnya dari belakang. Ia berkata: “Aku harap, rasa marahmu terhadapku telah hilang.” Pemuda itupun langsung berpaling kepada gadis tadi: “Kemarahanku tidak akan pernah hilang. Selama dirimu masih hidup.” Dengan tercengang, si gadis berkata:
“Sebesar inikah kamu melihat diriku ini telah menghancurkan dirimu?” Setengah bergumam, pemuda itu berkata: “Seandainya engkau tidak berbuat serampangan, tentunya aku telah berada di dunia yang lebih indah!”
Dengan keheranan, si gadis mengulang perkataan pemuda tadi: “Aku bertindak serampangan?!” Dengan kesal, pemuda tadi berucap: “Selamat tinggal nona, selamat tinggal!...” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, sang pemuda meloncat dari atas pilar bangunan, supaya dirinya dapat dengan cepat menyentuhkan kakinya di jalanan. Dan tiba-tiba saja, sebuah mobil angkutan barang yang penuh sesak hampir menabraknya. Bahkan, roda mobilnya-pun hampir memporak porandakan tubuhnya. Seandainya tangan gadis tadi tidak menariknya ke belakang. Dan mengembalikannya ke pilar tadi dengan selamat. Sebagaimana asalnya.
Maka, sang pemuda tersebut melemparkan pandagannya dengan penuh api kemarahan. Si gadis tahu apa makna tatapan tajam pemuda tersebut. Dengan suara yang lemah, bingung dan penuh dengan permintaan maaf, ia berkata: “Baiklah, jangan kau menatapku seperti itu. Semua ini adalah salahku. Dan kamu berhak melakukannya.” Dengan menggelengkan kepalanya penuh marah, pemuda itu berkata. Sepertinya, ia berbicara pada dirinya sendiri: “Semuanya tidak akan berhasil! Selama kamu masih hidup, maka selama itu pula aku tidak akan merasakan indahnya kematian dengan kedua mataku!”
Sekali lagi, si gadis tadi mengucapkan maafnya: “Jadi, apa yang harus aku perbuat sekarang!?” Api kemarahan sang pemuda semakin terbakar, ia-pun berkata dengan penuh emosi: “Cukup sudah...cukup! Aku telah tertimpa musibah dan sekarang....selesai! Darimana kamu datang wahai makhluk Tuhan (yang dimaksud gadis tadi)? Engkau telah menghancurkan akal dan jalan hidupku. Dan kau telah mengacaukan seluruh rencanaku. Engkau berusaha untuk berdiri di antara diriku dan keinginanku selama ini!? Beritahukan kepadaku, bagaimana agar aku dapat lari jauh darimu....Katakan kepadaku! Bagaimana caranya agar aku dapat lari darimu. Supaya aku dapat bertemu dengan kematian?!”
Si gadis sudah tidak dapat menyembunyikan keinginannya untuk tertawa. Akan tetapi, ia berusaha untuk memasang tampang serius. Kemudian, ia berkata: “Kamu mendapatkan musibah!? Mengapa kamu tidak menganggap bahwa diriku ini adalah
malaikat pelindungmu?” Dengan kemarahan yang semakin menjadi-jadi, si pemuda tadi berkata: “Seandainya kamu benar-benar malaikat pelindungku, setidaknya, kamu dapat membuat aku melupakanmu. Atau, mengabulkan semua yang aku inginkan....”
Si gadis akhirnya bertanya lagi: “Apa yang kamu inginkan? Kematian?” Si pemuda menjawab: “Ya, benar.” Si gadis memandang pemuda tadi dengan penuh selidik. Kemudian, ia berkata: “Aku tidak pernah mengira bahwa kematian memiliki keinginan seperti halnya jiwa manusia. Aku juga tidak tahu bahwa kematian dapat membuat manusia terlena dan tidak perlu membutuhkan pertolongan! Aku harus benar-benar mengetahui bahwa diriku telah melakukan kesalahan dengan melarangmu untuk melakukan keinginan yang kamu anggap terpuji! Akan tetapi, masalahnya sangat sederhana sekali. Sehingga, dalam sekejap saja, memungkinkan saya untuk memperbaiki kesalahan tersebut....”
Dengan antusias, pemuda itu bertanya: “Bagaimana caranya?” Si gadis menjawab ringan: “Kamu masih ada di hadapanku, batu karang itu masih terpancang gagah di dekat laut yang belum kering.” Si pemuda tadi bertanya lagi: “Jadi, aku dapat melemparkan diriku ke dalam lautan untuk kedua kalinya?” Si gadis berkata: “Dan aku akan duduk di puncak batu karang, membaca bukumu sambil melihatmu merenggang nyawa di dalam air. Aku berjanji tidak akan mengangkat kepalaku dari lembaran bukumu yang tengah kubaca, sampai aku dapat menyelesaikannya dengan perlahan-lahan. Setelah itu, barulah aku akan melemparkan pandanganku kepadamu dan mengasihanimu...kamu senang?” dengan sangat bahagia, gadis itu-pun mengajak si pemuda sambil berkata: “Kalau begitu, mari!
Pemuda tadi seperti mendapatkan kebahagiaan tersendiri. Dengan semangat ia berkata: “Ya, marilah!” Ia mengucapkan kata-kata tersebut dengan mantap dan tekad bulat. Ia-pun berlalu sambil bersenandung “Betapa indahnya menjadi tuan manusia”. Di sampingnya, berjalan gadis tadi dengan langkah yang bersemangat seperti dirinya. Tiba-tiba, pemuda tadi membalikkan badannya kepada si gadis. Ia berkata: “Aku pergi untuk menemukan kematian. Sedangkan kamu....apa keperluanmu?”
Dengan sederhana, si gadis menjawab: “Aku akan menyerahkanmu kepada kematian dengan kedua belah tanganku. Sebagaimana aku juga telah menolongmu dari
kematian seperti dulu!...” Akhirnya, si pemuda mengangguk-angguk dan berkata: “Oh..kalau begitu, marilah!”
Akhirnya, keduanya manusia ini sampai di depan lautan. Keduanya dapat melihat batu karang dengan jelas. Akan tetapi, tiba-tiba gadis tadi berkata: “Aku punya sedikit ganjalan. Bagaimana seandainya kita tidak mengusik lagi cerita batu karang. Lebih baik, kita mempergunakan pakaian renang dan meloncat dari tebing yang tinggi untuk berenang di lautan. Setelah itu....” Belum selesai si gadis menghabiskan kalimatnya, si pemuda berkata: “Akan tetapi, aku tidak dapat berenang.” Si gadis menjawab lagi: “Apakah itu masalah bagimu. Bukankah dirimu ingin tenggelam?!...” Si pemuda-pun berfikir. Akhirnya ia berkata: “Benar juga katamu. Baiklah, setelah itu apa?”
Si gadis kembali meneruskan perkataannya: “Setelah itu, kamu meloncat dari atas tebing dan terjatuh di antara deburan ombak. Tentunya, di sebuah tempat yang paling indah menurutmu. Itu adalah sebuah kematian yang mengundang kontroversi dan jarang terjadi!...Bagaimana menurutmu?!” Pemuda itu berusaha untuk berfikir. Kemudian berkata: “Tidak nyonya besar! Aku tidak mau agungnya sebuah nilai kematian menjadikan diriku orang yang hina. Aku adalah seorang pemuda yang sungguh-sungguh dalam menghadapi hidup. Aku akan menutup kehidupanku tersebut dengan kematian secara indah dan bukan dengan kematian yang buruk?! Dasar perempuan?! Ini jadi pelajaran. Jangan sampai kalian mempercayai kaum perempuan. Karena kalian hanya akan mendapatkan kekecewaan dan semuanya akan sia-sia!...Pergi dariku, kau perempuan!...”
Si gadis segera menentramkan: “Jangan marah!...Ayolah kita menuju ke batu karang itu!....”
Tidak berselang lama, kedua pemuda pemudi itu telah sampai di puncak batu karang. Melihat keduanya di atas sana, kita seperti melihat sepasang kekasih yang tengah lari dari keramaian manusia dan kesibukan hidup di bumi. Tidak ada satu-pun orang yang dapat mengartikan lain, selain itu. Sekalipun, orang tersebut sangat mahir dalam mempergunakan ilmu firasat. Pasti mereka akan beranggapan bawha kedua makhluk Tuhan ini tengah bercinta...
Pastilah orang-orang yang melihat sepasang burung camar cantik yang tengah duduk berduaan, terpisah dari keramaian sambil melepaskan pandangan ke lautan lepas
dengan pandangan yang lembut dengan fikiran yang sama. Dan tiba-tiba saja....mereka merasakan adanya keterikatan hati yang sangat asing. Ikatan tersebut terasa telah mengikat antara yang satu dengan yang lainnya. Mereka juga merasa heran dengan fikiran yang terus berputar dalam otak mereka selama satu jam itu?!...”
Keheningan yang telah berjalan cukup lama tersebut akhirnya dipecahkan oleh suara si gadis tadi: “Sudah menjadi kewajibanku untuk menasehatimu. Fikirkanlah kembali niatmu...” Si pemuda menjawab dengan hampa: “Aku tidak membutuhkan nasehatmu.” Si gadis tersenyum kecut: “Kamu bebas menentukan pilihan.” Sambil menempelkan jari telunjuk di bibirnya, si pemuda berkata: “Pssst!....idzinkan aku untuk mendengarkan bisikan ombak yang memanggilku. Suara itu datang dari nun jauh di sana...Bahkan, ia datang dari laut yang sangat dalam. Apakah kamu tidak mendengarnya?....”
Si gadis kembali menatap sang pemuda yang ada di sampingnya dengan penuh selidik. Ia ingin menembus kedalaman jiwa sang pemuda. Kemudian, ia berkata: “Bisikan-bisikan itu kembali memanggilmu? Dengarlah...aku bukanlah ketua tim jaksa penuntut umum yang berada di hadapan panitera. Dan kamu adalah orang yang tengah berada di ambang kematian. Aku tidak akan menjadi penghalang antara dirimu dan kematian, sebagaimana perjanjian kita tadi...akan tetapi, apakah kamu rela melihat orang lain melakukan hal yang sama denganmu. Percayalah padaku, aku akan menjaga rahasiamu dan aku tidak akan membicarakannya kepada satu manusia-pun. Katakanlah, apa yang mendorongmu untuk bunuh diri?....”
Sang pemuda tidak menjawab ataupun memalingkan mukanya kepada si gadis...ia malah memandang air laut. Sehingga, si gadis hanya mampu menatap dan menunggu gerak bibir sang pemuda untuk berbicara. Ketika si gadis telah bosan menunggu sang pemuda yang hanya diam, ia mulai berkata lagi: “Sebabnya sudah jelas...pasti karena perempuan!...” Si pemuda-pun memalingkan wajahnya ke arah si gadis. Ia memandang perempuan yang ada di sampingnya tersebut dengan pandangan yang aneh. Seolah menahan tawa. Kemudian, ia kembali ke posisinya semula. Memandang air laut tanpa mengeluarkan satu huruf-pun dari mulutnya.
Dengan suara yang seolah mendesak dan yakin, si gadis kembali berkata: “Pastilah itu penyebabnya. Demi seorang perempuan yang sangat berarti dalam hidupmu. Atau, mungkin karena dirimu tidak mendapatkan satu orang perempuan-pun!...”
Akhirnya, pemuda tadi membalikkan tubuhnya dan berkata dengan lembut kepada si gadis: “Mengapa kamu menempatkan seorang perempuan, seolah-olah ia makhluk terpenting di dunia ini?!” Dengan penuh selidik, si gadis mengajukan pertanyaan: “Jadi, apa sebenarnya rahasianya?...” Si pemuda menjawab: “Apakah kamu merasa perlu untuk mengetahuinya?” Dengan cepat si gadis menjawab: “Perlu sekali!..”
Si pemuda menjawab: “Jadi, ketahuilah, tidak ada rahasia di balik semuanya itu. Semuanya itu, aku lakukan hanya karena aku ingin keluar dari kehidupan ini. Aku ingin keluar dari sini dengan begitu saja....bagaimana menurutmu?” Si gadis menjawab: “Kamu telah memasuki kehidupan ini secara terpaksa. Oleh karena itu, kamu ingin keluar sesuai dengan keinginanmu....” Si pemuda tadi berkata lagi: “Dan aku hampir saja keluar dari kehidupan ini. Seandainya kamu tidak ikut campur dan masuk ke dalam sebuah urusan yang tidak kamu ketahui...”
Dengan menunduk, si gadis berkata: “Kamu berhak mengatakan itu semua. Ini semuanya merupakan pelajaran bagiku di masa yang akan datang. Sekalipun, terkadang kita tidak kuat dalam menahan diri untuk mengingatkan orang yang sedang lupa...inilah kehidupan yang kamu benci...lihatlah ke dalamnya...bukankah di dalamnya terdapat pemandangan yang sangat indah? Kamu tidak melihat nun jauh di sana di kedalaman laut selain tangan-tangan kematian yang memanggil dan mengajakmu.
Berbeda dengan manusia yang ada dan hidup di sekelilingmu. Mereka memandang segala sesuatu dengan senang. Lihatlah kepada anak-anak kecil, perempuan, orang tua juga laki-laki yang berkecipak di air dan bermain di pasir pantai...mereka semuanya berbahagia dan tertawa riang. Seakan-akan mereka tengah mendengarkan alunan nyanyi-nyanyian yang datang dari berbagai arah dan mengajak mereka untuk tetap hidup...”
Si pemuda-pun terlihat gelisah. Ia menghembuskan nafasnya, seakan ada beban berat menggelayut di dalam dadanya. Ia berkata: “Dalam pandanganku, kehidupan ini sangat buruk...apakah kamu tidak melihat bola mataku dan pandanganku ini?! Skenario film tidak membuatku berubah fikiran dan terkesan dengan alur ceritanya. Sehingga, aku
tetap ingin keluar dari kehidupan ini. Para pemirsa yang ada di dalam ruangan bioskop itu dapat memegang tanganku dan mendudukkan aku kembali. Aku sudah terlanjur benci dengan kehidupan ini....sekalipun, pada saat itu, mereka akan berkata kepadaku: “Alur cerita di film ini sangat bagus dan menyentuh. Tinggallah sampai selesai?!”
Dengan kesal, si gadis berkata: “Tidak ada satu-pun yang memegang tanganmu...silahkan..matilah...!”
Akhirnya, si gadis menjauh dari tempat pemuda itu dan duduk menghadap ke arah lain. Sedangkan pemuda tadi hanya terdiam di tempatnya tanpa bergerak sedikitpun. Setelah selang beberapa waktu, ia mulai menggeser tempat duduknya dan mendekati tempat duduk si gadis. Ia berkata: “Dan siapa yang akan menjamin, ketika aku melemparkan diri ke laut, kamu tidak akan menolongku?!”
Dengan mata melotot, si gadis berkata: “Siapa yang menjamin katamu? Apakah kamu masih membutuhkan jaminan dan semacamnya? Idzinkanlah saya untuk berkata....saya sudah berkorban terlalu banyak...oleh karena itu, saya katakan kepadamu, ketika kamu berada di sisiku, kamu akan merasa tenang. Dan matilah sesuai dengan kehendakmu...akan tetapi, sangat jelas sekali bahwa keberanianmu telah hilang...dan sekarang, kamu mencoba untuk mencari-cari alasan dan argumen...”
Dengan marah, pemuda tersebut berteriak kepada si gadis: “Aku?! Kamu tidak tahu siapa aku....akan tetapi, kamu akan melihat siapa diriku...” Dengan tenang, si gadis menjawab: “Aku telah mengenal dan tahu, siapa dirimu...” Dengan suara keras, pemuda tadi bertanya lagi: “Jam berapa sekarang? Aku akan mati sebentar lagi...” Dengan nada ejekan, si gadis berkata: “Oh...apakah harus sesuai dengan jam? Sudahlah, cepatlah melompat dan tenggelam ke dalsar laut!...” Sang pemuda menjawab: “Aku bebas untuk menentukan waktu sendiri...” Si gadis berkata dengan sinis: “Ayolah, cepat lakukan apa yang kamu inginkan. Dan jangan membiarkanku menunggu lebih dari ini!”
Kemudian, gadis itu-pun mengeluarkan cermin kecilnya, dan mulai merapikan rambutnya dengan perlahan. Tidak hanya itu, si gadis juga berdandan dan melihat dirinya di cermin. Sedangkan pemuda tadi berdiri tegak seperti patung. Ia tidak tahu, apa yang harus ia lakukan...Dan tiba-tiba, si gadis mengeluarkan suara dan menyanyikan sebuah lagu yang cukup terkenal. Akhirnya, si pemuda tadi-pun berkata dengan nada marah: “Kamu!...Bernyanyi!?...” Si gadis menjawab perkataan sang pemuda tanpa mengalihkan
pandangan ke arahnya: “Ya, tentu saja. Aku sedang menunggumu melakukan aksi bunuh diri!”
Akhirnya, pemuda tersebut membiarkan tingkah laku si gadis dengan geram. Kemudian, ia bersiap menuju ke tengah lautan...sambil berjalan, ia berteriak: “Selamat tinggal! Sebelum aku merenggang nyawaku untuk yang terakhir...aku ingatkan kau dengan janjimu. Berusahalah untuk tetap di tempatmu dan tidak menolongku...” Si gadis memotong perkataan si pemuda dengan suara tenang: “Tenang saja...”
Si pemuda-pun mulai berjalan ke tengah lautan. Ia mengangkat kedua tangannya dan berteriak: “Satu...dua...ti...” Belum selesai hitungan ke tiga, dari mulut si gadis keluar tawa yang sangat keras. Si pemuda itupun menurunkan tangannya dan memalingkan wajahnya kepada si gadis dengan murka. Dengan posisi tetap pada cermin dan jari-jarinya menghapus lipstik di kedua bibirnya, si gadis-pun segera berkata: “Maafkan aku...aku telah memoleskan lipstik di bibirku dengan jariku. Dan ternyata, aku memolesnya terlalu banyak...lihat!...”
Dengan kesal, si pemuda berkata: “Apakah ini tingkah laku seorang perempuan ketika melihat laki-laki ada di hadapannya?!” Si gadispun berkata ringan: “Maafkan aku. Tidak perlu marah! Aku akan meneruskan dandanku nanti saja...Ayolah teruskan apa yang telah kamu lakukan..sekarang...aku di bawah kendalimu...silahkan...” Kemudian, si gadis-pun memasukkan cerminnya dan memperbaiki duduknya...
Akan tetapi, sepertinya sang pemuda telah putus asa...bukan putus asa karena gagal menjalani hidup. Akan tetapi, karena selalu gagal untuk menuju kematian. Akhirnya, ia-pun duduk dan menopang kepalanya dengan kedua telapak tangannya. Ia seperti sedang berfikir keras dan berada dalam puncak kebingungan. Ia berjalan mondar-mandir, seolah tengah membuat sebuah teori. Kondisinya sangat menghawatirkan. Sehingga, mengundang orang untuk mengasihaninya.
Akhirnya...si gadis tadi-pun mendekatinya sambil berkata: “Janganlah menyiksa dirimu...lihatlah ke belakang...ingat kehidupanmu di masa lalu...terkadang, kita akan melihat di dalamnya...” Belum juga si gadis selesai bicara, pemuda tadi memotongnya dan berkata: “Tidak...tidak ada kebaikan yang dapat aku lihat di dalamnya. Karena, semua yang pernah kulalui selalu buruk dan tidak pantas. Kamu tidak dapat
menggambarkan apa yang aku fikirkan. Karena kamu tidak berfikir dengan kepalamu...dan mayoritas manusia memang seperti itu...”
Apakah kamu tahu, apa itu arti kehidupan? Bagimu, kehidupan hanya sebatas cermin...dimana cermin tersebut dapat memantulkan kecantikan wajahmu. Padahal, belum tentu cermin dapat menggambarkan manusia dengan benar; Tinggi, pendek, gemuk ataupun kurus. Aku telah berusaha untuk berinteraksi dengan kehidupan ini. Sayangnya, aku tidak pernah menemukan sebuah nilai kebenaran yang absolut. Maka, segala sesuatu yang kita sebut dengan kebaikan, kecantikan, keadilan, kemerdekaan dan lain sebagainya hanyalah kumpulan sesuatu yang memiliki sifat yang tidak pernah permanen dan bertahan lama. Bahkan, bukanya menuju sebuah perubahan dan masuk ke dalam inti yang baru, malah ia berubah sebaliknya...
Terkadang, dengan berlalunya waktu, kemerdekaan dapat berubah menjadi perbudakan. Keadilan, pada akhirnya akan menjadi kedlaliman. Wajah yang cantik, lama kelamaan akan berubah menjadi jelek. Kebaikan akan berubah menjadi keburukan. Sampai-sampai, secara geografis, tata letak tempat di dunia ini tidak ada yang permanen. Bagian timur yang membentang luas, secara tiba-tiba telah dijajah dan dikuasai barat. Keindahan bulan dan bintang-bintang di angkasa raya, dimana para penyair menyanjung-nyanjungnya, akan menjadi suatu momok yang mengerikan, tatkala jaraknya berubah. Oleh karena itu, dalam kehidupan ini tidak ada yang namanya kebenaran hakiki. Segala sesuatu tergantung kepada ruang dan waktu.
Jadi, dimana letak kebenaran cermin itu? Bahkan, terkadang cermin itu memantulkan gambaran yang sebaliknya; tinggi, pendek, gemuk, kurus, cantik dan jelek. Semuanya selalu berubah tatkala kita menjauhkan posisi cermin. Padahal, kebenaran tersebut letaknya sangat jauh, bahkan berlawanan dengan pantulan cermin tersebut! Apakah aku salah seandainya aku mencoba untuk keluar dan mencari hakikat keberadaan diriku?! Apa menurutmu sekarang...apakah kamu masih memiliki pendapat yang bersebrangan denganku?”
Sejenak, si gadis terdiam...ia terus berfikir keras sambil memandang pemuda yang ada di hadapannya. Kemudian, ia berkata: “Apakah kamu telah memendam semuanya itu begitu lama?” Si pemuda tadi menjawab penuh selidik: “Benar. Dari mana kamu tahu hal itu?” Si pemuda mengucapkan kata-kata tersebut dengan cepat. Tapi, ia
tidak tergesa-gesa untuk meninggalkan si gadis...dalam kepala si gadis timbul berbagai prasangka, jangan-jangan, laki-laki itu ingin menyiksa dan mengorbankannya juga. Tapi, si gadis kembali berfikir bahwa sang pemuda tidak mungkin memiliki fikiran seperti itu.
Ia-pun segera berkata dengan lemah lembut: “Apakah kamu menyadari, mengapa kamu memiliki fikiran untuk bunuh diri? Ini merupakan pertanyaan yang sederhana...kamu naik ke puncak batu karang...apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang naik ke puncak piramid paling besar. Mereka akan merasa kepala mereka berputar dan serasa bumi memanggil mereka. Seandainya tangan mereka tidak mendapatkan sandaran, niscaya mereka akan terjatuh. Atau, menjatuhkan diri sendiri ke atas bumi, tanpa mereka sadari? Akan tetapi, hal tersebut mustahil terjadi pada orang-orang yang berjalan di atas bumi. Mereka tidak akan merasa pusing karena ketinggian. Yang akhirnya dapat membuat mereka terjatuh!...menurutku...kamu harus berobat. Karena kamu memiliki penyakit trauma ketinggian. Apakah kamu tahu apa obatnya? Isilah hidupmu dengan perbuatan-perbuatan bodoh!....”
Ketika pemuda tersebut mendengar perkataan si gadis, ia langsung protes: “Perbuatan-perbuatan bodoh?! Aku, orang yang selalu berfikir dan merenung sepanjang usiaku melakukan hal tersebut?!”
Si gadis berkata dengan suara tenang: “Mengapa kamu terlalu memposisikan praktek berfikir sedemikian tinggi dalam kehidupan?!” Dengan setengah tidak percaya, pemuda itu bertanya: “Apa yang kamu ucapkan?” Si gadis berkata: “Dengarlah, makanlah tongkol jagung rebus yang dijual di samping jalan besar. Setelah itu, isilah ususmu dengan setengah ons ketimun hijau yang telah dikupas kulitnya...” Dengan terbengong-bengong, si pemuda berkata: “Ya Tuhan, yang maha menjaga!...” Si gadis kembali berkata: “Setelah itu, nikahilah seorang perempuan. Dimana kamu dapat membantunya dan ia dapat membantumu....mengisi satu bagian dalam hidupmu dengan canda tawa, kesenangan dunia dan anak-anak....”
Si pemuda semakin bingung: “Menikah?!...” Si gadis kembali meneruskan perkataannya: “Dan seandainya kamu meminta diriku untuk berkorban demi menyembuhkanmu, maka aku akan menyerahkan jiwaku kepadamu seperti layaknya obat yang ada dalam botol. Di dalamnya, ada sebuah kertas...” Si pemuda tadi memotong dan meneruskan perkataan si gadis: “Merah!...”
Si pemuda-pun langsung bangkit dari duduknya dengan cepat dan berdiri tegak di atas kedua kakinya. Pada saat itu, si gadis tidak menyadari apa yang akan dilakukan oleh si pemuda. Sampai akhirnya ia tercengang karena si pemuda telah terjun di antara gulungan ombak. Laki-laki itu benar-benar telah melemparkan dirinya ke lautan, sebelum si gadis menyadari apa yang terjadi....
Untuk beberapa saat, si gadis hanya terpaku dan tidak tahu apa yang harus ia perbuat...sampai pada akhirnya, naluri kemanusiaannya melakukan sesuatu di luar kesadarannya. Akhirnya, ia juga melemparkan dirinya ke dalam air dan berusaha meraih si pemuda. Kemudian, ia membawanya ke tepi batu karang. Ia-pun segera memberikan pertolongan pertama. Sampai akhirnya pemuda tadi tersadar dan membuka kedua matanya. Dan...ia mendapatkan dirinya dalam pangkuan si gadis. Dengan kaget, sang pemuda berkata: “Kamu?” Dengan tersenyum, gadis itupun berkata: “Bukankah kamu menginginkan rangkulan kematian?” Sang pemuda menjawab lemas: “Ya, benar...” Akhirnya, si gadis-pun menjawab: “Akulah kematian itu!...”
Maka Jadilah Dunia!...
Mengapa Iblis menentang Tuhan? Kisah tersebut sudah tidak asing lagi. Sebuah kisah yang tertulis dalam kitab-kitab samawi. Dan sebagai manusia, tidak ada alasan bagi kita untuk meragukannya. Akan tetapi, ada beberapa kisah dalam al Quran yang dicomot oleh para seniman. Dalam artian, mereka akan menciptakan alur cerita lain yang diambil dari kisah yang sama. Dan sepertinya, tidak salah rasanya apabila kita mengetengahkan salah satu dari alur cerita tersebut. Akan tetapi, alur tersebut hanya kita jadikan sebagai bahan candaan dan bukan keyakinan...
Dalam sejarah sang penyelamat dikatakan, bahwa sebelum melaksanakan dosa dan melawan perintah Tuhannya, iblis bernama „Azazil. Ia termasuk ke dalam golongan malaikat yang paling mulia di sisi Allah. Bahkan, ia dianggap sebagai salah satu dari empat malaikat terpenting. Di samping itu, ia juga merupakan pimpinan malaikat langit. Allah memberikan tugas kepadanya sebagai penjaga surga. Tidak hanya itu, ia juga menjadi pemimpin di bumi. Ia termasuk salah seorang malaikat yang sangat rajin dan paling banyak memiliki ilmu pengetahuan.
Ketika Allah telah selesai menciptakan makhluk yang dikehendaki-Nya, Ia-pun naik ke atas Arasy. Pada saat itu, Allah telah menempatkan kedudukan iblis di atas malaikat. Maka, dalam hati iblis terbersit sebuah keyakinan bahwa Allah telah memberikannya nilai lebih dibanding para malaikat lainnya.
Dan baiklah, kita akan memulai kisah ini. Kisah ini terjadi setelah Allah menciptakan Adam secara sempurna. Pada saat itu, Allah telah menciptakan Adam dengan kekuasaan-Nya. Kisah ini diawali ketika Allah memerintahkan malaikat Jibril untuk mengambil segenggam tanah dari bumi. Karena Allah akan menciptakan Adam dari materi tersebut. Ketika Jibril mengulurkan tangannya untuk mengambil segenggam tanah dari bumi. Bumi-pun terperanjat dan berkata: “Aku berlindung kepada Allah darimu yang akan mengambil sesuatu dariku.” Akhirnya, malaikat Jibrilpun mengurungkan niatnya untuk mengambil tanah tadi.
Setelah itu, Allah mengutus malaikat Mikail. Ia diberikan tugas yang sama oleh Allah dengan malaikat Jibril. Dan pada akhirnya, ia-pun mengalami nasib yang sama dengan Jibril. Pada akhirnya, Allah mengutus malaikat maut. Ketika itu, bumi kembali berkata: “Aku berlindung kepada Allah darimu yang akan mengambil sesuatu dariku.” Malaikat mautpun menjawab: “Aku juga berlindung kepada Allah agar aku tidak kembali tanpa menyelesaikan tugas yang diperintahkan-Nya kepadaku.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, akhirnya ia mngulurkan tangannya dan mengambil segenggam tanah dari muka bumi. Pada saat itu, malaikat maut tidak mengambil tanah tersebut dari satu tempat saja. Akan tetapi, ia mengambil dari debu yang berwarna putih, kemerahan dan hitam. Dari sini, akhirnya kita dapat mlihat bahwa anak cucu Adam lahir dengan warna kulit yang beragam.
Dari tanah inilah Allah menciptakan jasad Adam. Ketika malaikat lewat di depan jasad ini, mereka-pun terperanjat. Bahkan, iblis juga mengalami hal yang sama dengan malaikat. Ketika itu, iblis memukulnya dan berteriak ke dalam jasad tersebut. Akan tetapi, suaranya terdengar menggema dalam jasad tersebut. Sama, seperti ketika dirinya berteriak dalam barang-barang yang terbuat dari tembikar. Akan terdengar suara berisik...
Setelah jasad Adam tercipta, akhirnya Allah meniupkan ruh-Nya kepada makhluk ciptaan-Nya tersebut. Ketika ruh masuk ke dalam kepalanya, Adam-pun bersin.
Ketika ruh masuk ke dalam kedua matanya, Adam melihat ke buah-buahan yang ada di surga. Ketika ruh masuk ke dalam perutnya, ia-pun merasa lapar. Dan setelah itu, sempurna sudah penciptaan Adam. Maka, lahirlah makhluk Allah yang paling indah dan ciptaan paling mengagumkan ini...
Allah-pun memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada salah satu tanda kebesaran Allah yang sangat agung ini. Akhirnya, mereka semuanya bersujud. Kecuali, iblis. Ia melihat kepada mukjizat tersebut dengan bosan. Kemudian, ia memalingkan mukanya dan menggoncangkan pundaknya. Setelah itu, ia berlalu masuk ke dalam surga. Ia berjalan sembunyi-sembunyi, seolah tidak melihat apa yang baru saja ditemuinya. Ia berlaku sombong. Sehingga, ia enggan untuk bersujud kepada ciptaan Allah yang terbuat dari tanah.
Di tengah jalan, ia berpapasan dengan ular cerdik yang telah mengetahui berita keberadaan makhluk baru ciptaan Allah. Maka, makhluk yang satu itu-pun mencegat iblis dan berteriak: “„Azazil!....Ada apa denganmu? Mengapa kamu tidak melakukan sesuatu yang dilakukan oleh yang lainnya?” Dengan sombong, iblis menjawab: “Aku harus bersujud kepada makhluk ini?!” Ular cerdik mencoba menasehati: “Jangan sampai rasa iri memakan hatimu. Ketahuilah, perintah tersebut merupakan perbuatan yang sangat agung.” Masih dengan kesombongannya, iblis menjawab: “Apanya yang agung? Apakah yang kau maksud tanah darimana dia berasal?”
Ular cerdik menjawab pertanyaan iblis dengan ringan: “Bagaimanapun juga, tanah lebih utama dibanding dengan api, dimana kamu tercipta darinya....” Dengan murka iblis menghardik: “Apa yang kamu ucapkan tadi wahai ular hina?” Ular cerdik kembali berkata: “Tanah memiliki kadar keseimbangan, sifat pengasih, menerima apa adanya dan dapat tumbuh berkembang...” Tidak mau kalah, iblis-pun berkata: “Apakah kamu tidak tahu, apa kelebihan api?”
Dengan cuek, ular cerdik menjawab: “Paling-paling, api hanya memiliki sifat serampangan, senang meremehkan yang lain, cepat melampaui batas dan membakar?” Dengan marah iblis berkata: “Dasar makhluk munafik! Yang aku lihat hanyalah makhluk yang bolong! Benarkah Allah yang telah menciptakannya dengan bentuk seperti itu?”
Ular cerdik menjawab dengan tenang: “Allah telah menciptakannya dengan kekuasaan-Nya. Setelah itu, ia meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Dan
mengajarkan nama-nama segala sesuatu...ini semuanya merupakan kemuliaan di atas kemuliaan.” Dengan penuh tanda tanya, Iblis bertanya kepada ular: “Mengajarkannya nama-nama segala sesuatu?” Si ular menjawab: “Benar...karena Allah telah memberikan akal kepadanya. Sehingga, dengan akal tersebut manusia dapat mengetahui dan memahami segala sesuatu. Allah juga telah memberikannya jiwa. Sehingga, Adam dapat menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya.
Allah juga telah memberikan hati kepadanya. Sehingga, dengan hati tersebut ia dapat menumbuhkan perasaan sayang dan cinta. Dan semuanya itu tidak dimiliki oleh para malaikat. Mereka adalah makhluk yang hidup di Arasy dan mengalami kematian. Pada satu waktu, mereka akan menjadi makhluk Tuhan yang tidak dapat dipisahkan dari jenisnya yang lain. Akan tetapi, pada saat yang lain, mereka dapat terpisah begitu saja dari sesama jenisnya. Terkadang, mereka bersatu. Tapi, terkadang terpisah-pisah. Mereka dapat berfikir dengan sendirinya dan menjalani kehidupannya sendiri. Selain itu, pada saat-saat tertentu, mereka dapat menentukan keputusan apa yang akan ia jalani dalam hidup. Seakan-akan, ia adalah tuhan kecil....”
Iblis terlihat masih penasaran: “Allah meniupkan ruh-Nya kepada makhluk tersebut!...” Ular bertanya kepada iblis: “Apa sekarang kamu telah mengerti? Begitulah Adam „Azazil...sekaranglah waktunya untukmu agar dapat memahami semuanya.” Akhirnya, iblis berkata: “Dan sekaranglah waktunya diriku mengikrarkan bahwa diriku juga mampu menciptakan sesuatu yang berasal dari tiupan ruhku!..” Iblis mengucapkan kata-kata tersebut. Seolah-olah, ia berbicara kepada dirinya sendiri. Ia-pun bergegas pergi dan berlalu dari hadapan si ular. Supaya dirinya tidak mendengar suara tawa ular yang terus mengejek dan menghinanya.”
Akhirnya, iblis-pun pergi ke berbagai tempat hanya untuk mendapatkan tanah. Sampai akhirnya ia sangat gembira karena berhasil mendapatkannya. Kemudian, ia membentuk tanah tersebut. Sama, seperti bentuk Adam. Dan akhirnya, selesai sudah. Akan tetapi, ia masih menunggu sampai makhluk itu bergerak dan bangkit. Akan tetapi, yang ia dapatkan hanyalah makhluk berbentuk benda keras yang tidak dapat bergerak. Akhirnya, ia-pun meninggalkan ciptaannya tersebut dengan rasa putus asa dan marah. Merasakan kegetiran karena menganggap dirinya telah gagal.
Tadinya, ia ingin menutupi apa yang telah terjadi. Sayangnya, ular tadi telah mengetahuinya. Maka, ia-pun segera berkata kepada Iblis: “Sekarang kamu baru tahu, menciptakan sesuatu bukanlah hal yang mudah.” Dengan kesal, iblis berkata: “Diam kau!” Tanpa memperdulikan perkataan iblis, ular kembali berkata: “Adam bukanlah hanya sekedar tanah. Akan tetapi, ia telah hidup dan terpisah dengan sifat tanah yang mati. Karena, kini ia telah memiliki ruh Allah. Inilah rahasia di balik semuanya itu. Dimana tidak ada satu-pun yang dapat melakukan hal yang sama dengan-Nya. Termasuk dirimu yang mengira telah mendapatkan dan memiliki sebagian besar ilmu-Nya.”
Setengah bergumam, iblis berkata: “Itulah rahasia kehidupan.” Ular menjawab: “Ya betapa agungnya rahasia di balik penciptaan tanah, debu, api, air dan unsur-unsur lainnya...!” Akhirnya, iblis berkata: “Bagaimana cara mendapatkannya. Ya, agar aku juga dapat mencipta?” Dengan tenang ular menjawab: “Tidak ada jalan menuju ke arah tersebut. Semuanya itu merupakan sifat Allah. Dimana sifat tersebut tidak dapat terpisahkan dari kita. Dan begitupun sebaliknya, kita tidak dapat terpisahkan dari sifat-sifat tersebut. Sifat tersebut merupakan ruh Allah yang tidak dapat diberikan, hilang atau dirampas begitu saja. Karena, hanya Ia-lah yang dapat meniupkannya kepada makhluk yang dikehendaki-Nya.”
Sekalipun ular telah menjelaskan panjang lebar, tetap saja iblis berkeras hati. Ia berkata: “Akan tetapi, bagaimanapun juga aku harus menciptakan sesuatu.” Ular bertanya dengan penuh selidik: “Sesuatu yang hidup?” iblis menjawab dengan cepat: “Benar.” Ular kembali berkata: “Kamu tidak akan mungkin menciptakan sesuatu yang hidup dari sesuatu yang mati...” Dengan marah iblis berkata: “Diam kamu cerewet!...”
Iblis-pun meninggalkan ular sambil berfikir. Ia-pun berjalan di surga tanpa tahu arah dan tujuan...dan tiba-tiba saja....ia telah berada di dekat sebuah pohon yang rindang dan teduh. Akhirnya, ia-pun mendekati pohon tersebut. Dan...samar-samar ia melihat seseorang tengah tertidur dengan pulas di bawahnya. Ya....Adam. Maka, untuk beberapa saat, iblis terdiam sejenak sambil memperhatikan kepala Adam. Akhirnya, timbullah sebuah ide di fikirannya. Sehingga, harapannya kembali muncul.
Benar, bagaimanapun juga, ia tidak akan dapat menciptakan makhluk hidup dari sesuatu yang mati seperti tanah. Akan tetapi, bukankah ia mampu untuk menciptakan makhluk hidup dari sesuatu yang hidup? Ah...seandainya ia dapat mengambil satu potong
saja dari jasad Adam. Niscaya aku dapat menciptakan selebihnya. Akan tetapi, iblis bingung apa yang harus ia ambil? Hidung? Ah tidak...hidung adalah anggota luar yang sangat terlihat. Seandainya Adam bangun tanpa memiliki hidung, pastilah akan menjadi bahan tertawaan ular. Bahkan, ia juga akan ikut ditertawakan karena tertangkap basah mencuri. Bisa jadi, suara tawa ular akan semakin tinggi dan keras...ah tidak!
Baiklah, sepertinya, ia harus mencari anggota yang lain. Tapi, apa? Kaki? Lalu, Adam akan berjalan dengan apa? Atau mungkin tangan? Tapi, ia makan dengan mempergunakan apa? Lisan? Tapi, dengan apa ia akan berbicara? Ah...iblis harus mencuri anggota tubuh Adam bagian dalam yang tidak terlihat dan tidak memiliki fungsi penting.
Iblis-pun mulai meraba tubuh Adam. Sampai akhirnya, ia menemukan tulang rusuk. Nah...yang ini tidak terlihat. Bahkan, jumlahnya sangat banyak. Sehingga, siapapun yang mencuri salah satunya tidak akan diketahui. Maka, iblis-pun mengambil satu tulang rusuk bagian kiri. Ia berfikir, satu tulang rusuk saja sudah cukup untuk menciptakan makhluk hidup. Tulang rusuk merupakan anggota tubuh yang tidak terlihat dan tidak dipergunakan secara langsung. Sehingga, tidak akan ada yang tahu bahwa tulang tersebut telah hilang. Sampai pada diri Adam sendiri. Ia tidak akan menyadarinya...
Akhirnya, iblis mengeluarkan tulang tersebut dengan sangat hati-hati dan cekatan. Kemudian, ia membentuk makhluk lain yang hampir sama dengan Adam. Akan tetapi, ia memberikan unsur-unsur tertentu yang tidak dimiliki Adam. Sehingga, jadilah makhluk tersebut dan dapat berdiri. Tiba-tiba, dari rerimbunan pohon terdengar sebuah suara: “Selamat...selamat!...” Iblis-pun berusaha mencari asal datangnya suara tersebut. Akhirnya, ia mendapatkan ular berada tepat di atas kepalanya dan melihat apa yang ia perbuat. Iblis-pun dengan merasa menang dan bangga berkata kepada ular: “Heh...bagaimana menurutmu?” Sambil melihat makhluk baru tersebut, ular-pun tersenyum mengejek: “Hawa yang sangat cantik!...”
Iblis-pun memandang kepada ular dengan penuh selidik dan tanda tanya: “Hawa?! Mengapa engkau menamakannya seperti itu?” Maka, ularpun menjawab dengan cerdik: “Karena makhluk tersebut terbuat dari sesuatu yang hidup!” Iblis berkata: “Jadi,
engkau telah melihat semua yang terjadi?” Ular segera menjawab: “Tenang, aku akan menyimpan rahasiamu. Jangan takut ataupun khawatir...”
Iblis berkata dengan lembut: “Aku selalu bertanya pada diriku sendiri, mengapa kita tidak menjadi sahabat saja? Aku akan memberikan seluruh kebutuhanmu. Tentunya, yang sesuai dengan kemampuanku. Dan aku akan menjadi pengagum kecerdasanmu. Apakah kamu ingin aku bisikkan rahasia yang lain?.....Aku benar-benar telah memikirkanmu pada saat aku menciptakan makhluk yang kamu namakan dengan Hawa ini. Sehingga, di dalamnya akan terlihat sifatmu!”
Dengan santai, ular berkata: “Selain memikirkanku, sepertinya, kamu juga telah berfikir tentang dirimu, ketika menciptakan makhluk ini...”
Iblis berkata dengan antusias: “Benarkan yang kamu ucapkan tersebut? Apakah kamu dapat melihat bahwa dalam dirinya terdapat ciri-ciri diriku?” Ular menjawab: “Tanpa diragukan lagi! Lihatlah gerakannya, tingkah laku, bahkan pada kilatan matanya. Memang, di dalamnya terdapat unsur-unsur tanah. Akan tetapi, ia juga memiliki unsur-unsur api. Lihat...lihatlah...dalam diri Hawa benar-benar terdapat ciri-cirimu; serampangan, cepat mengambil kesimpulan dan membakar.”
Pada saat itu, terdengar suara yang menggema di seluruh penjuru surga. Hal tersebut, membuat iblis dan ular gemetar ketakutan. Keduanya lari terbirit-birit dengan perasaan takut dan gelisah. Akhirnya, adam terbangun dari tidurnya. Dan ia mendapatkan Hawa telah berada di sampingnya. Pada saat itu, Adam tidak mengerti sama sekali siapa dan mengapa Hawa ada di sana. Dan untuk beberapa saat, Adam hanya bisa termenung dan menatap Hawa dengan takjub. Sampai akhirnya, perasaan menuntun Adam untuk melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Dari sini, Adam mengetahui bahwa ia dapat berkasih sayang dengan Hawa, kapanpun ia menginginannya. Akan tetapi, masalahnya adalah, ia tidak diperbolehkan untuk mendekatinya atau saling bersentuhan antara jasad yang satu dengan yang lainnya.
Dan akhirnya, iblis mengetahui permasalahan tersebut. Ia-pun segera menemui ular dan bertanya kepadanya: “Mengapa Adam tidak diperbolehkan untuk menyentuh Hawa?” Maka, ular segera menjawab dengan cepat: “Atau...mungkin kamu lupa bahwa dalam diri Hawa terdapat unsur api?” Kemudian, iblis sedikit berfikir. Dengan ragu-ragu ia menjawab: “Aku kira, bukan itu permasalahannya. Karena, yang aku lihat tadi, lebih
berbahaya dibanding permasalahan tersebut. Kamu dapat bayangkan, bagaimana seandainya dua makhluk ini bersatu?”
Ular-pun berfikir sejenak...dan secara tidak sengaja, pandangannya tertumpu pada burung yang hinggap di atas pohon. Ularpun berteriak: “Adam dan Hawa akan mengalami hal yang sama dengan apa yang dialami oleh burung itu...akan memiliki keturunan!...” Dengan heran, iblis berkata: “Memiliki keturunan?” Iblis meneruskan perkataannya: “Dan akhirnya akan lahir makhluk ke tiga...”
Iblis-pun akhirnya ikut berteriak: “Ya..benar...kini aku tahu...di sini-lah masalahnya...dan di sinilah penyebab bahayanya. Akan tetapi, mengapa Adam tidak menginginkan makhluk ke tiga ini keluar?” Ular menjawab: “Karena dalam diri makhluk ke tiga itu, akan ada salah satu unsurmu...dan itu semuanya dapat dimengerti dengan jelas. Tanpa membutuhkan kepada keterangan. Tanda kebesaran Allah yang telah Allah tiupkan ruh ke dalam jasadnya harus tetap dalam posisi itu selamanya. Sebuah bentuk yang abadi, dapat berbicara dengan idzin dan kuasa sang maha pencipta. Ia adalah makhluk abadi yang sempurna. Sehingga, tidak memiliki kekurangan. Akan tetapi, kedatanganmu wahai sahabatku iblis, telah menghancurkan segalanya. Dan kau ingin merubah bentuk ciptaan Allah yang satu ini!”
Iblis menjawab perkataan si ular tanpa beban: “Sampai saat ini, aku tidak ambil perduli dengan semuanya itu! Akan tetapi, seandainya mereka benar-benar bersatu dan membuat keturunan. Bagiku itu sebuah karya yang sangat agung. Apakah masih ada di dunia ini karya lain yang lebih agung, dibanding dengan karyaku. Karena aku telah menciptakan duplikat manusia yang akan mengisi dunia ini. Bukankah Allah justru akan merasa bangga dengan hasil penemuanku!...”
Ular-pun berkata: “Janganlah kamu terhanyut dalam mimpi dan khayalanmu. Ini semua tidak akan terjadi sampai kapanpun...” Iblis berkata: “Kenapa?” Ular menjawab: “Karena Adam memiliki sesuatu yang sangat menakjubkan yang dinamakan dengan akal. Dan akal akan selalu mengawasi dan melarang Adam agar tidak tergelincir atau terjatuh dalam hal-hal yang dilarang.”
Iblis-pun semakin penasaran. Ia berkata: “Akal?!...apakah tidak ada cara lain untuk mematikan akal ini barang sejenak?!” Ular menjawab: “Seandainya akal Adam
mati, maka apa yang kau inginkan akan tercapai dengan sukses...” Dengan memohon-mohon, iblis meminta kepada ular: “Tolonglah aku wahai sahabatku ular yang cerdik!...”
Dengan kesal, ular berkata: “Mengapa kamu ingin melibatkan aku untuk mendapatkan murka Allah sang maha pencipta?!” Iblis berkata dengan lemah lembut: “Allah tidak akan murka. Kalau Allah murka, mengapa ia memberikanmu kepintaran? Ia telah memberikanmu kepintaran, agar dirimu dapat memepergunakannya. Ayolah sahabatku...tolonglah diriku....”
Ular berkata: “Perkataanmu benar-benar membiusku. Sebenarnya, bukan sesuatu yang sulit bagiku, untuk memberikan sesuatu yang tidak aku pergunakan. Hanya saja, apakah wajar seandainya aku mendapatkan hadiah yang tidak bermanfaat bagi diriku?” Cepat-cepat iblis menjawab: “Oh tidak seperti itu. Janganlah kamu ragukan kehendak sang pencipta yang telah memberikanmu kecerdasan wahai sahabatku. Ia adalah dzat yang maha bijaksana dalam memberikan segala sesuatu terhadap siapapun.”
Akhirnya, ular terbius juga dengan perkataan iblis. Akhirnya, ia berkata: “Aku percaya kepadamu...oleh karena itu, dengarlah. Ini adalah pohon yang memiliki buah. Jika buahnya matang benar, akan menimbulkan air. Jika air perasannya meragi, akan tercipta sebuah keajaiban. Saat itu, aku pernah melihat burung mematuknya. Seketika itu juga terjadi sebuah keajaiban. Burung itu seperti linglung dan kehilangan keseimbangannya.”
Si iblis-pun bertanya lagi: “Jadi, engkau menunjukkan kepadaku untuk mempergunakan pohon ini...” Pada saat itu, suara tadi kembali terdengar di seluruh penjuru surga. Akhirnya, iblis dan ularpun lari terbirit-birit. Sedangkan Adam dan Hawa keduanya bersujud ke hadapan ilahi Rabbi. Kemudian, Allah membisikkan ke dalam kedua hati mereka untuk tidak mendekati pohon tersebut.
Iblis belum juga putus harapan. Tidak berselang lama, ia-pun kembali kepada ular dan berkata: “Apa yang tengah kamu kerjakan?” Ular-pun berkata: “Sudahlah..tinggalkan aku. Sekarang, aku tidak akan bergabung dengan dirimu lagi dalam melaksanakan poyekmu...” Kemudian, iblis-pun bertanya: “Kenapa? Jadi...apa yang akan kamu perbuat?” Ular menjawab: “Tidak ada.” Iblis kembali berkata: “Apakah nalurimu dapat membenarkan ketika dirimu pergi dan bermalas-malasan seperti ini?” Dengan ringan ular menjawab: “Aku takut terjatuh dalam jurang kesalahan.”
Iblis-pun kembali merayunya: “Kesalahan itu bukan hanya milikmu, tapi juga milikku. Apakah kita tidak berhak untuk mengikuti hak dan keinginan kita sendiri?” Dengan perasaan gelisah, si ular tadi berkata: “Kamu jangan coba-coba membuat aku terlena.”
Daripada diam, iblis malah meneruskan perkataannya: “Kamu makhluk hidup. Bukankah begitu? Dan begitu pula dengan aku. Aku juga makhluk hidup. Apakah kita meragukan hal tersebut? Hidup yang kita jalani sekarang ini memang sesuai dengan kehendak dan keinginan kehidupan itu sendiri. Dan kita tidak dapat melakukan apapun. Kecuali, tunduk kepada alur kehidupan yang membawa kita. Allah tidak memberikan akal kepada kita. Sebagaimana yang diberikan kepada Adam. Akal tersebut, atau orang yang berakal, telah dibatasi oleh ikatan-ikatan dan tali yang telah mengikat dan membatasi kehidupannya dan menyatukan semangatnya. Dan tentu saja, mereka akan berjalan sesuai dengan perintah dan larangan yang disodorkan kepadanya dari sini dan sana! Lakukanlah apa yang kamu inginkan wahai sahabatku...karena kamu terbebas dari berbagai kekangan!”
Ular menjawab bingung: “Sepertimu?” Iblis segera menyahut: “Ya..sepertiku...” Ular-pun berkata: “Baiklah...sebenarnya, permasalahanmu telah selesai. Karena, dalam diri Hawa, sudah terdapat unsur-unsurmu. Sehingga, kita tidak akan mendapatkan unsur yang sangat kita khawatirkan dalam dirinya yaitu, akal.” Dengan mengangguk-ngangguk, iblis menjawab: “Betapa dirimu memiliki kecerdasan yang sangat jarang wahai ular yang mulia! Betul...betul...tidak diragukan lagi...dalam diri hawa terdapat ruhku...maka, ia akan dengan mudah tunduk pada kehidupan, alam dan perasaan. Dan porsinya akan lebih banyak dibanding porsi akalnya. Baiklah...berarti..permasalahan kita selesai. Hawa pasti mengerti aku dan akan mendengarkan seluruh ucapanku...ia pasti akan memakan buah itu.”
Setelah itu, si ular juga kembali menambahkan: “Dan Hawa memiliki kekuatan yang dapat menenangkanmu. Kemahirannya dalam merayu...seperti dirimu. Oleh karena itu, ia akan berhasil untuk membujuk Adam dan terus menggodanya untuk memakan buah dari pohon tersebut. Sehingga, Adam akan melakukan segala sesuatu yang akan diinginkan oleh Hawa. Wajah iblis-pun berseri-seri dan bahagia mendengar kabar tersebut. Ia bertepuk tangan dan lari meninggalkan ular untuk segera mencari Hawa.
Dan setelah itu, terjadilah kisah yang sudah sering kita dengar. Adam menjadi lemah, ia mendengarkan seluruh perkataan Hawa. Dan ia sama-sama memakan buah dari pohon terlarang itu. Mereka sama-sama merasakan manisnya perasan buah yang mereka makan. Akhirnya...mereka berdua terlempar dari surga. Dan menetap di bumi...
Setelah itu, lahirlah bayi pertama mereka! Dan dari hari ke hari keturunan mereka semakin banyak. Berarti, “Jenis ke tiga” telah lahir. Akhirnya, kita akan melihat Qabil yang membunuh Habil. Dan inilah kejahatan pertama....Setelah itu, dikenallah perbuatan buruk di dunia. Gambaran perbuatan baik juga tercampur baur dengan yang buruk. Sebagaimana menyatunya antara perbuatan mulia dengan perbuatan tidak terpuji.
Setelah itu, “jenis ke tiga” yang masih asli ini menikah dengan yang asing. Sehingga, keduanya tidak dapat memisahkan, mana asal keturunan Adam dan mana hasil keturunan Hawa. Tidak ada yang sempurna selama masih terlihat berbagai kekurangan di dalamnya. Sebagaimana cahaya yang tidak dapat terpisahkan dari api. Seperti halnya secuil kebenaran yang akan terlindas oleh tipu daya syaitan. Sehingga, dalam tubuh anak Adam akan tercampur sifat benar, salah, baik, buruk, hina, dan juga terpuji. Kebodohan dan keagungan, keadilan dan kedhaliman, memikirkan dengan matang dan serampangan, kelemahan dan kekerasan.
Negeri Burung!...
Sebuah negeri yang sangat menakjubkan....mereka merentangkan sayapnya yang mungil ke dunia. Mereka juga tersebar di seluruh penjuru dunia ini. Mereka tidak hanya menguasai bumi, tapi juga langit. Semuanya itu mereka kuasai dalam satu waktu. Suara kicau mereka akan terdengar, ketika matahari mulai bersinar. Atau, ketika datang waktu subuh yang mengusir gelapnya malam. Burung-burung itupun akan keluar dari sarangnya. Merekalah yang telah membangunkan manusia dalam satu waktu dengan suaranya yang kecil! Mereka-pun akan pergi untuk bekerja sambil bernyanyi. Tidak ada rasa malas yang menghimpit diri mereka. sehingga, mereka tidak tergantung kepada orang lain....
Pada suatu hari, seekor burung kecil bertanya kepada ayahnya: “Ayah, bukankah kita adalah sebaik-baiknya makhluk yang diciptakan Allah?” Ayahnya-pun
menggelengkan kepala dan berkata: “Ini merupakan kemuliaan yang telah Allah berikan kepada kita. Dan kita tidak boleh untuk melupakannya. Akan tetapi, nun jauh di sana, masih ada makhluk Allah lainnya yang mengaku lebih berhak untuk mendapatkan kehormatan tersebut.”
Dengan penasaran, si burung kecil bertanya: “Siapakan mereka ayah...?” Sang ayah menjawab: “Manusia.” dengan keheranan, si anak bertanya: “Manusia? Mereka yang selalu melempari sarang kita dengan batu? Apakah benar mereka lebih baik dari kita? Apakah mereka lebih berbahagia dibanding kita?” Sang ayah menjawab: “Sepertinya, benar. Secara penciptaan, mereka lebih baik dari kita. Akan tetapi, mereka tidak dapat menandingi kebahagiaan kita.”
Dengan penuh selidik, si anak bertanya lagi: “Mengapa ayah?” Sang ayah menjawab: “Karena, di dalam perutnya terdapat duri yang selalu menusuk dan membuat mereka tersiksa.” Dengan sangat terharu, si anak berkata: “Kasihan sekali! Siapa yang berani meletakkan duri tersebut di dalam perutnya?” Sang ayah menjawab: “Diri mereka sendiri. Duri tersebut dinamakan dengan ketamakan.”
Si anak semakin tidak mengerti. Ia kembali bertanya kepada sang ayah: “Tamak? Apa yang dimaksud dengan tamak itu ayah?” Sang ayah menjawab: “Itu merupakan sesuatu yang belum kamu ketahui wahai anakku. Bahkan, hampir seluruh penduduk negeri burung tidak mengetahui apa maknanya. Akan tetapi, aku mengetahuinya. Semuanya itu terjadi, karena aku telah lama mengamati gerak gerik manusia. Di samping, aku juga telah lebih dari satu kali tertangkap oleh manusia. Ketamakanlah yang telah membuat mereka tidak pernah merasa puas, tenang dan damai. Kita tahu apa itu makna kenyang. Akan tetapi, mereka tidak pernah mengetahuinya. Yang mereka tahu hanyalah rasa lapar. Kita bekerja untuk mendapatkan rizki. Sedangkan mereka ingin mendapatkan rizki, tapi tidak bekerja. Kita tidak mengenal tindakan pemerasan antara satu burung dengan burung yang lainnya. Tidak seperti manusia....
Seluruh burung yang ada di permukaan bumi akan keluar untuk mencari penghidupan. Mereka keluar dengan riang gembira, bernyanyi, bersungguh-sungguh dan mengikatkan tali kekerabatan. Berbeda dengan saudaranya, manusia. Mereka bukannya terbangun di pagi hari untuk bekerja, malah asyik masyuk dengan mimpinya. Mereka terbaring di atas kasur, terlentang, bermalas-malasan dan terus menguap sampai matahari
naik. Sehingga, mereka tidak pernah melihat indahnya warna matahari yang keemasan atau sinar fajar yang memancarkan warna perak. Mereka juga tidak dapat menghirup udara segar...
Mereka sudah merasa puas dengan pancaran cahaya emas yang disimpan di bank-bank. Atau cahaya perak yang menghiasi peralatan kamarnya dan ketamakan yang memenuhi seluruh dadanya.”
Sang ayah berhenti sejenak. Kemudian, melihat kepada putranya yang masih muda belia. Ia melihat anaknya sangat serius mendengarkan tiap-tiap kata yang keluar dari mulutnya. Seolah-olah, ia tengah mendengarkan kisah legenda khayalan....Sepertinya, anaknya tersebut antara tahu, tapi tidak percaya. Sadar, tapi tidak yakin dengan semua perkataan sang ayah. Tentu saja, karena semua itu belum pernah dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Dan ia belum menemukannya sendiri dalam kehidupannya yang masih baru. Ia juga belum mengalaminya sampai sekarang. Karena, ia baru melalui kehidupannya ini yang sangat pendek.
Ketika melihat hal tersebut, akhirnya sang ayah berkata kepada anaknya: “Ya...seharusnya kamu dapat melihat dengan mata kepalamu sendiri. Seandainya kamu menemui seorang manusia, maka beritahukan aku. Aku akan memperlihatkan kepadamu hal-hal yang akan membuatmu yakin.”
Tidak lama berselang, anak burung tadi melihat seorang laki-laki. Ia-pun langsung menjerit, memanggil ayahnya. Maka, pada saat itu sang ayah berkata kepada anaknya: “Aku akan membiarkan diriku terjatuh di tangannya. Dan kau anakku, lihatlah apa yang akan terjadi.” Dengan penuh rasa khawatir sang anak mengulang perkataan ayahnya: “Engkau akan membiarkan dirimu terjatuh di tangannya? Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?”
Sang ayah tersenyum: “Jangan takut, aku sudah tahu sifat manusia. Dan aku tahu bagaimana cara menundukkan sekaligus berlari darinya.
Sang ayah segera meninggalkan anaknya yang masih kecil, untuk memperlihatkan kebenaran ceritanya. Sang ayah-pun berpura-pura jatuh di dekat laki-laki tadi berada. Laki-laki itu-pun segera mengambilnya dengan penuh bahagia. Ia kembali mempererat cengkraman jari-jari tangannya. Ia khawatir harta temuannya tersebut hilang.
Burung yang ada dalam genggamannya itu-pun berkata: “Apa yang akan engkau lakukan kepadaku?” Dengan sikap tamak, laki-laki tadi berkata: “Tentu saja aku akan menyembelih dan memakanmu.” Si burung yang tengah bersandiwara itu-pun berkata: “Bukankah aku tidak akan dapat membuatmu kenyang. Dengarkanlah, aku memiliki sesuatu yang lebih bermanfaat bagimu daripada harus memakanku.”
Dengan penasaran, laki-laki tadi bertanya: “Apa yang akan kau berikan kepadaku?” Burung tadi menjawab: “Aku akan memberitahukanmu tiga hal. Seandainya kamu mendapatkannya, kamu akan mendapatkan untung yang sangat banyak.” Si laki-laki tadi berkata: “Sebutkan, apa itu?” Burung tadi berkata: “Sebelum memberitahukanmu, tentu saja aku memiliki syarat-syarat. Hikmah pertama, aku akan beritahukan kepadamu, ketika aku berada di tanganmu. Hikmah ke dua hanya akan aku beritahukan kepadamu, seandainya kamu mau melepaskanku. Dan hikmah ke tiga, hanya akan aku ajarkan, ketika aku telah berada di atas pohon.”
Akhirnya, tanpa fikir panjang, laki-laki itu menjawab: “Baiklah, aku terima. Katakan, apa yang pertama...” Si burung berkata: “Janganlah kamu meratapi apa yang telah berlalu.” Laki-laki tadi bertanya lagi: “Dan yang ke dua?” Si burung langsung meminta janji laki-laki itu: “Engkau akan melepaskanku atau tidak? Harus sesuai perjanjian...” Akhirnya, laki-laki tersebut melepaskan burung yang ada dalam genggamannya. Burung itu-pun berdiri di atas gundukan tanah, di samping laki-laki tadi, dan berkata: “Hikmah yang ke dua: “Janganlah kamu mempercayai segala sesuatu yang tidak akan mungkin terjadi.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, burung itu-pun terbang ke atas pohon sambil berteriak: “Wahai manusia lalai...seandainya engkau menyembelihku, niscaya kamu dapat mengeluarkan dari tembolokku dua mutiara. Tiap-tiap satu mutiara beratnya sama dengan dua puluh kilo gram mutiara biasa.”
Saking kagetnya, laki-laki tadi menutup mulutnya dan terdiam untuk beberapa saat merasakan kerugian yang tidak terhingga itu. Kemudian, ia melihat ke burung tadi. Tapi, ia telah bertengger di atas pohon dan menyebutkan syarat-syaratnya. Akan tetapi, laki-laki itu berusaha untuk mempertanyakan hikmah selanjutnya dengan suara yang terluka dan sakit hati, ia berkata: “Lalu bagaimana dengan hikmah yang ke tiga?”
Dari atas pohon, burung tadi tersenyum merasakan kemenangan: “Hai manusia tamak! Rasa tamakmu telah membuatmu buta. Sehingga, engkau lupa dengan hikmah ke dua. Lalu, bagaiman mungkin aku dapat mengabarkan hikmah yang ke tiga? Bukankah sudah kukatakan, janganlah kamu meratapi apa yang telah lalu, dan jangan mempercayai segala sesuatu yang tidak mungkin terjadi....sesungguhnya daging, tulang, darah dan buluku tidak mencapai dua puluh kilo. Lalu, bagaimana mungkin di dalam tembolokku ada dua permata yang berat masing-masing dua puluh kilo?!”
Pada saat itu, mimik wajah laki-laki itu sangat lucu....bisa-bisanya seekor burung mempermainkan manusia...Akhirnya, sang ayah berpaling kepada putranya yang masih kecil sambil berkata: “Sekarang...kamu telah melihat dengan mata kepalamu sendiri?!” Si anak yang dari tadi memperhatikan tingkah laku dan gerak-gerik laki-laki itu berkata kepada ayahnya: “Ya...akan tetapi, aku tidak tahu, apakah aku sedang menertawakan atau, menangisinya!...”
Pada Ribuan Tahun Mendatang...
Berbagai peristiwa yang terjadi dalam kisah ini terjadi pada tahun seribu masehi!..Pada saat itu, sangat sulit sekali bagi kita untuk mengilustrasikannya...perang telah selesai, penyakit sudah tersembuhkan, kematianpun sudah tidak ada. Ya, benar, ilmu pengetahuan telah mampu mengalahkan kematian semenjak ratusan tahun yang lalu. Sehingga, tidak ada satu-pun manusia yang mengalami kematian. Akan tetapi, tidak ada manusia yang lahir....
Oleh karena itu, tidak aneh lagi seandainya kita tidak akan menemukan sistem pernikahan untuk memperbanyak keturunan. Karena, ilmu pengetahuan telah mempersiapkan bakteri yang dapat melahirkan anak manusia. Dan hal tersebut telah berlaku semenjak ribuan tahun yang lalu. Sampai manusia merasa cukup dan tidak perlu melahirkan manusia baru. Karena, mereka berfikir, untuk apa menambah jumlah manusia, seandainya tidak ada jumlah kematian.
Maka, kondisi yang akan kita lihat adalah sebuah kondisi kehidupan masyarakat yang akan tumbuh dan hidup abadi. Mereka akan begitu selamanya. Seperti halnya matahari yang tiak berpindah tempat, rembulan, laut dan gunung. Tidak ada satupun yang
hilang ataupun berkurang. Sel-sel mereka terus mengalami pembaharuan. Dan kelenjar yang ada pada diri mereka tidak pernah mengenal tua.
Pada masa tersebut, kalimat “Tua” sudah tidak dapat dipergunakan. Begitupula dengan kalimat “Pemuda”. Pada waktu itu, masyarakat hanya mengetahui bahwa mereka ada dan hidup di dunia ini. Apakah pada saat itu, lautan —seandainya mereka memiliki bahasa— dapat menceritakan kepada kita tentang anak-anak kecil dan orang tua?!
Pada musim panas, tahun seribu setelah masehi, seorang ilmuan dibidang geologi yang pada saat itu tengah mempelajari lapisan bumi, masuk ke kantor para ahli kimia. Kemudian ia berkata kepada ahli kimia: “Sepertinya, saat ini saya berhasil menemukan sesuatu yang sangat penting. Dimana penemuan tersebut dapat membuat seluruh manusia tercengang. Aku telah menemukan peninggalan zaman dahulu di kedalaman perut bumi...lihatlah....” Ilmuan tersebut-pun mengeluarkan tengkorak manusia dari dalam tas kecilnya! Kemudian, ia menyerahkan tengkorak tersebut kepada kawannya yang ahli kimia.
Kemudian, ahli kimia tersebut menerimanya dan sedikit menganalisanya. Setelah itu ia berkata: “Apa ini? Bentuk kepalanya, hampir mirip dengan kepala kita?!...kalau bukan karena tengkorak ini terlalu kecil...atau, mungkin ini semacam...” Kemudian, ia menunjuk pada gigi dan mulutnya. Kemudian, ilmuan di bidang geologi tadi tiba-tiba membenarkan: “Ya...sejarahnya kembali pada tahun enam ratus ribu tahun!...”
Ahli kimia kembali berkata: “Aneh sekali!...bagaimana ia dapat terpisah seperti ini dari daging, darah dan pembuluh nadinya?! Ilmuan geologi tadi berkata: “Di situlah anehnya!...” Ahli kimia tadi kemudian bertanya lagi: “Lalu, dimana sisa tubuhnya?” ilmuan geologi segera menjawab: “Hanya bagian ini yang baru aku temukan...”
Kedua laki-laki tadi terus berdiri dan mengamati tengkorak yang ada di hadapan mereka...ini merupakan sebuah penemuan baru. Sehingga, tidak ada satupun tengkorak di museum itu yang sama dengan bentuk tengkorak tersebut. Berbagai peperangan yang mempergunakan bom atom telah berkobar semenjak ratusan ribu tahun yang lalu. Sehingga, berbagai museum dan perpustakaan yang berisikan nilai-nilai sejarah di masa lalu hancur tak tersisa. Sekarang, yang ada di sekeliling mereka hanyalah ringkasan eksperimen ilmiah. Dan dari sinilah lahir dunia baru mereka...
Terlihat bagaimana raut muka ilmuan kimia yang terlihat bingung. Persis, seperti wajah Qabil yang kebingungan ketika pertama kali melihat kematian yang menimpa Habil...
Sedangkan di sampingnya, ilmuan geologi tadi menggeleng-gelengkan kepalanya dan menyentuh tengkorak dengan jarinya. Kemudian ia berkata: “Tidak salah lagi, ini adalah manusia seperti layaknya kita. Akan tetapi...bagaimana proses kejadiannya sampai menjadi seperti ini...itulah rahasia yang harus kita ketahui?!...”
Ilmuan kimia tadi membenarkan: “Ya, benar. Dalam hal ini harus ada unsur kekuatan gerak pada manusia sampai seperti ini....unsur benda padat!” Sambil berkata seperti itu, ilmuan di bidang kimia itu menyentuh tulang tengkorak tadi dengan tangannya...
Setengah bergumam, ilmuan geologi berkata: “Gerakan...benda padat..?! Tapi saya yakin, pastilah sebuah gerakan memiliki akhir!...” Dengan heran ilmuan kimia bertanya: “Bagaimana?” Ilmuan geologi menjawab: “Apakah sesekali anda tidak pernah bertanya pada diri anda sendiri: Akhirnya....apa setelah hidup? Pada suatu hari aku telah merasakan itu. Aku bertanya pada diriku sendiri. Sepertinya, ilmu geologi yang saya dalami mendorong saya untuk melakukan studi analisa terhadap masa lalu...Dan studi analisa di masa lalu tersebut telah membawa saya untuk melakukan studi analisa di masa yang akan datang....apa dan bagaimana sebenarnya masa depan kita?...”
Tanpa terasa, ilmuan kimia tadi berucap: “Masa depan kita!!” Sang ahli geologi menyambut perkataan tersebut dengan cepat: “Ya, benar. Masa depan jenis manusia?!” Dengan penuh tanda tanya, ilmuan kimia tadi bertanya: “Sebenarnya, ada apa dalam kepalamu? Pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan otakmu....” Sambil mengucapkan kata-kata tersebut, ilmuan kimia tadi terus mengamati wajah kawannya dengan penuh keraguan...
Semuanya itu tentu saja terasa aneh. Karena, kalimat “Masa depan” tidak lazim dipergunakan pada masa tersebut...bagi mereka, tidak ada hari esok...mereka tidak mengetahui apa itu malam, siang, atau tidur...Bahkan, bagi mereka, sinar lampu pusat industri membuat mereka tidak membutuhkan sinar matahari. Makanan kimia membuat mereka tidak perlu tidur...karena mereka akan selalu bergerak...seperti gerakan jantung yang tidak mengenal mati atau diam...
Oleh karena itu, mereka tidak akan dapat membayangkan tentang sesuatu yang bernama “Hari esok” atau “Masa Depan. Adapun ingatan mereka tentang masa lalu, mungkin tidak lebih dari puluhan ribu tahun saja. Dan pada masa-masa tersebut tidak banyak yang berubah. Artinya, antara kondisi masa tersebut dengan masa yang tengah dijalani sekarang tidak jauh berbeda. Oleh karena itu, mereka tidak akan dapat mengetahui secara jauh apa yang terjadi di masa lalu dan di hari esok. Yang mereka tahu hanyalah masa sekarang. Dimana kehidupan mereka seakan menjadi kehidupan abadi. Seakan-akan, kehidupan yang mereka jalani hanya berlangsung selama satu hari. Dan setelah itu tidak ada...
Sedangkan perkataan ilmuan geologi tadi hanya akan menambah bingung. Seakan-akan, ia tengah melihat sesuatu dalam kabut. Akhirnya, ia-pun bergumam, seolah berkata kepada dirinya sendiri: “Selama di sana ada sesuatu yang bersifat “ada”, maka pastilah terdapat sesuatu yang bersifat “Tidak ada.”
Dengan perasaan masih bingung, ilmuan kimia tadi berkata: “Tidak ada?” Sang ahli geologi berkata: “Ya, tidak ada...” Akhirnya, ahli kimia tadi berdiri mematung sambil berfikir ia berkata: “Tidak ada?! Apa yang dimaksud dengan tidak ada? Sepertinya, ini untuk pertama kalinya aku mendengar kalimat yang aneh ini. Apa yang terjadi padamu wahai sahabatku?!”
Ahli geologi tadi kembali berkata: “Apakah kamu tidak pernah merasakan bagaimana sesekali perasaan ini datang?” Dengan cepat ilmuan kimia menjawab: “Perasaan apa?” Ahli geologi menjawab ringan: “Keinginan untuk menjadi “Tidak ada”...” Ahli kimia tadi kembali berkata: “Sulit sekali rasanya bagiku untuk mengetahui apa yang kamu maksud atau memahami apa yang kamu katakan. Aku yakin, sesuatu yang tidak beres telah terjadi kepadamu....ya.. sesuatu yang tidak beres telah terjadi kepadamu!...”
Dengan tergesa-gesa, bahkan setengah berlari ahli kimia itu meninggalkan ruangan tersebut seperti orang yang hendak kabur. Ia menuju ruangan para ilmuan. Kemudian, ia menceritakan apa yang terjadi pada ilmuan geologi dengan kata-kata aneh yang ia ucapkan di hadapannya dan makna yang tidak dapat ditebak. Ia menceritakan kisah tersebut dengan berapi-api.
Akhirnya, ikatan para ilmuan tersebut meminta ilmuan geologi tadi untuk datang menghadap mereka. Ketika ia telah hadir, para ilmuan tersebut mempertanyakan perihal beberapa kalimat yang keluar dari mulutnya. Ia-pun menjawab dengan tenang: “Benar...keberadaan kita ini pastilah memiliki akhir!” Para ilmuan tadi bertanya dengan heran: “Apa yang kamu maksud?!” Ahli geologi menjawab: “Kematian...”
Rasa penasaran makin dirasakan oleh para ilmuan yang berada dalam ruangan tersebut. Mereka serempak bertanya: “Kematian?! Apa yang dimaksud dengan kalimat itu?!” Ahli geologi tadi menjawab: “Aku sendiri tidak tahu....semuanya itu tiba-tiba hadir dalam diriku sekarang ini...mungkin itu sebuah ilham...saya yakin, pasti ada sesuatu di balik kehidupan. Dan aku menyebutnya dengan kematian. Bagaimanapun juga, pada suatu hari, kita akan sampai pada hari itu....percayalah kepadaku wahai para ilmuan...apakah salah seorang di antara kalian tidak pernah merasakan tertidur dengan menutupkan kedua kelopak mata kita barang sebentar. Pada saat itu, kita akan merasakan kenikmatan dan kenyamanan yang sangat aneh!? Dan kenikmatan yang berlangsung sebentar tersebut dapat berubah menjadi kenikmatan yang lama. Dan mungkin lebih lama lagi sampai datangnya waktu “Tidak ada”. Dan dari situlah akhirnya aku menamakannya sebagai kematian...”
Para ilmuan akhirnya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sangat menyesal dan terlihat sangat sedih. Mereka menyadari bahwa salah satu sahabatnya tersebut dikuasai oleh khayalan yang menyimpang. Oleh karena itu, salah satu di antara para ilmuan tersebut memintanya untuk memberikan bukti: “Jangan lupa, kamu adalah seorang ilmuan. Oleh karena itu, kamu tidak boleh berlari di belakang prasangka, khayalan, atau hanya mengikuti alur perasaan saja. Berikan kepada kami bukti ilmiah bahwa apa yang disebut dengan kematian ini mungkin ada?!”
Maka, ilmuan geologi tadi mengeluarkan tengkorak dari dalam tasnya. Kemudian ia berkata dengan suara lantang: “Sahabat-sahabatku, yang terhormat....Sesungguhnya kematian pernah ada dan terjadi di muka bumi ini...dan inilah buktinya!
Akhirnya, para ilmuan tadi berkumpul dan mengamati tengkorak yang disodorkan. Pada awalnya, mereka melihat tengkorak tadi dengan pandangan takjub.
Akan tetapi, tidak lama berselang, mereka-pun saling memandang dengan sorot mata yang penuh keraguan.
Kemudian, salah satu di antara para ilmuan tadi memecah keheningan dan berkata: “Ini bukanlah bukti pendapatmu tadi. Akan tetapi, ini merupakan bukti bahwa makhluk ini pernah ada di bumi pada masa lalu. Suatu kaum yang telah mengenal ilmu pengetahuan. Akan tetapi, tidak seperti ilmu pengetahuan yang kita miliki sekarang. Karena, saat ini, kita telah memproduksi manusia di dalam laboratorium. Dan hal tersebut telah berlaku semenjak ratusan abad yang lalu. Kita telah mengembang-biakkan sperma, sebagaimana kita mengembangkan bakteri-bakteri.
Berbeda dengan manusia pra sejarah, sebagaimana yang kita saksikan, mereka membentuk sebuah keluarga untuk melahirkan anak manusia. Setelah itu, barulah mereka meniupkan nafas kehidupan. Tulang belulang yang kamu perlihatkan kepada kami ini merupakan proyek penciptaan Adam yang belum sempurna. Dan mungkin, semuanya itu terjadi karena disebabkan beberapa unsur tertentu!....”
Pada saat itu, semua ilmuan sepakat dengan pendapat tadi secara aklamasi. Setelah itu, mereka memperingatkan ilmuan geologi tersebut untuk tidak menyebarkan “pendapat salahnya” tersebut. Karena khawatir terhadap masyarakat tingkat awam. Jangan sampai mereka terkena polusi penyimpangan ini. Setelah mengatakan itu, para ilmuan tersebut akhirnya meninggalkan ilmuan geologi tadi dan membiarkannya tenggelam dalam rasa malu dan gagal.
Akan tetapi, di kedalaman hatinya, ia tidak merasakan putus asa. Karena, perasaannya mengatakan bahwa pendapat yang ia miliki benar. Kemudian, ia-pun pergi menuju salah seorang sahabatnya dan mengadukan hal tersebut kepadanya. Seorang sahabat dari golongan manusia yang memiliki kelembutan dan kasih sayang. Dulu, mereka dinamakan dengan “Perempuan”. Tepatnya, semenjak lima ratus ribu tahun yang lalu. Suatu masa, dimana jenis makhluk ini sangat penting untuk menciptakan keturunan. Adapun setelah itu, nilai pentingnya telah hilang....dan dengan hilangnya jenis ini, melemahlah hubungan yang terjalin di antara keduanya sampai pada tingkat seperti ini. Bahkan, hilanglah nilai-nilai yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Dengan berakhirnya tugas organ tubuh mereka.
Jadi, dengan berlalunya waktu, mereka seperti melebur menjadi satu. Tidak ada satupun di antara mereka yang dapat menjaga masa lalunya. Baik dalam menjaga kelembutan sikap ataupun keindahan fisik. Begitupula dengan masyarakat, mereka juga tidak dapat membantu membedakan antara dua jenis kelamin ini. Atau, menceritakan tentang masa lalu mereka. Mereka hanya disebut dengan satu nama: populasi masyarakat planet bumi. Karena bumi, secara keseluruhan, merupakan tempat yang dihuni oleh satu umat dan satu miliu masyarakat....mereka hidup dalam satu sisi yang dinamakan dengan kumpulan eksperimen manusia berakal. Miliu ini telah melahirkan sebuah hukum yang mengatur berbagai lembaga yang ada di seluruh planet bumi secara umum. Tentunya, dengan tujuan untuk menciptakan kedamaian bagi penduduknya.
Akhirnya, ilmuan geologi itu pergi kepada sahabatnya. Kemudian, ia berkata: “Apakah kamu percaya kepadaku?” Sahabatnya menjawab: “Ya...” Sang ilmuan berkata lagi: “Apakah kamu akan membenarkan ucapanku?” Sahabatnya kembali menjawa: “Ya..” Setelah menghela nafas, akhirnya sang ilmuan berkata: “Baiklah, kalau begitu...dengarkanlah....”
Sang ilmuan menceritakan peristiwa tadi. Sekaligus, segala sesuatu yang bermain dalam otaknya. Setelah itu, ia-pun memperlihatkan tengkorak tadi, membeberkan pendapatnya dan memberikan penjelasan secara ringkas, mengapa dirinya berpendapat seperti itu. Ia-pun melihat raut wajah sahabatnya yang terlihat sangat terkesan setiap kali mendengarkan perkataannya.
Sahabatnya pun berkata: “Ini semuanya merupakan hal yang sangat aneh...dan jauh dari gambaranku...karena...kalimat yang kamu ucapkan tadi tidak kembali kepada apa yang kamu gambarkan. Untuk memperjelasnya, kamu harus menerangkan tentang makna “Rusak (Al Fanâ)”, “Tidak ada (Al ‘Adam)”, atau kematian (Al Maut)” secara lebih mendasar. Karena, semuanya itu tidak pernah kita temui di masa sekarang ini. Mereka tidak akan menemukan kematin di sekitar mereka. Mereka tidak akan mengetahui keberadaan binatang di atas bumi. Karena, semuanya itu telah hancur dan hilang semenjak ratusan ribu tahun yang lalu. Dan semuanya itu telah dihancurkan oleh peperangan nuklir dan kimia yang telah menghapus dan meratakan wajah bumi dan menyapunya sampai bersih. Sehingga, tidak ada hewan, tumbuhan, burung ataupun ikan yang tersisa di permukaan bumi.
Oleh karena itu, tidak ada yang tersisa selain perut bumi, kegiatan perindustrian dan interaksi antara manusia yang ada di dalamnya. Dimana manusia mengkonsumsi makanan yang berasal dari bahan gas kimia di rumah-rumahnya. Dan unsur-unsur yang menjadi bahan utamanya adalah bahan-bahan radioaktif. Semuanya itu telah menghancurkan hidangan mereka di masa lalu.
Karena hal tersebut, hilanglah fungsi alat-alat pencernaan; mulut dan giginya. Karena, kepalanya telah dijadikan sebagai alat untuk berfikir dan hidung untuk menghirup makanan pokoknya yang berasal dari udara. Atau, untuk menghirup makanan tambahan yang berasal dari gas. Sehingga, yang tersisa hanyalah dua tangan yang lemah dan dua kaki yang sangat kecil karena jarang dipergunakan....Selain itu, kita juga dapat melihat bahwa di dunia kita sekarang ini tidak ada unsur pemisah yang membedakan antara manusia, laut dan planet...mereka tidak ubahnya seperti makhluk abadi...
Mereka adalah manusia yang tidak perlu memfungsikan kedua tangannya untuk hidup. Bahkan, sekarang ini, mereka tidak bedanya seperti Tuhan. Mereka tidak lahir dan tidak dilahirkan. Mereka tidak mengetahui kematian dan hanya mengetahui keabadian...mereka tidak mengenal kemarin, ataupun hari esok...”
Sang ilmuan geologi tadi sangat sulit untuk menyampaikan kepada temannya apa yang sekarang ini tengah mengganggu fikirannya. Karena, perkara tersebut tentu saja melibatkan batasan-batasan waktu. Sangat sulit sekali untuk berbicara tentang masa lalu dan masa mendatang yang akan dilaluinya kepada seorang tuhan. Karena, kedua sifat ini tidak akan memberikan arti apa-apa bagi manusia yang selalu hidup abadi. Dan sekali lagi, sangat sulit sekali menggambarkan awal dan akhir bagi tuhan-tuhan yang hidup abadi.
Sahabat setia itu menatap sang ilmuan dengan tulus dan berkata: “Aku percaya kepadamu. Akan tetapi, aku tidak dapat memahami semua ucapanmu...” Sang ilmuan menjawab: “Terus terang sahabatku...disitulah masalahanya. Bagaimana aku dapat meminta tolong kepadamu untuk menemukan sinar yang aku sendiri tidak dapat melihatnya....mungkin aku salah...mungkin kesibukanku dalam meneliti lapisan bumi telah memberikan semacam hayalan...
Pendapatku ini juga belum mendapatkan tempat di hati para ilmuan. Bahkan, aku juga belum mendapatkan penghargaan dari mereka. Tidak ada satupun dari mereka
yang berusaha mengungkap kebenaran pendapat ini. selain diriku. Karena, para ilmuan menganggap bahwa tidak ada sesuatu yang dinamakan dengan “Sejarah” di belakang peradaban kita yang abadi. Mereka menganggap bahwa pendapatku itu hanyalah khayalan yang dapat membuat gila....dan sebenarnya, aku juga tidak tahu....apakah aku sudah gila? Atau, aku telah melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain?!”
Dengan lembut, sahabatnya berkata: “Kamu tidak gila...” Sang ilmuan bergumam: “Engkau mempercayaiku...itu semua membuatku senang. Tapi, itu tidak membuatku tenang. Aku ingin...kamu juga berpendapat seperti pendapatku....” Sahabat yang baik hati itu berkata: “Aku akan berusaha....bantulah aku untuk mencapainya!...” Sang ilmuan menjawab: “Ya...aku akan membantumu...ceritakanlah kepadaku kisah hidupmu!...”
Dengan heran, sahabatnya itu menjawab: “Kehidupanku?! Kehidupanku hanya begini...begini...dan selalu begini...kamu tahu semuanya. Tidak ada satu-pun yang berubah...” Sang ilmuan langsung menyambut perkataannya: “Benar...tidak ada satupun yang berubah! Akan tetapi, kamu harus mengingat apa yang terjadi pada awalnya....” Sahabatnya semakin bingung: “Mengingat?...apa yang kamu maksud dengan mengingat?” Sang ilmuan berkata lagi: “Benar, tentu saja kita tidak memiliki ingatan. Selama, kita tidak memiliki masa lalu ataupun sejarah...”
Dengan sangat hati-hati, sahabat sang ilmuan itu berkata: “Mengapa kau membiarkan fikiranmu terkurung dalam permasalahan berbahaya seperti ini wahai sahabatku. Terus terang, aku mengkhawatirkanmu...aku takut...masyarakat akan melemparkan kritikan dan hinaan terhadapmu. Mereka akan membicarakanmu dan menjauhimu. Pasti mereka akan mengatakan ada sesuatu yang aneh telah terjadi kepadamu...”
Mendengar ucapan sahabatnya, sang ilmuan bertanya: “Jadi, kamu juga akan menjauh dariku?” Dengan cepat, sahabatnya menjawab: “Tentu saja tidak!...Aku tidak akan meninggalkanmu...apapun yang akan terjadi....” Sang ilmuan menjawab dengan gembira: “Akupun tidak mau jauh darimu, apapun yang akan terjadi!” Setengah bergumam, sang ilmuan berkata: “Apa namanya perasaan ini?!”
Sang ilmuan geologi-pun termenung sejenak, ia berfikir tentang perasaannya yang sangat aneh...rasanya, kalimat “Cinta” adalah kalimat asing yang sudah tidak
dipergunakan lagi semenjak ratusan ribu tahun yang lalu. Kalimat tersebut hilang seiring dengan hilangnya keinginan manusia dalam ketertarikan lawan jenis; antara laki-laki dan perempuan. Setelah laboratorium mengambil alih masa inkubasi keturunan. Dan dengan hilangnya cinta, maka hilanglah perasaan dan seni....
Dan yang tersisa hanyalah tali cinta kasih antara satu masyarakat bumi dengan yang lainnya. Sebuah pertalian yang dinamakan dengan ikatan sahabat...dan sedikit sekali perasaan yang tumbuh dan mengikat seperti yang dirasakan oleh ilmuan geologi dengan sahabatnya itu! Karena, pada masa tersebut, ikatan hati telah hilang dan digantikan oleh ikatan dalam berfikir...Oleh karena itu, ikatan perasaan yang timbul di antara ilmuan geologi dengan sahabatnya itu merupakan ikatan yang terbilang sangat aneh pada masa tersebut. Sebagaimana anehnya perasaan yang muncul begitu saja pada diri ilmuan geologi. Dan hal tersebut telah membuat para ilmuan arkeologi ikut bingung...
Sang sahabat-pun terlihat gundah memikirkan kondisi sahabatnya, sang ilmuan itu. Akhirnya, ia-pun berkata: “Seandainya kamu dapat menerangkan kepadaku lagi...?! Pada saat kamu menceritakan semuanya, terus terang, aku merasa kesulitan membaca fikiranmu!...” Sang ilmuan-pun mengangkat kepalanya dan menatap sahabatnya. Ia berkata: “Karena fikiranku sangat kacau dan terganggu....sampai-sampai, aku sendiri tidak dapat menerangkan pendapatku tersebut secara singkat dan jelas. Semua yang ada pada diriku hanyalah perasaan lemah, tidak dapat berbuat apa-apa, hancur dan tenggelam.....”
Dengan cepat, sahabatnya bertanya: “Perasaan apa?” sang ilmuan-pun menjawab pelan: “Sebuah perasaan bahwa setelah kehidupanku, pasti akan terjadi sesuatu pada diriku...pastilah kehidupanku ini ada batas akhirnya!...” Dengan terkejut, sahabatnya berkata: “Akhir?” Terlihat jelas dari wajah sang sahabat kebingungan dalam memahami perkataan sang ilmuan. Sama, seperti wajah manusia pada ribuan tahun yang lalu. Tepatnya, ketika mereka menggambarkan sesuatu yang tidak memiliki akhir!
Sang ilmuan kembali berkata: “Ya, benar sahabatku...nun jauh di sana masih terdapat rahasia yang masih terkunci rapat dan belum dapat kita ketahui...nun jauh di sana masih terdapat kebahagiaan yang menunggu di balik pintu yang masih tertutup...nun jauh di sana masih terdapat kenikmatan yang sangat asing dan kedamaian yang luar biasa dalam sebuah ruangan terlarang yang belum pernah disentuh oleh satu telapak kaki-pun..
Sang sahabat bertanya: “Apakah kita juga dapat tinggal di dalamnya?” Sang ilmuan segera menjawab: “Ya, tentu saja...apabila kita dapat mencapainya!” Dengan mengernyitkan dahinya, sang sahabat berkata: “Aku tidak faham...” Sang ilmuan kembali berkata: “Ruangan terlarang untuk kita tinggali...ruangan yang akan memberikan kedamaian luar biasa dalam jiwa kita itu....aku menamakannya dengan “Kematian”....”
Sang sahabat terlihat semakin bingung. Kemudian, ia berkata: “Kematian?!..”. “Ya, kematian...” Sang ilmuan menjawab pertanyaan tersebut dengan suara perlahan. Seolah-olah, ia tengah membayangkan di dalamnya...seakan-akan ia meminta jawaban kepada bayangannya tersebut...seakan-akan kematian itu benar-benar telah membawa sinar ke dalam dirinya...untuk memberikan sekilas bayangan pada apa yang tengah diimpikannya....
Memang, sangat sulit sekali untuk dapat membayangkan kematian bagi orang-orang yang tengah mengalami keabadian...sekalipun tuhan-tuhan dapat berbuat sesuai kehendak mereka...akan tetapi, di sinilah kelemahannya...mereka tidak akan dapat merasakan kematian...sekalipun, mereka telah melarang sesuatu...akan tetapi, sepertinya, di sinilah mereka juga telah dilarang untuk mendapatkan sesuatu yang lain...
Sang sahabat akhirnya berkata dengan lemah lembut. Sehingga, sang ilmuan merasa mendapatkan kepercayaan kembali dan harapan baru: “Inilah kedamaian...kenikmatan...kebahagiaan...inilah yang dinamakan dengan kematian...kamu harus mencapainya...bahkan kita sama-sama harus dapat mencapainya....selama aku masih mempercayainya dan mempercayaimu....”
Dengan perkataan tersebut, berakhirlah pembicaraan di antara keduanya. Dan tentu saja, pembicaraan mereka tidak seperti sebuah pembicaraan yang dilakukan pada manusia zaman dahulu. Karena, manusia pada waktu itu tidak memiliki mulut ataupun bahasa....jadi, yang mereka lakukan adalah proses transformasi fikiran dari satu kepala ke kepala yang lain...sedangkan orang-orangnya cukup duduk saja....
**********
Akhirnya, tersebar juga kabar tentang ilmuan geologi tersebut. Sebagaimana tersebarnya ide pemikiran yang ia miliki. Dan permasalahannya jadi semakin serius.
Tidak sedikit partisipan dan sahabat-sahabat yang merasa percaya dengannya...dan mereka menganggap bahwa ia merupakan nabi pertama yang baru muncul setelah ratusan ribu tahun lamanya tidak ada...karena, hilangnya rasa sakit dan harapan tidak selamanya menghilangkan kebutuhan manusia kepada sebuah ajaran atau utusan..
Sehingga, dengan datangnya berita ini mereka telah mendapatkan harapan baru. Mereka merindukan kedamaian yang tersembunyi. Semuanya itu menjadi mimpi bagi manusia yang memiliki harapan dan percaya...sekalipun bukan mudah mendapatkan para pengikut yang mau mengikuti ajaran yang dianutnya dan mengajak mereka untuk berjalam ke arah yang sama dengannya...
Akan tetapi!...di hadapannya terdapat rintangan, yaitu mukjizat. Dimana orang-orang yang menentang dan memeranginya menuntut semuanya itu darinya. Mereka tidak akan mempercayainya begitu saja tanpa pembuktian. Dan satu-satunya pembuktian adalah: “membuat mati salah seorang manusia yang masih hidup!”
Masa tersebut merupakan masa tersulit yang harus dilaluinya...bagaimana ia dapat melakukan semuanya itu dengan sendirinya....para ilmuan kimia dan biologi telah memilih untuk berdiri berlawanan dan memusuhi dirinya. Bahkan, mereka menganggap dirinya telah berbohong...
Dalam hatinya ia berkata, bahwa dirinya harus mengeluarkan kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya....seandainya, mimpinya itu benar...wahyunya dapat dipertanggung jawabkan dan ilhamnya benar-benar ada...
Dan di sini, juga, untuk pertama kalinya setelah lebih dari jutaan tahun, ia merasakan keberadaan Allah. Sehingga, telah membawa warna baru pada jiwa manusia! Dari jiwanya yang paling dalam, sang nabi menjerit: “Seandainya aku tidak dapat membuat percaya diriku dan para pengikutku, maka aku harus mendapatkan mukjizat. Dimana ku menjadikannya sebagai kekuatan yang tidak ada tandingannya di dunia ini! Karena, mukjizat ini juga pernah didapatkan oleh para nabi sebelumnya. Dan mereka juga sama-sama menginginkan sebuah perubahan pada masanya...
Pada suatu saat, beberapa meteor jatuh ke bumi dan masuk ke dalamnya. Pada saat itu, meteor tersebut telah menimpa sebuah rumah dan melukai bagian kepala manusia yang sedang berteduh di dalamnya. Pada saat itu, nabi dan para pengikut-nyapun segera mendatanggi rumah tersebut untuk mengetahui keadaan orang tadi. Akan tetapi,
pemerintah mengetahui peristiwa itu. Maka, mereka-pun segera merebut orang tersebut dari tangan nabi dan para pengikutnya. Dengan alasan, untuk segera mereka obati kepalanya.
Akan tetapi, para pengikut nabi tidak mau menyerahkannya. Sayangnya, pihak pemerintah tidak mau mengalah. Akhirnya, terjadilah bencana dan kerusuhan....itulah kerusuhan pertama setelah puluhan ribu tahun tidak pernah terjadi lagi....dan akhirnya, pemerintahlah yang memenangkan pertempuran tersebut.
Akhirnya, mereka membawa laki-laki yang kepalanya terluka tadi. Tidak ada satupun yang tahu bagaimana kelanjutannya...setelah itu, mereka menangkap sang nabi. Kemudian, pemerintah menyeretnya ke meja hijau. Pada saat itu, sahabat-sahabatnya dari kalangan para ilmuan memberikan kesaksian, bahwa sang ilmuan geologi memiliki pendapat yang sangat menyimpang. Dan hal tersebut tentu saja berbahaya...
Maka, pengadilan-pun menjatuhkan hukuman kepadanya sama dengan hukuman yang diberikan kepada para penjahat dan pemberontak...yaitu dengan memberikan sengatan arus listrik di kepalanya....ini adalah hukuman yang dapat menghancurkan fungsi otak dan sering dipergunakan di masa lalu...
Akhirnya, para petugas-pun menyeret sang nabi ke laboratorium listrik...kemudian menyengat sel-sel kepalanya dengan beberapa sengatan khusus. Sehingga, akhirnya sel-sel itu melemah. Maka, fikirannya telah di isi oleh fikiran lain yang sangat damai dan menyejukkan...dimana sang nabi tidak akan mengingat siapa dirinya, tidak ada pemberontakan...juga tidak ada keinginan...
Dan begitulah. Akhirnya kepribadian seorang nabi telah hilang. Sekalipun, jasadnya masih ada. Akan tetapi, pemerintah harus ingat bahwa ajarannya tetap masih ada. Karena sahabat dan para pengikutnya telah menyebarkan ide-ide dan ajarannya secara sembunyi sembunyi, tanpa diketahui oleh pihak pemerintahan...mereka sangat yakin, bahwa mereka telah melihat sebuah kematian pada orang yang kepalanya tertimpa meteor tadi...sekalipun pemerintah segera mengamankan orang tersebut, akan tetapi, mukjizat akan terlihat di seluruh penjuru negeri...
**********
Tidak terasa, seribu tahun telah berlalu. Cahaya agama telah memancar seperti cahaya api yang terus memancar. Sekalipun, masih berada di bawah abu. Dan pergerakan ini juga ikut diperkuat oleh beberapa orang yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi. Maka, mereka-pun mulai menerangkan pondasi ajaran agama secara terperinci dan memperkenalkan dzat Allah yang maha agung. Dzat yang telah memberikan kedamaian secara spiritual dan ketentraman yang sangat agung...
Sampai pada suatu hari, dimana para pengikut sang nabi menyadari bahwa sistem pemerintahan yang membawahi mereka-lah yang tidak memperkenankan mereka untuk merealisasikan mimpi ini...
Karena ilmu telah menguasai jasad manusia dengan begitu mengerikan...Dimana ilmu telah membentengi manusia dengan terali besi, agar mereka tetap hidup. Artinya, dengan pertolongan ilmu pengetahuan, pemerintah telah berusaha untuk menjaga manusia agar mendapatkan keabadian. Tapi, tanpa mereka sadari, mereka telah menutupi sisi-sisi kemanusian manusia, seperti: unsur-unsur spiritual dan keindahan moralnya.
Keyakinan ini semakin kuat dirasakan oleh para pengikut sang nabi...sampai pada suatu saat...mereka-pun mengadakan sebuah revolusi besar-besaran. Mereka menyerang laboratorium dan menghancurkan alat-alat yang ada di dalamnya....akhirnya, hukum-pun di ambang kehancuran dan terjadilah berbagai kekacauan. Hal tersebut menyebabkan tidak sampainya zat nutrisi kepada sebagian besar masyarakat. Dari sini, akhirnya timbullah penyakit...
Bahkan, sebagian yang lain sampai kepada tingkatan yang sangat berbahaya. Akan tetapi, para pengikut sang nabi, masih terus melancarkan serangan. Jumlah mereka semakin bertambah. Dan para pendukungnya semakin menjadi-jadi. Sampai pada suatu hari, mereka dapat berkumpul dan tinggal di sebuah wilayah bumi. Mereka berkumpul di sana dan mendirikan keyakinan baru mereka. Mereka-pun mampu menggulingkan pemimpin “para tuhan” yang selalu mengedepankan ilmu dan mencekoki mereka dengan sisi-sisi rasionalitas. Padahal, mereka tidak menyadari bahwa mereka telah merampas nikmatnya kehidupan hati dan perasaan. Mereka benar-benar telah beriman kepada Tuhan alam semesta yang telah menciptakan mereka. sehingga, segala perkara yang dihadapi akan mereka kembalikan kepada Tuhan sang maha pencipta alam...
Akhirnya...setelah ratusan ribu tahun telah berlalu, kematian dapat dibuktikan. Dan dengan datangnya kematian, datanglah sebuah rasa takut untuk kehilangan keturunan. Ketika fungsi laboratorium telah tiada, maka manusia-pun kembali merasakan ketertarikan lawan jenis. Dari sinilah, perbedaan antara dua makhluk ciptaan Tuhan; manusia dan laki-laki kembali dikenal...dan dari sinilah tumbuh cinta. Dengan lahirnya cinta, lahir pula seni dan perasaan...
Dan begitulah, akhirnya bumi kembali diperintah oleh Tuhan di antara tuhan-tuhan yang sebelumnya...dan dari sinilah agama-agama samawi kembali ke dunia dan para penyair juga kembali bersenandung:
Wahai Tuhan pencipta yang telah ada semenjak awal...
Engkaulah satu-satunya dzat yang memiliki keabadian dan kekuasaan....
Adapun kami...
Kami hanya ingin menjadi manusia biasa...
Manusia yang memiliki jiwa yang tenang...
Manusia yang memiliki hati yang selalu membiaskan cahaya kedamaian...
Manusia yang memiliki akal yang berjalan perlahan....
Wahai pencipta alam yang maha pengasih...hanya milikMu-lah keabadian...
Adapun kami...
Kami hanya menginginkan umur yang berkah...
Turun dari langit pada saat fajar menyingsing....
Dan naik ke langit pada saat matahari mulai naik!....
Karya Yang Menakjubkan!...
Benar-benar sebuah karya yang menakjubkan! Akan tetapi, yang jelas bukan karya yang paling menakjubkan. Dewasa ini, banyak sekali kreasi yang membuat kita terkejut. Bahkan, menyerang daya imajinasi kita. Setelah kita hidup dalam sebuah masa, dimana kita dapat melihat sebuah atom yang tadinya dianggap tidak dapat merusak apapun. Tiba-tiba keluar dan menghancurkan sebuah kota yang sangat besar. Maka,
sebuah karya yang tengah kita bicarakan ini akan menjadi bahaya yang sangat mengancam kehidupan manusia di masa yang akan datang.
Karya ini, sebagaimana karya-karya lain merupakan ide pemikiran yang bukan terbilang baru. Welles, dalam sebuah tulisannya mengatakan bahwa ada sebuah mesin waktu yang berbentuk alat elektronik, persis seperti radio. Singkatnya, alat tersebut dapat dimiliki oleh siapapun. Alat yang kita bicarakan ini memiliki sejumlah kunci. Ketika anda membuka kunci pertama, maka anda akan melihat pada kaca radio apa yang akan terjadi pada diri anda setahun yang akan datang. Dan ketika anda memutar kunci ke dua, maka anda akan melihat apa yang akan anda alami setelah lima tahun yang akan datang. Ketika anda memutarkan kunci ke tiga, anda akan melihat masa depan anda setelah sepuluh tahun yang akan datang. Dan setelah itu, radio tersebut tidak akan dapat melihat nasib anda lebih dari itu...
Terkadang, ada orang yang bertanya: “Dimana alat tersebut? Mengapa sampai sekarang tidak kita dapatkan di pasaran?”
Pada dasarnya, yang memiliki hak terhadap pemasaran alat tersebut adalah sebuah perusahaan Amerika. Bahkan, perusahaan tersebut-lah yang mengurus dan membiayai seluruh pembuatannya. Dan tiba-tiba saja, proyek ini dihentikan. Semuanya diawali dari sang insinyur pencetus pertama alat ini. Tepatnya, ketika insinyur ini telah mencoba karya yang telah selesai diciptakannya tersebut. Setelah beberapa hari berlalu, terdengar kabar bahwa dirinya bunuh diri...
Akan tetapi, direktur perusahaan tersebut berkeras hati untuk memasarkan alat tersebut. Ia berfikir, bagaimanapun alat tersebut harus dipasarkan. Sayangnya, baru selang beberapa minggu, ia melakukan tindakan bunuh diri. Dan peristiwa tersebut terus berlangsung di perusahaan itu. Di mulai dari para pekerja, insinyur, pimpinan dan direkturnya. Bahkan, semua yang mencoba untuk menyalakan alat aneh tersebut mengalami hal yang sama.
Akhirnya, polisi Amerika-pun turun tangan untuk melakukan investigasi. Sayangnya, mereka tidak berhasil untuk menganalisa atau menafsirkan apa yang sebenarnya terjadi. Karena orang-orang yang bunuh diri telah dikubur, dan jawabannya terkubur bersama jasadnya....
Sampai akhirnya, pada suatu hari terdapat seorang insinyur yang hendak melakukan tindakan bunuh diri. Akan tetapi, orang-orang berhasil menyelamatkan diri sekaligus rahasia dibalik keinginannya untuk mati! Akhirnya, orang-orang menyerahkan sang insinyur kepada tim investigasi. Tim tersebut-pun bertanya: “Mengapa anda menginginkan sebuah kematian?” Sang insinyur menjawab: “Karena aku tidak kuat harus menjalani kehidupan ini...” Tim investigasi kembali bertanya: “Apa anda tengah mengalami sebuah musibah yang sangat berat, sehingga membuat diri anda merasa frustasi?” Sang insinyur menjawab singkat: “Tidak, sebenarnya belum terjadi...”
Dengan heran, tim investigasi bertanya lagi: “Jadi anda merasa khawatir bahwa hal tersebut akan terjadi pada diri anda suatu hari nanti?” Sang insinyur kembali menjawab: “Sebenarnya semuanya itu belum terjadi. Sampai aku melewati masa sepuluh tahun...” Tim investigasi berusaha bertanya kembali: “Apakah anda merasa yakin dengan semuanya itu?” Dengan panik, sang insinyur menjawab: “Aku telah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri di cermin yang terpasang pada alat tersebut...”
Tim investigasi kembali bertanya: “Apa yang anda lihat?” Sang insinyur menjawab: “Aku melihat apa yang akan terjadi pada diriku setelah berlalunya satu, lima sampai sepuluh tahun. Dan pemandangan yang aku lihat sangat menyedihkan. Aku hanya melihat diriku yang memiliki perut yang buncit, keriput di wajah, uban di rambut, kulit yang kendor! Memang, gajiku mengalami kenaikan. Akan tetapi, istriku baru saja melahirkan seorang anak perempuan. Ia memiliki tangisan yang melengking. Sehingga membuat kepalaku pusing....huh..hidup yang sangat membosankan!...apakah aku harus menjalani hari esok yang bodoh ini!...
Ah...seandainya aku dapat menghayalkan masa depan yang lebih indah dari itu! Ketika aku telah mengenal seluruh lekuk wajahku dengan karakteristiknya, bagian-bagiannya, dan luka goresan yang ada di atasnya, aku akan terbiasa dengan semuanya itu. Seolah-olah, ia adalah wajah seorang teman yang biasa hadir di hadapan kita. Sekalipun, sangat buruk. Wajah itu selalu membayangiku baik dalam pekerjaan maupun di rumah...aku tidak menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang baru ataupun aneh...akan tetapi, mustahil aku membiarkan semuanya terus seperti itu...dan hal tersebut telah mendorong diriku untuk tetap hidup dan merencanakan harapan-harapanku di masa yang akan datang...
Akan tetapi..ketika aku mengharapkan hari esok...apa yang dapat aku raih dari hari esok?! Dan untuk apa aku hidup hanya untuk menunggu apa yang akan berlaku seiring dengan bergantinya hari. Karena, setelah hari itu datang kepadaku, apa artinya penantianku selama ini? Jadi...inilah yang telah aku perbuat...karena aku merasa untuk apa aku menanti datangnya hari tersebut...toh tidak ada manfaatnya...semuanya itu kulakukan....setelah aku kehilangan sesuatu yang mengejutkan dan agung dalam hidupku!...”
Tim investigasi yang mengintrogasinya-pun terdiam dan merenung untuk sesaat...sambil menggelengkan kepalanya ia berkata: “Aku tidak sependapat dengan anda dalam memandang hidup ini dengan rasa putus asa...” Sang insinyur yang hendak bunuh diri ini-pun berkata: “Ini bukanlah bagian dari rasa putus asa dalam menghadapi hidup. Anda tidak dapat memahami apa yang sebenarnya bergelut dalam perasaanku ini...karena anda tidak melihat apa yang aku lihat.
Bagaimanapun juga, aku tidak menamakan hal tersebut sebagai rasa putus asa. Akan tetapi, itu semuanya adalah....apakah aku harus memberitahukannya kepada anda...akan tetapi, bagaimana cara menyampaikannya. Ah...baiklah...bukankah anda pernah pergi ke bioskop. Kemudian, menonton sebuah film flash back? Dalam artian, anda melihat gambaran film tersebut dari akhir. Sebelum anda mengetahui kisah awalnya....
Anggota tim investigasi tersebut menjawab: “Ah..tentu saja, saya pernah menonton film seperti itu....” Sekarang, giliran sang insinyur yang bertanya: “Setelah itu, apa yang akan anda perbuat?” Anggota tim investigasi tersebut langsung menjawab: “Tentu saja aku akan menanti babak kedua. Supaya aku dapat melihat kisah sebelumnya...”
Dengan senang, sang insinyur berkata: “Bagus, dan setelah anda melihat bagian awal. Kemudian, bagian akhir cerita tersebut akan segera dipertontonkan kembali. Padahal, alur ceritanya telah anda tonton sebelumnya...apa yang akan anda lakukan?” Anggota tim investigasi menjawab: “Tentu saja saya akan pergi...” Sang insinyur bertanya lagi: “Sebelum kisah tersebut berakhir?” Anggota tim investigasi tersebut langsung menjawab: “Ya, tentu!” Sang insinyur bertanya lagi: “Mengapa anda harus
pergi?” Anggota tim investigasi tersebut bertanya balik: “Kenapa juga aku harus menunggu sebuah kisah yang telah aku ketahui sebelumnya?”
Dengan wajah tersenyum, sang insinyur berkata: “Dan itu juga yang aku lakukan...tentunya, setelah melihat beberapa peristiwa terakhir kehidupanku dalam cermin alat tersebut. Dari cermin itulah aku mengetahui seluruh peristiwa dan kejadian yang sangat mengejutkan dalam kehidupanku. Maka, mengapa anda meminta saya untuk menunggu?”
Dari sini, akhirnya tim investigasi mengetahui mengapa alat tersebut sangat berbahaya. Karena alat tersebut telah memberitahukan kehidupan anak adam dari alam gaib. Sebagaimana kisah film yang telah menghilangkan unsur-unsur surprise. Sehingga, ikatan cerita tersebut akan terpisah dan tercerai berai. Dan akhirnya, menjadikan seseorang malas untuk menjalani hidup atau melihat akhir kisahnya.
Tukang Todong Bernama...Izrail!...
Bagaimanapun, kehidupan lebih kuat dibanding dengan kematian. Semuanya itu akan dibenarkan oleh orang-orang yang pernah mengalami suatu kejadian khusus dalam kehidupannya. Kematian akan selalu bergelayut dalam setiap langkah kita. Oleh karena itu, kita akan berusaha untuk menjauh. Dan pada saat-saat tertentu, kita akan mencoba menyelamatkan diri, meloncat dari jeratan talinya. Syukurlah tangan kehidupan pasti akan mengarahkan dan menolong kita.
Kehidupan dan kematian telah bermain semenjak zaman dahulu. Keduanya selalu bermain bersama dalam satu kesempatan. Dan tidak ada satupun yang dapat merubahnya. Sebuah permainan yang disebut oleh anak kecil sebagai “Petak umpet”, dimana kehidupan dan kematian secara bergantian akan bersembunyi dan mencari satu sama lain di setiap tempat. Ketika yang satu bersembunyi, yang lainnya akan berkata: “Aku telah melihatmu dan mengetahui tempatmu!”
Nyawa kita, sebagai anak cucu Adam yang sangat patut dikasihani akan tergantung kepada segala sesuatu. Terkadang, nyawa tersebut tergantung pada kaki lalat, sengatan nyamuk, tangan pengemudi mobil, kereta api ataupun kapal terbang...Bahkan, terkadang berada di usapan jari-jari tangan tukang cukur yang menanganimu dalam
urusan memperindah dan mempercantik diri. Sedangkan anda sendiri merupakan manusia yang tidak pernah berfikir tentang keburukan dan bahaya yang tengah mengancam...
Pada awal musim panas, saya pergi ke tukang cukur untuk membersihkan jenggot. Dan pada dasarnya, saya adalah orang yang selalu menjalani hidup ini dengan kebahagiaan. Sehingga, dari jiwa saya yang paling dalam, saya selalu bernyanyi. Mendengarkan nyanyian para petani yang tengah menggiring barisan unta yang membawa semangka di jalan-jalan kota Kairo.
Sesampainya di salon, saya-pun segera duduk dan menyerahkan kepala kepada tukang cukur. Saya memejamkan kedua mata untuk menikmati mimpi yang indah sambil menghadapkan wajah tampan ini ke kipas angin listrik. Si tukang cukur-pun mulai meletakkan sabun, tepat di dagu saya. Saya-pun mulai menikmati semuanya itu. Si tukang cukur pergi sebentar untuk mengasah pisaunya sampai terlihat mengkilap. Ia-pun datang kembali dan mengambil kepala saya dengan kedua tangannya.
Setelah itu, ia berbisik di telinga saya dengan nada bicara yang sangat aneh: “Maafkan saya!...saya melihat sesuatu pada diri anda...dan saya yakin, firasat saya pasti tidak akan salah....saya hanya ingin sedikit bertanya kepada anda.” Setelah berbicara seperti itu, ia-pun mengangkat kembali pisau cukurnya tepat di pelipis saya sambil menunggu...saya-pun segera berkata: “Silahkan!...”
Ia-pun kembali memegang kepala saya dan meneruskan mencukur sambil berkata: “Apakah anda mengenal seseorang di rumah sakit jiwa?” Saya-pun kaget bukan kepalang. Akan tetapi, saya berhasil menguasai diri dan berkata dengan lembut: “Seandainya firasat anda yang tidak salah dan menyangka bahwa saya baru saja keluar dari rumah sakit jiwa, maka terima kasih!...” Si tukang cukur-pun dengan segera menjawab: “Maaf...maaf...saya tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya ingin mengatakan, saya melihat kebaikan pada diri anda. Sepertinya, anda salah seorang yang sangat berpengaruh dan mengenal salah seorang dokter di rumah sakit tersebut...”
Saya-pun mulai bertanya: “Memangnya ada apa...?” Si tukang cukur mulai berkata: “Saya memiliki saudara kandung yang gila. Dan saya ingin mengeluarkannya dari rumah sakit tersebut...” Secara spontan saya berkata: “Gila? Apakah sudah sembuh?” Si tukang cukur berkata lagi: “Sebenarnya, penyakit gilanya tidak begitu
berbahaya....akan tetapi, sebagaimana anda tahu, rumah sakit tidak menerima pendapat tersebut...mereka selalu ingin memenjarakan manusia dengan cara yang dhalim.”
Si tukang cukur mulai bercerita: “Masalahnya, terkadang ia suka menghayalkan atau menggambarkan sesuatu yang sebenarnya tidak berpengaruh apa-apa...karena, sebenarnya, hal tersebut tidak membuat saudara saya itu mengacau atau membahayakan orang lain. Ia juga tidak menangis ataupun berteriak. Ia tidak memukul atau berlaku kasar. Ia juga tidak pernah berbuat rusuh dan hal-hal lain seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang gila yang berada di rumah sakit jiwa....”
Saya, yang mendengarkan kisah tersebut jadi tertarik dan berkata: “Aneh! Lalu, apa yang ia kerjakan sampai ia ditangkap?” Si tukang cukur menjawab: “Tidak ada...Sebenarnya, masalahnya sederhana saudaraku ini adalah tukang cukur. Sama seperti saya. Pada suatu pagi dia bekerja...pada saat itu musim panas. Udara panas pada waktu itu, membuat orang-orang tergoda untuk minum...sebagaimana saya lihat anda juga begitu...” ia terdiam sejenak...
Si tukang cukur kembali meneruskan: “Pada saat itu, ia tengah memegang kepala seorang langganan, anda jangan bingung. Ketika itu, ia membayangkan kepala pelanggan tadi sebagai semangka...dan bertepatan dengan itu, di tangannya ia sedang memegang pisau cukur. Ia-pun ingin mengupasnya.” Seketika itu, akupun terperanjat dan berkata setengah menjerit: “Mengupas apa?” Si tukang cukur menjawab: “Mengupas semangka...maksud saya...kepala langganannya!...”
Seketika itu juga keringat dan darah saya-pun seperti membeku. Karena pada saat itu, kepala saya berada dalam genggaman tangannya. Sedangkan pisau cukur yang tajam dan berkilau tengah berjalan di kerongkongan....saya-pun menahan nafas, karena cemas bercampur takut. Akan tetapi, saya masih tetap bertahan dan tidak mengatakan selamat tinggal kepadanya. Saya mencoba untuk berlaku lemah lembut agar dia senang. Karena, hal tersebut akan sedikit menenangkan saya. Akhirnya, saya-pun berkata: “Oh iya, tentu saja, ini akan membuat saudara anda tersebut tercoreng dalam keluarga...”
Dengan suara lembut, si tukang cukur berkata: “Sebenarnya, sifat ini dimiliki oleh seluruh keluarga. Saya sendiri...terkadang...sering tergambar hal-hal yang sangat aneh...khususnya pada musim semangka...pembicaraan tentang saudaraku itu, harap anda rahasiakan baik-baik...!”
Mata si tukang cukur-pun berkilat. Tidak ada bedanya dengan kilatan pisau cukur yang berada di atas kerongkongan saya. Saya kira, saat itulah hari kiamat..saya-pun mengucapkan dua kalimat syahadat dan merasa sedih atas nasib diri....
Akhirnya, saya hanya dapat menutupkan kedua mata dengan pasrah. Kali ini, bukan karena mimpi indah. Akan tetapi, karena akan datangnya kematian dan keluarnya ruh dari dalam badan. Dan saya tidak dapat membuka mata. Sampai akhirnya...terdengar suara yang sejuk seperti splash Cologne yang membasahi wajah ini....dan terdengar kembali suara si tukang cukur yang berkata kepada saya: “Selamat, semoga anda senang....”
Saya-pun merasa kaget bukan kepalang. Akhirnya, saya bangkit dengan cepat seperti manusia yang baru dilahirkan kembali. Setelah itu, saya segera membayar kepadanya. Dengan semangat, si tukang cukur mengingatkan saya untuk mengingat saudara kandungnya dan memudahkannya agar dapat keluar dari rumah sakit jiwa. Akan tetapi, saya sudah tidak dapat mendengar atau menyadari apa yang dia ucapkan selanjutnya...
Sampai akhirnya saya dapat menjejakkan kaki di jalan raya dan menarik nafas panjang. Setelah peristiwa itu, saya berjanji untuk mencukur jenggot saya dengan tangan sendiri. Atau, setidaknya tidak akan masuk ke tukang cukur ini. Terlebih, pada musim semangka.....
Mukjizat Dan Karamat!...
Seorang pendeta terbangun pagi-pagi, sebagaimana biasanya. Tidak ada satu orang-pun yang mendahuluinya. Kecuali, burung-burung yang bangun dari sarangnya. Sang pendeta-pun segera bangkit dan melaksanakan shalat, ibadah dan pekerjaannya di gereja yang terletak di wilayah Timur. Di gereja tersebut, pendeta itu merupakan ruh dan cahaya gereja tersebut. Ia memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam pandangan para pendeta lainnya. Oleh karena itu, tidak heran seandainya ia juga sangat dihormati di hadapan jamaahnya.
Di depan pintu gereja tersebut terdapat sebuah pohon kurma yang masih kecil. Pendeta itulah yang telah menanamnya dengan kedua tangannya. Biasanya, ia
menyiramnya sebelum matahari terbit. Tepatnya, ketika matahari terlihat ujungnya di ufuk sana, berwarna merah seperti kurma yang masih muda. Kemudian, sinarnya akan menyinari ranting pohon kurma yang masih basah. Maka, terjatuhlah tetesan-tetesan air tersebut seperti perak...dan terjatuh di atas tali-tali seperti emas....
Pada pagi itu, sang pendeta lupa untuk menyiram pohon kurma miliknya...sayangnya, ia tidak dapat melakukan ritualitas tersebut karena waktu ibadah telah tiba. Di hadapannya terlihat para jama‟ah dalam kondisi sedih dan gelisah.
Salah seorang di antara mereka berkata dengan nada memohon: “Bapak!...Tolonglah kami!...Karena, tidak akan ada yang mampu menolong kami kecuali anda!...Istriku dalam keadaan sekarat...dan ia sangat mengharap berkat darimu...sebelum ia melepaskan nafas terakhir....” Pendeta itu-pun bertanya: “Dimana dia?” Laki-laki tadi menjawab: “Di kampung sebelah....dan kendaraan telah saya sediakan!...” Laki-laki tadi berkata seperti itu sambil menunjuk kepada dua keledai yang terikat dalam keadaan menunggu.
Pada saat itu, sang pendeta-pun berkata: “Aku sudah siap wahai anak-anakku! Sebentar...aku membereskan dulu urusanku, mengabarkan kepergianku kepada saudara-saudaraku dan kembali kepada kalian untuk langsung pergi...” Mereka-pun berkata dengan suara serempak: “Kita tidak punya waktu sama sekali bapak!...Perempuan itu sangat memerlukan kedatanganmu...mungkin saja kita terlambat datang...marilah, pergi bersama kami sekarang juga...itupun, seandainya anda ingin berbuat baik kepada kami...dan menolong perempuan itu dengan penuh kasih sayang....tempatnya dekat...anda akan pergi sekarang dan pulang sebelum matahari naik!”
Akhirnya, dengan suara antusias, berwibawa dan sopan, pendeta itu-pun berkata: “Baiklah, kalau begitu...mari...”
Sang pendeta-pun melangkah keluar dari gereja. Sedangkan gerombolan orang-orang tadi berjalan di belakangnya. Sampai mereka dekat dengan dua keledai tadi. Akhirnya, mereka mempersilahkan sang pendeta untuk naik ke atas keledai yang satu...sedangkan keledai yang satunya lagi dikendarai oleh suami perempuan yang tengah sekarat tadi...mereka-pun akhirnya meninggalkan wilayah tersebut menuju luar kota.
Mereka-pun melalui perjalanan selama berjam-jam...sang pendeta-pun bertanya tentang tempat yang akan mereka tuju...mereka-pun memerintahkan keledai untuk
berhenti dengan menarik talinya sambil berkata: “Akhirnya kita sampai juga....” Ketika mereka sampai di kampung tersebut, suasana telah menjelang tengah hari. Bahkan sudah memasukinya. Maka, mereka disambut oleh gonggongan anjing dan masyarakatnya dengan penuh suka cita....kemudian, semuanya menuju ke sebuah rumah yang tidak jauh dari situ...mereka membawa sang pendeta ke sebuah ruangan...
Maka, ia-pun melihat seorang perempuan yang tengah berbaring di atas kasur....pandangannya tertuju ke langit-langit rumah...sang pendeta memanggilnya. Sayangnya, perempuan itu tetap tidak menjawab....sepertinya ajal telah sangat dekat sekali dengannya!...Maka, sang pendeta-pun segera memberikan berkat...belum selesai melakukan semuanya itu...perempuan tadi menghembuskan nafas sangat panjang dan dalam....
Sang pendeta menyangka bahwa perempuan itu telah meregang nyawa...akan tetapi...bulu matanya berkedip dan pandangan matanya kembali bersinar...ia-pun berpaling dan berkata dengan perlahan: “Aku dimana?” Dengan sangat terkejut, pendeta tadi berkata: “Kamu berada di rumahmu nak...” Perempuan itu kembali berkata: “Aku ingin minum!” Maka, keluarga yang ada di sekelilingnya-pun berkata: “Mana botol...mana kendi!”
Orang-orang-pun segera mencari tempat air dan membawanya kepada perempuan tersebut...Ia-pun meminum air tersebut sangat lama dan berserdawa. Kemudian, ia berkata: “Apakah ada makanan? Aku lapar!....” Maka, orang-orang yang berada di dalam rumah tersebut segera mencari makanan dan memberikannya kepada perempuan itu....dan ia-pun melahap seluruh makanan itu dengan nikmat...orang-orang yang ada di sekelilingnya-pun merasa terkejut sekaligus takjub....setelah itu, si perempuan tadi bangkit dari tempat tidur dan berjalan mengelilingi rumah dengan sehat bugar seperti sedia kala!
Ketika itu, orang-orang-pun memburu sang pendeta dan jatuh bersimpuh di kedua tangan dan kakinya. Mereka tidak henti-henti menciuminya...dan menjerit-jerit: “Wahai manusia pembawa berkah...engkau telah mengisi rumah ini dengan keberkahan. Bahkan, dengan keberkahanmu, engkau telah menghidupkan kembali orang yang telah mati!...Apa yang dapat kami berikan kepadamu?...sebagai tanda rasa syukur kami....perkenankanlah kami untuk berbuat kebaikan!”
Sang pendeta yang masih bingung dengan peristiwa tersebut berkata: “Aku tidak melakukan apapun juga. Sehingga berhak untuk mendapatkan pahala dan rasa terima kasih. Semuanya itu adalah atas kekuasaan Allah....” Pemilik rumah berkata: “Namakanlah terserah anda!...Bagaimana-pun juga, ini adalah mukjizat!...dan Allah ingin memberikannya melalui kedua tanganmu, wahai manusia pembawa keberkahan!...dan semuanya itu telah anda buktikan di rumah sederhana ini...semuanya itu benar-benar sebuah kehormatan, kesempatan dan juga nikmat...dan kami harus melakukan kewajiban sebagaimana layaknya ada orang yang bertamu...semoga anda mau memahami kondisi kami!...”
Maka, pemilik rumah-pun memerintahkan salah seorang di antara mereka untuk menyediakan sebuah kamar khusus untuk tamu...dan setiap kali sang pendeta hendak undur diri...si pemilik rumah bersumpah dengan berbagai sumpah yang dimilikinya, supaya tamu agung mereka tidak meninggalkan rumah sebelum tiga hari...setidaknya, itu harus dilakukan oleh seseorang yang telah menyelamatkan nyawa istrinya....mereka terus menjaga sang pendeta dan memberikan penghormatan yang teramat sangat kepadanya.
Sampai akhirnya...habis sudah waktu untuk bertamu...maka pemilik rumah segera menyiapkan kendaraan...dan memberikan berbagai macam hadiah...seperti fathir3, kacang miju-miju, ayam dan lain sebagainya...ia juga tidak lupa untuk memberikan uang langsung ke tangan pendeta tadi sebanyak lima pound...untuk diberikan ke kas gereja...
3 Fathir adalah semacam roti yang dibakar dengan mempergunakan minyak samin dan dicampur dengan daging juga rempah-rempah lainnya. Biasanya, orang Arab akan menjadikannya seperti lauk dan bisa dimakan seperti roti dengan menyertakan ayam.
Baru saja ia meninggalkan pintu rumah dan hendak naik ke atas keledai..tiba-tiba datang seorang laki-laki dan langsung menyentuh kedua kaki sang pendeta...ia berkata dengan sangat memohon: “Bapak!...Peristiwa yang mendatangkan mukjizat telah sampai ke kampung-kampung yang bertetanggaan....dan saya memiliki seorang paman. Dia sudah seperti ayah kandung saya sendiri. Akan tetapi, kini ia tengah dalam pintu kematian...dan dia sangat mengharapkan berkahmu...maka, jangan biarkan ia meninggalkan ruhnya sebelum mencapai segala sesuatu yang dicita-citakannya!...”
Akan tetapi, sang pendeta tadi berkata dengan was-was: “Akan tetapi, anakku...aku sudah siap-siap untuk kembali!...” Laki-laki tadi menjawab: “Ini semua tidak akan memakan waktu banyak...dan saya tidak akan membiarkan anda pergi...sampai anda bersedia pergi bersama saya menuju paman saya...” Laki-laki itupun memegang tali kendali keledai dan berjalan bersamanya. Maka, pada saat itu sang pendeta berkata: “Baiklah anakku, dimanakah pamanmu itu berada?...”
Laki-laki itu menjawab seasalnya: “Mungkin kita akan sampai hanya dalam beberapa detik...” Sang pendeta tidak melihat sedikitpun rasa hormat dalam wajah pemuda itu...ia-pun terus menelusuri jalan, sampai akhirnya mereka sampai di kampung ke dua. Kemudian, sang pendeta melihat sebuah rumah. Persis, seperti kondisi rumah yang pertama...sang paman tengah terbaring lemah di atas ranjang...ia berada di ambang pintu kematian.
Dan keluarganya berada di sekeliling jasad yang tergolek lemah tersebut. Mereka dalam kondisi antara putus asa dan harap-harap cemas...ketika sang pendeta mendekat dari orang sakit tersebut dan membacakan doa-doa untuknya, datanglah mukjizat itu...orang yang tengah dalam pintu kematian itu tiba-tiba terbangun...meminta makanan dan minuman...tentu saja orang-orang yang hadir di sana sangat terkejut bercampur takjub melihat peristiwa tersebut. Mereka-pun bersumpah untuk memberikan penghormatan dan jamuan untuk orang mulia tersebut sebagai seorang tamu kehormatan...selama tiga hari tiga malam!...
Akhirnya, masa penjamuan-pun selesai. Masyarakat di kampung tersebut telah memberikan penghormatan, perlindungan dan penjamuan....mereka mengantar sang tamu ke pintu gerbang kampung dengan berbagai hadiah dan buah tangan. Ketika sang pendeta hendak pergi, datanglah seorang pemuda dari kampung ke tiga. Ia meminta sang pendeta untuk datang ke kampungnya untuk memberikan berkat. Sekalipun, hanya satu jam. Pada saat itu, kemasyhuran sang pendeta telah terdengar di seluruh desa. Dan sang pendeta-pun tidak dapat menolak permintaan ikhlas orang yang datang kepadanya....hal tersebut telah membuatnya terus memacu keledai yang ditumpanginya.
Sampai akhirnya ia melihat seorang anak laki-laki dalam keadaan lumpuh. Ketika sang pendeta menyentuhnya, tiba-tiba anak itu terbangun dan berlari dengan kedua kakinya...di antara tepuk tangan keluarga...dan sambutan gembira anak-anak kecil
dan orang dewasa...akhirnya, semua masyarakat yang hadir di sana bersumpah untuk memberikan jamuan kepada pemilik mukjizat ini..., mereka-pun menjamu sang pendeta dengan sebaik-baiknya...selama tiga malam...tidak ada satu-pun yang dapat menyamai pesta penjamuan itu...
Sampai akhirnya, berakhir juga masa penjamuan tersebut. Mereka melepas kepergian sang pendeta dengan berbagai hadiah. Sehingga, sang pendeta memiliki hadiah baru. Di samping, hadiah-hadiah sebelumnya. Sampai-sampai keledai yang ditumpanginya hendak roboh. Masyarakat kampung tersebut juga telah memberikan harta kepada sang pendeta lebih dari harta yang diberikan dua kampung sebelumnya. Bahkan, sampai terkumpul dua puluh pound.
Sang pendeta meletakkan uang tersebut di saku, dibalik dadanya. Setelah itu, ia menaiki keledainya...ia juga meminta mereka untuk mengawal dirinya sampai negerinya...masyarakat kampung tersebut-pun mengabulkan permintaan sang pendeta dan mereka berjalan di belakang binatang tunggangannya. Mereka berkata: “Kami akan menjaga anda dengan hati kami...kami akan mengorbankan seluruh jiwa ini demi anda!...Kami akan mengantar anda sampai tujuan dengan ketulusan jiwa dan hati kami...bagi kami, berat tubuh anda sama dengan berat emas!...”
Tanpa memperdulikan perkataan mereka, sang pendeta berucap: “Aku tahu...aku pasti akan merepotkan kalian...akan tetapi, jalan yang akan aku lalui tidak aman. Belakangan ini, komplotan penjahat semakin menyebar dimana-mana di berbagai wilayah, sebagaimana kalian ketahui!” Mereka-pun menjawab: “Benar pendeta...malah, terkadang mereka akan beraksi di siang bolong!...”
Sang pendeta-pun berkata kembali: “Ya...bahkan para penguasa tidak dapat memberantas kejahatan yang telah tersebar di sana sini. Bahkan, saya mendengar bahwa aksi penculikan dan perampokan sering terjadi di jalanan. Tentunya, dengan memberhentikan angkutan-angkutan umum di wilayah-wilayah pertanian...mereka akan naik ke kendaraan dan meluaskan pandangannya...ketika mata mereka tertumbuk pada kekayaan dan harta..mereka akan merampas dan membawa pergi...
Pernah pada suatu ketika, di dalam salah satu kendaraan tersebut terdapat dua orang polisi..bahkan saya tahu bahwa kedua polisi tadi benar-benar ada dalam kendaraan tersebut...ketika para perampok tadi memilih-milih orang yang ada di dalam
kendaraan...para penumpang-pun serentak meminta pertolongan kepada dua orang polisi tersebut...saking takutnya terhadap tindakan keji para perampok tadi, kedua polisi tersebut berkata kepada para polisi: “Bawalah para penumpang itu semuanya dan segeralah pergi dari hadapan kami!...”
Orang-orang yang ada di sekeliling pendeta-pun tertawa terbahak-bahak. Mereka berkata kepada sang pendeta: “Tenanglah bapak!...selama anda bersama kami...anda tidak akan pernah turun dari kendaraan anda. Kecuali, ketika anda telah sampai di negeri anda!...” pendeta-pun menjawab dengan senang: “Aku tahu bagaimana keberanian kalian!...Aku telah merasa puas dengan penghormatan, kemurahan hati dan kedermawanan kalian!...”
Orang-orang yang mengantarkannya-pun berkata: “Janganlah anda berkata seperti itu...engkaulah harta berharga bagi kami!...” Mereka-pun kembali berjalan di belakang sang pendeta sambil berbicang-bincang mengenai kebajikan dan mukjizat yang dimiliki oleh sang pendeta...
Sang pendeta-pun mendengar pembicaraan tersebut dan terus memperhatikan apa yang tengah terjadi...akhirnya ia berteriak: “Benar...ini peristiwa yang sangat aneh dan menakjubkan....berbagai peristiwa yang aku temui dalam hari-hari belakangan ini!...Apakah kalian melihat bahwa semuanya keajaiban yang aku temukan itu hanya karena keutamaanku saja?”
Dengan terheran-heran orang-orang yang berada di belakangnya-pun berkata: “Apakah anda sendiri meragukan hal tersebut?” Sang pendeta menjawab dengan perlahan: “Aku bukanlah seorang nabi...sampai aku dapat melakukan berbagai hal tersebut selama tujuh hari berturut-turut...kalianlah yang telah menjadikanku mampu melakukan semuanya itu.” Orang-orang yang berada di tempat tersebut-pun berkata dengan serempak: “Kami?! Apa yang anda maksud?”
Sang pendeta menjawab dengan tenang: “Ya...benar...kalianlah sumber dari semuanya itu!...” Orang-orang yang berada di belakang sang pendeta akhirnya saling berpandang-pandangan dan berkata dengan suara sangat pelan: “Siapakah yang mengatakan semua itu kepada anda?!” Sang pendeta-pun menjawab dengan penuh bijaksana: “Kepercayaan kalian...ya..kepercayaan kalianlah yang telah menjadikan semuanya itu terjadi...kalian tidak mengetahui bahwa dalam jiwa seseorang yang
memiliki rasa percaya dan iman yang tinggi terdapat sebuah kekuatan. Jadi, keimanan adalah kekuatan wahai anak-anakku...keimanan adalah kekuatan!...mukjizat dan berbagai keajaiban itu benar-benar telah terpatri dalam hati kalian...seperti air yang jatuh ke atas batu...tidak akan ada yang dapat menghancurkannya kecuali rasa iman!...”
Sang pendeta terus mengucapkan kata-katanya dengan arif...dan orang-orang yang berada di belakangnya terus menganggukkan kepalanya...ia terus memberikan nasehat dan perkataan yang sangat menyentuh...tanpa memperhatikan orang-orang yang ada di belakangnya, padahal, mereka pergi secara diam-diam...satu demi satu...
Setelah memasuki perbatasan kotanya dan tersadar...ia-pun berbalik ke arah belakang. Dengan maksud, ingin berterima kasih kepada orang-orang yang telah mengantar dan mengawalnya. Akan tetapi, lidahnya terasa kelu dan tidak dapat mengucapkan satu ucapan kata-pun...tidak ada satu orang-pun yang ada di belakangnya. Kecuali, keledai yang membawa barang-barang bawaannya!”
Belum hilang rasa terkejutnya, di samping kanan kirinya telah berdiri saudara-saudaranya sesama pengurus gereja...mereka datang berdesak-desakan ke arahnya...meraih dan mencium tangannya...mereka menumpahkan kebahagiaan dengan menciumi kedua pipinya...Kemudian, salah seorang di antara mereka memeluknya dan berkata: “Akhirnya, anda kembali kepada kami dengan selamat! Mereka telah menepati janji mereka...mereka telah mengambil semua harta dan mengembalikan bapak kami! Semua harta gereja telah kami serahkan demi engkau wahai bapak!”
Akhirnya, sang pendeta terpaku saat mendengar kalimat “harta”. Setengah berteriak, ia bertanya keheranan: “Harta apa?” Para gerejawan itu berkata: “Harta yang kami bayarkan untuk para perampok!” Sang pendeta bertanya lagi dengan bingung: “Perampok apa?!” Para gerejawan kembali menjawab: “Perampok yang telah menculik anda! Pada awalnya, mereka tidak mau mengembalikan anda. Kecuali, kami membayar mereka dengan uang sebesar seribu pound. Mereka berkata bahwa berat anda sama dengan berat emas! Akan tetapi, kami mencoba untuk merayu mereka, agar kami dapat membayar setengahnya....dan akhirnya mereka menyetujuinya juga. Akhirnya, untuk menebus anda...kami telah membayar kepada mereka uang sebesar lima ratus pound dari uang kas gereja!”
Sang pendeta-pun berteriak: “Lima ratus pound!...Kalian membayarkannya untukku!...Kalian berkata bahwa aku diculik?....” Para gerejawan menjawab: “Benar...setelah kepergian anda selama tiga hari, datanglah sekelompok orang....mereka mengatakan bahwa para perampok telah menculik anda pada pagi hari. Tepatnya, ketika anda tengah menyiram pohon kurma anda! Dan mereka bersumpah kepada kami...bahwa anda akan dibunuh seandainya kami tidak membayar uang tebusan...dan apabila kami membayar mereka, maka mereka akan mengembalikan anda dengan selamat, tiga hari setelah masa pembayaran!...”
Sang pendeta-pun terus memperhatikan perkataan tersebut dengan baik. Ia kembali mengingat-ngingat apa yang terjadi....setelah itu, ia berkata. Seolah-olah ia berbicara dengan dirinya sendiri: “Ya...masuk akal...orang yang berada di ambang kematian, orang sakit dan lumpuh yang sembuh, bahkan langsung terbangun dari tempat tidurnya karena berkahku!....betapa cerdiknya mereka!”
Sedangkan orang-orang yang ada di sekelilingnya mengelus-ngelus badan sang pendeta dan pakaiannya sambil berkata dengan gembira: “Semuanya sudah hilang. Tapi, tidak apa, yang penting anda dapat pulang dengan selamat! Semoga...mereka tidak menyakiti anda ketika melewati masa-masa penculikan!...apa yang mereka perbuat pada diri anda?”
Sang pendeta-pun berkata dengan fikiran kacau: “Mereka menjadikan aku sebagai pembuat mukjizat...akan tetapi, mukjizat yang telah mengorbankan gereja. Sehingga, pihak gereja harus membayar semuanya itu dengan harga yang sangat mahal!...”
Konferensi Cinta
Jumlah mereka empat orang. Mereka terlihat duduk mengelilingi sebuah meja di pinggiran sungai nil. Di depan mereka terhidang empat cangkir kopi. Semuanya terdiam menanti sang matahari terbenam...termenung seperti sedang memimpikan sesuatu. Semuanya dapat dilihat dari wajah mereka yang terlihat pucat. Sekalipun, semburat merah tipis terlihat di wajah mereka. Persis, seperti orang yang tengah dilanda rasa malu. Karena, rona wajah orang yang sedang malu biasanya memerah. Padahal, sebenarnya,
rona tersebut timbul dari bias lampu perahu motor warna putih yang lalu lalang di sungai nil.
Empat orang tersebut adalah: wartawan, penyair, pemusik dan seorang perempuan. Dilihat sekilas, sepertinya perempuan yang ada di tengah-tengah ketiga laki-laki tersebut adalah dewi pujaan mereka. Akan tetapi...mengapa mereka terdiam...dan dalam wajah perempuan itu juga tidak terlihat tanda-tanda, laki-laki mana yang ia cintai?...Dan siapa yang akan ia pilih?...
Kebisuan mereka berlangsung cukup lama. Hal tersebut membuat salah seorang di antara mereka bosan. Ia-pun menepukkan kedua tangannya dan berteriak: “Bangunlah....dan buka mata kalian....” Sang pemusik langsung dengan cepat menimpali: “Satu botol sampanye!..” Akan tetapi, sang penyair langsung memotong: “Lebih baik kita membahas satu materi tertentu...” Sang wartawan langsung berkata: “Permasalahan politik tentunya!...” salah seorang di antara mereka langsung menyahut: “A’udzu Billah!...yang pasti aku tidak akan setuju!...” Sang wartawan langsung menjawab: “Apakah dalam pertemuan kita ini juga dibutuhkan hak veto, penolakan ataupun kritikan?!”
Akhirnya, sang penyair segera melerai mereka: “Menurutku...lebih baik kita membicarakan permasalahan yang bermanfaat bagi kita semuanya...Oleh karena itu, carilah permasalahan yang kita rasa penting!...”. “Cinta” kata-kata itu langsung keluar dari mulut sang perempuan bagaikan bom nuklir...Keluar dengan cepat, tanpa ragu-ragu, penuh percaya diri dan tenang...
Kaum laki-laki-pun dengan serempak berkata: “Cinta?!” Ucapan tersebut keluar secara bersamaan. Sama persis, seperti ucapan: “Amin” dari mulut orang-orang yang melaksanakan shalat...
Sang perempuan-pun berkata: “Tentu saja materi tersebut sangat penting bagi kalian...materi cinta sangat penting bagi para wartawan...apakah kau wahai wartawan dapat mengingkari bahwa berita paling mengejutkan pada abad ke dua puluh ini adalah kisah cinta raja Inggris terhadap lady simpson. Bagaimana ia rela turun dari tahta kerajaan, demi memperjuangkan cintanya?!
Dan kau sang penyair, apakah kau akan mengingkari bahwa yang menyulut perang Tharwada adalah api cinta. Kau juga pasti tidak akan dapat mengingkari,
bagaimana perang tersebut telah mengilhami Humerus untuk menulis bait-bait syair yang dikenang sepanjang sejarah? Dan kau wahai pemusik, apakah kau akan beusaha menafikan bahwa semenjak awal, suling dan gitar memang diciptakan untuk dijadikan sebagai alat mengungkapkan cinta?!”
Maka, semuanya berkata dengan serempak: “Benar...” Si perempuan-pun terdiam karena sudah merasa menang...akan tetapi, ketiga laki-laki yang ada di hadapannya kembali berpaling kepadanya dan bertanya dengan serempak juga: “Dan kamu...?” Dengan setengah bingung, perempuan tadi berkata: “Aku....!!” Ia berkata dalam hatinya: “Apakah mereka sudah gila? Apakah mereka harus bertanya kepada seorang perempuan yang dari matanya saja sudah dapat dibaca...karena mata perempuan tidak dapat berbohong...
Akan tetapi, ia masih berusaha menjaga diri dan berpura-pura. Karena, secara naluri, memang perempuan paling pintar bersandiwara. Kemudian ia berkata: “Cinta?! Aku tidak pernah mengetahui apa itu arti cinta? Kau sang wartawan, pemusik dan kau penyair, bertahukan kepadaku, apa itu cinta? Dan barang siapa yang dapat membuatku puas dengan jawabannya, maka dia akan mendapatkan hatiku!...”
Ia-pun segera bersantai di tempat duduknya dan merebahkan kepalanya di senderan kursi. Ia terlihat bersiap-siap untuk mendengarkan pendapat ketiga laki-laki yang ada di hadapannya. Akhirnya, semua laki-laki tersebut segera mempersiapkan diri untuk mendapatkan piala yang sangat berharga itu!...”
Mata sang wartawan terlihat tajam seperti sinar mata elang...sambil membenarkan letak kepalanya, ia berkata: “Ya Allah, semoga engkau menjadikan hatinya untukku!...” Setelah itu, ia meneruskan ucapannya: “Engkau ingin mengetahui, apakah yang dimaksud dengan cinta? Cinta adalah berita. Ia datang dari dalam hati. Kemudian ia menanyakannya kepada akal. Dan akal menyangkalnya. Akan tetapi, hati akan tetap membenarkannya dan akan mengambil semua resiko demi memberitahukannya. Sekalipun untuk itu, ia harus menanggung semuanya sendiri!...”
Kini giliran sang pemusik. Ia berkata: “Bukan. Cinta tidak seperti itu. Cinta adalah melodi. Mengalun melalui senar hati. Dan setiap kali akal berusaha untuk memutuskan satu senar saja, alunan melodi yang ada semakin keras!”
Kini, giliran sang penyair mengemukakan pendapatnya: “Cinta adalah alunan bait-bait syair. Sedangkan hati berfungsi untuk memberikan maknanya. Dan keindahan itu akan hilang tatkala akal menjadi alat pertimbangannya!...”
Sang perempuan yang dari tadi duduk mendengarkan berkomentar: “Aku tidak pernah bertanya tentang definisi. Yang aku inginkan adalah bentuk implementasi. Katakanlah kepadaku...apa yang kalian rasakan seandainya aku memilih salah satu di antara kalian sebagai kekasih hatiku? Kau, wahai wartawan, apa yang kau rasakan?”
Sang wartawan menjawab: “Terus terang, aku merasa tersiksa oleh panas matahari yang aku rasakan sangat aneh ini...Seandainya aku menyentuhmu, panasnya akan menjalar di kedua pipimu. Tiba-tiba, dalam hatiku ada rasa takut. Takut seandainya dirimu terampas dan pergi begitu saja dariku...Aku takut ada sesuatu yang hilang dari dirimu...Dan terus terang....Seandainya kamu menjadi milikku, aku tidak akan membiarkanmu sayang, untuk memandang kedua sahabatku ini.
Bahkan, dalam pandanganku, mereka adalah dua orang pencuri...Mereka tidak lebih dari sekedar copet yang berusaha bersembunyi di balik permata senyuman, kalimat dan pandanganmu...Aku tidak akan membiarkan satupun pelayan di meja makanmu untuk mempengaruhi ataupun menyakitimu. Dalam pandanganku, semua laki-laki adalah tukang jegal. Karena, mereka telah berani mendekati perhiasan berhargaku...yaitu dirimu” Ia-pun terdiam...
Perempuan tadi berkata sambil tersenyum: “Dan sekarang, mengapa kamu terdiam seperti itu. Apakah kamu sudah tidak ingin berusaha atau mempertahankannya lagi?!” Sang wartawan akhirnya berkata kembali: “Berusaha untuk apa dan mempertahankan apa? Kita semua sangat mengharapkan cintamu. Sekalipun, hanya satu jam saja...Sayangnya, toh pada akhirnya, semua itu tidak memberikan apa-apa kepadaku. Aku hanya bertanya, dimana orang yang memperjuangkan tanahnya. Sekalipun, hanya satu jengkal saja? Seandainya aku memilikinya sendiri, maka aku akan berusaha untuk mencapainya, melindungi agar tidak terampas dariku...”
Si perempuan tadi akhirnya berkata: “Jadi, bagimu, cinta tidak lebih sebagai harta kepemilikan.” Sambil mengucapkan kata-kata tersebut, ia berpaling kepada sang penyair: “Dan apa yang akan kamu lakukan seandainya aku menjatuhkan pilihan kepadamu?”
Sang penyair menjawab: “Saya akan merasa bahwa dirimu telah datang dari timur untuk menggantikan posisi matahari...Saya merasa, bahwa dirimulah sinar kehidupanku dan sinar seluruh alam semesta. Sinar kedua matamu telah memberikan kehangatan untukku dan seluruh makhluk hidup...Saya merasa, bahwa kecantikanmu tidak hanya diciptakan untukku seorang...karena matahari yang begitu besar ini tidak mungkin aku miliki sendiri. Engkau adalah nikmat bagi seluruh manusia. Aku tidak akan merasa keberatan seandainya aku mengirimkan nafasmu sebagai sinar harapan yang menyinari seluruh jiwa hamba. Karena nafasmu akan dijadikan sebagai cahaya, rahmat dan pintu keselamatan...
Sehingga, setiap kali pasangan mata memandangmu, aku akan merasa bangga dan terhormat. Karena, dari situlah aku dapat mengetahui bahwa mereka juga melihat apa yang aku lihat, mereka akan terkesan dengan apa yang membuat aku terkesan, mereka akan percaya dengan apa yang aku percayai...bukti-bukti kebesaran Allah dalam kecantikanmu harus disampaikan kepada manusia secara keseluruhan...Engkau adalah kitab suci yang diturunkan untuk seluruh manusia dan bukan hanya untuk aku baca sendiri!...”
Dengan tersenyum, si perempuan berkata kepada laki-laki tadi: “Jadi, kamu menganut faham komunis dalam memandang cinta!...” Setelah itu, ia memandang kepada sang pemusik, kemudian berkata: “Baiklah, sekarang silahkan, kemukakan pendapatmu! Apa yang kamu rasakan?”
Pemusik tadi berkata: “Aku merasakan bahwa sinar seni telah terpancar dalam hatiku....dan setelah hari ini...Aku tidak akan pernah merasakan sinar itu terbenam. Melodi yang keluar dari wahyumu tidak akan didengar oleh manusia dengan bahasa yang sama. Gitar Orfius yang telah melahirkan berbagai tangga nada tidak akan sama dengan gitar milikku yang akan menarik seluruh logika dan merampas makna yang terkandung di dalamnya...Engkau tidak akan pernah merasakan kematian...Aku akan menghadiahkan kepadamu sebuah keabadian...Alunan melodi yang mengalir dan terinspirasi darimu. Seperti keagungan yang datang dari sinar fajar yang akan terus dikenang sepanjang zaman dan dikenang dari mulut ke mulut...
Dengan suara pelan, perempuan itu berkata: “Jadi, menurutmu. Pondasi cinta adalah seni...” Perempuan itu-pun terlihat seperti orang dalam keadaan putus asa...ia
tertunduk cukup lama. Akan tetapi, kesabaran ketiga laki-laki tadi terlihat telah habis. Salah satu di antara mereka akhirnya berkata: “Bicaralah, dan pilihlah salah satu di antara kita bertiga...”
Sang perempuan-pun menjawab: “Aku tidak ingin ada seorang laki-laki yang mengaturku. Karena, aku sendiri tidak melakukan hal tersebut. Aku juga tidak menginginkan seorang laki-laki yang menghambakan dirinya kepadaku. Bahkan, ia lebih mementingkan diriku dibanding dirinya. Aku juga tidak memerlukan seorang laki-laki yang lebih mendahulukan nilai-nilai seninya dibanding kepribadianku.
Ia-pun memalingkan wajahnya dari tiga orang tadi. Membiarkan pandangannya tertumpu pada mega merah yang memancarkan sinar matahari di ufuk sana. Kebisuan itu dipotong oleh perkataan sang wartawan: “Bukankah sudah kukatakan tadi, lebih baik kita berbicara masalah politik?” Usul tersebut mendapatkan dukungan dari sang pemusik dengan isyarat anggukan kepalanya. Sang penyair menyahut: “Siapa bilang kita telah keluar dari permasalahan politik?...Ah...dasar perempuan!...Perempuan tidak bedanya dengan dunia...manusia manapun tidak akan dapat memahaminya dan bagaimana harus memperlakukannya? Aliran-aliran saling beradu argumen, bahkan berbeda pendapat dalam memandangnya...
Kita dapat melihat bagaimana kita berjalan dari sistem kapitalis menuju komunis. Setelah itu, kita mengubah haluan menuju seni dan seterusnya. Ironisnya, tidak ada satu-pun yang dapat membuka kuncinya. Bahkan, tidak ada satupun yang dapat membuka talinya...atau setidaknya, membuka pintu-pintu yang tertutup...tidak ada satupun yang dapat memecahkan rumus dan rahasianya.
Si perempuan tadi-pun membalikkan tubuhnya mengarah kepada tiga laki-laki tadi, dan berkata: “Asal kalian tahu! Permasalahan cinta tidak sesulit apa yang kalian kemukakan tadi!.....”
Perempuan Yang Berhasil Mengalahkan Syaitan!...
Orang mengatakan, bahwa ia adalah perempuan gila. Kata orang, ia tidak mengetahui musim semi...yang ia kenal hanyalah musim gugur dan musim hujan. Sekalipun begitu, perempuan tersebut adalah perempuan kuat yang tidak pernah
kehilangan harapan. Entah mengapa, air matanya terus bercucuran seperti hujan. Dan kebahagiaan terjatuh di hatinya, seperti layaknya daun-daun pepohonan....Ketidak mampuannya ini telah menjadi bahan pembicaraan setiap orang...Itu merupakan pulau kesedihan yang berada di atas dunia ini. Seperti inilah dia hidup...dan seperti inilah dia mati...ia tidak pernah merasakan kehadiran laki-laki di sampingnya. Kedua bibirnya tidak pernah mengucapkan kata-kata. Selain, mengucapkan puji-pujian ke langit yang hampir tidak terdengar. Tidak hanya itu, ia juga sering mengirimkan caci maki ke sana...
Sampai pada suatu malam, berhembuslah angin yang sangat kencang. Setelah itu, terdengarlah deru suara angin ribut yang menggoncangkan alam raya. Ia tidak berani keluar rumah. Malah, ia segera masuk ke kamarnya. Akan tetapi, terdengar suara jeritannya yang sangat kencang di dalam kamar. Dan semuanya itu membuat bangunan rumahnya yang sudah jelek itu seperti hendak runtuh. Perempuan itu menjerit: “Hai Syaitan, semua ini pasti ulah perbuatanmu!”
Ia-pun setengah kehilangan kesadaran!...Kemudian, tembok-tembok di ruangan kamarnya seperti bergerak. Dan nampaklah syaitan seperti ketika ia datang sebelumnya untuk memperlihatkan diri. Karena syaitan tidak akan tuli untuk mendengarkan sebuah permintaan. Syaitan-pun segera bertanya kepada perempuan tersebut: “Apa yang engkau inginkan wahai perempuan?”
Si perempuan tadi menjawab: “Kecantikan...kehidupan...dan harta.” Perempuan tadi mengucapkan kata-kata tersebut dengan mudah. Seakan-akan ia adalah orang yang tengah kehausan di padang pasir dan membutuhkan air. Syaitan-pun kembali berkata: “Apakah kamu tahu apa harga untuk semuanya?” Sang perempuan menjawab: “Ambillah semua harga tersebut. Seperti yang engkau inginkan!”
Syaitan berkata: “Ruhmu akan aku bawa ke neraka jahannam! Karena itu adalah pekerjaanku di dunia. Aku akan berusaha mengumpulkan arwah dan membawanya ke neraka untuk menghidupkan tempat tersebut. Karena aku ingin membuktikan di hari akhir nanti, siapakah yang akan memenangkan perlombaan ini; aku yang duduk di atas singgasana api neraka, atau mereka yang duduk di istana Firdaus?”
Si perempuan tadi berkata: “Berikanlah harta benda dan kenikmatan dunia kepadaku di bumi selama sepuluh tahun. Setelah itu, engkau dapat membawaku kemanapun kamu inginkan...aku tidak takut kepada neraka jahannam..karena aku
sekarang tengah berada di dalam neraka Jahannam!” Syaitan menjawab: “Baiklah, kita sepakat. Kamu akan mendapatkan kenikmatan dunia selama sepuluh tahun. Setelah itu, kau akan menjadi milikku.” Akhirnya, syaitan menulis cek dengan darah perempuan tadi. Setelah itu, ia menandatanganinya.
Setelah pembuatan perjanjian selesai, syaitan menyentuh jasad perempuan tadi dengan tangannya. Perempuan itupun merasakan getaran merasuk ke dalam dirinya. Akhirnya, syaitan menunjuk pada kaca lemari dengan jari-jarinya. Perempuan tadi-pun segera berkaca. Maka, terihatlah wajah cantik...seperti bintang...yang...ah.... Ia bertanya-tanya, benarkah kecantikan itu miliknya? Inikah perasaan orang-orang yang memiliki keindahan, kecantikan dan wajah yang menarik?
Perempuan tadi menenggelamkan dirinya dalam kenikmatan hidup...sampai akhirnya perjalanan waktu telah mendekatkan dirinya pada sepuluh tahun perjanjian. Kemudian, terdengar suara lemparan botol di atap yang bercampur dengan air yang terasa semakin bergelombang...akhirnya, syaitan datang kepadanya dengan membawa cek. Ia mengingatkan si perempuan di tempat yang dekat dengan tempat perjanjian dahulu. Kemudian, si perempuan berkata: “Ya, tentu saja aku ingat dan tidak akan pernah lupa....akan tetapi....” Syaitan berkata garang: “Akan tetapi apa?...”
Si perempuan menjawab: “Aku merasakan ada kenikmatan yang hilang dari dalam diriku...” Syaitan berkata: “Apakah masih ada kenikmatan yang belum kamu rasakan?” Si perempuan menjawab: “Kenikmatan ruh...” Syaitan terperanjat dan berkata: “Apa yang kamu maksudkan?” Si perempuan menjawab: “Itu semuanya merupakan kenikmatan. Dan kamu harus mengidzinkan aku untuk merasakannya...sesuai dengan perjanjian yang ada dalam cek...Bukankah engkau akan memberikan seluruh kenikmatan kepadaku dalam kurun waktu sepuluh tahun? Di depanku masih ada dua bulan lagi, sampai aku dapat menyempurnakan masa perjanjian. Terus terang, aku telah bosan dengan kenikmatan sesaat ini. Aku masih merasakan kehausan dan belum mendapatkan kenikmatan secara batin. Berikanlah kenikmatn ruh juga kepadaku dalam dua bulan ini. Setelah itu, engkau boleh mengambil diriku ke neraka...”
Akhirnya, syaitan-pun mengabulkan permintaan tersebut dan berkta: “Ambillah yang engkau inginkan. Sebagaimana yang kamu lihat, aku adalah makhluk Tuhan yang
terpercaya dalam melaksanakan syarat-syarat tersebut...” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, syaitan-pun menghilang dan meninggalkan perempuan tadi.”
Setelah sepeninggal syaitan...si perempuan selalu melawatkan hari-harinya dengan shalat malam, menanggalkan kenikmatan dunia dan selalu menggunakan pakaian ibadah. Ia-pun pergi dan melaksanakan fardlu haji dan tenggelam dalam kenikmatan ibadah untuk akhirat kelak. Ia membiarkan dirinya melaksanakan amal salih...dan menjalani kehidupan yang terhormat juga suci....
Sampai akhirnya, selesai sudah waktu dua bulan. Dan syaitan-pun datang menghampirinya. Ia meminta perempuan tersebut untuk menepati janjinya. Akan tetapi, tiba-tiba saja tubuh syaitan menggigil ketika melihat perempuan tersebut...betapa cantiknya perempuan ini...akan tetapi, bukan kecantikan batu meteor yang membakar seperti dulu....dari wajah perempuan itu telah terpancar sinar yang sangat lembut. Sepertinya, cahaya kecantikannya bersumber dari suatu tempat yang sangat agung...ia-pun merasa takut kepadanya...Akan tetapi, tekadnya sudah keras dan ia-pun segera menghampiri perempuan tadi, ia berkata: “Sudah saatnya...mari kita bersama-sama menuju neraka Jahannam!...”
Si perempuan tadi menjawab dengan pasrah: “Marilah...” Tidak ada penolakan baik dalam nada bicaranya ataupun dari hatinya. Akhirnya, syaitan-pun mulai berjalan dengan diikuti oleh perempuan tadi yang berjalan di belakangnya. Sampai akhirnya, mereka sampai di pintu neraka Jahannam. Ketika malaikat Zabaniah menyadari kehadirannya, ia-pun membukakan daun pintunya. Maka, masuklah malaikat penjaga neraka dan mempersilahkan si perempuan untuk mengikutinya di belakang.
Ketika perempuan tersebut menginjakkan kakinya di ambang pintu neraka, tiba-tiba di neraka Jahannam terjadi sesuatu yang sangat menakjubkan. Datang sebuah tiupan angin yang membalikkan lidah api yang menyala-nyala. Malaikat Zabaniah merasakan kegetiran dan ketakutan yang teramat sangat. Syaitan juga ikut tercengang dan kaget melihat peristiwa tersebut. Ia-pun berteriak yang kemudian diikuti oleh teriakan ahli neraka: “Apa ini? Apa ini?....”
Tiba-tiba, tangan para malaikat penjaga surga menyentuh dan mengambil perempuan tadi. Mereka berteriak kepada syaitan: “Perempuan ini adalah milik kami...” Syaitan tidak mau kalah, ia juga ikut berteriak: “Tidak! Dia adalah milikku...dengan cek
ini aku dapat membuktikan bahwa dia adalah milikku...lihatlah!!” Para malaikat penjaga surga menjawab: “Kami tidak akan melihat pada cek itu...kami hanya menilai dari arwahnya...ruh yang ia miliki telah ditakirkan untuk masuk ke dalam surga...”
Syaitan berkeras hati, ia kembali berteriak: “Tidak! Ruhnya telah digariskan untuk masuk neraka...ia telah mendapatkan cap dari neraka semenjak sepuluh tahun yang lalu...” Para malaikat menjawab: “Akan tetapi, angin surga telah mencatatnya semenjak dua bulan kemarin...angin inilah yang telah kalian lihat dan seperti badai yang datang untuk memadamkan api kalian...Sehingga, api tersebut tidak dapat menyentuh wajahnya...”
Dengan murka, syaitan berkata: “Berarti, perempuan ini telah membohongiku!” Perempuan itu-pun berteriak. Padahal, pada saat itu ia tengah berada dalam genggaman tangan malaikat: “Aku tidak pernah membohongimu...aku meminta kenikmatan batin...karena hal tersebut sesuai dengan perjanjian waktu itu...bawalah diriku ke neraka Jahannam... Wahai malaikat! Biarkan aku pergi menuju neraka Jahannam....karena aku telah berjanji seperti itu kepada syaitan...bukankah menepati janji salah satu perbuatan yang paling utama? Untuk itu, biarkan aku menepati seluruh janjiku. Dan satu hal yang harus kau camkan syaitan, aku tidak akan pernah mengingkari janjiku...sekalipun dengan kau!...”
Syaitan berkata kepada para malaikat: “Apakah kalian mendengarnya? Perempuan itu adalah milikku...biarkanlah ia bertemu denganku di neraka!” Kemudian, para malaikat menarik tangan perempuan itu dan membawanya ke surga. Mereka berkata: “Seandainya hari kiamat kembali lagi, niscaya kami akan mengembalikannya kepadamu...”
Dengan sinis, syaitan berkata: “Huh...semuanya itu hanyalah permainan logika...kalian bisa saja mengatakan bahwa semuanya itu adalah milikku. Kemudian, setelah itu, kalian dapat menjadikan perkataan tersebut sebagai dalih dan bukti yang berlawanan dariku?! Aku telah membuktikan semuanya itu dengan cek ini...yang berarti aku juga telah membuktikan bahwa ruhnya adalah milikku...”
Para malaikat menjawab: “Iya, benar. Tapi ruhnya yang pertama...akan tetapi, mana ruhnya yang pertama? Aku telah memberimu ruh yang pertama...carilah. Adapun
ruhnya yang ini adalah milik kami...marilah, ikutlah bersama kami wahai perempuan suci...”
Perempuan itu-pun berkata: “Ini adalah tindak kejahatan. Karena aku telah mengingkari janji. Mintalah kepada Tuhan kalian agar aku dapat pergi bersama syaitan dan menutupi semua dosa-dosaku yang pertama...”
Para malaikat-pun berkata: “Kamu tidak memiliki dosa pertama. Karena semuanya telah terhapus oleh cahaya kesucianmu yang terakhir...” Perempuan itu kembali menjawab: “Maka dari itu, janganlah kalian memasukkan aku pada dosa baru. Penangguhan terhadap cek tersebut tetap harus aku jalankan.” Para malaikat-pun menjawab: “Kamu sudah tidak memiliki urusan lagi dengan perkara tersebut!..Marilah bersama kami...ayolah...”
Syaitan-pun berteriak: “Betapa menakjubkan!...Seorang perempuan terhormat ingin memegang kata-katanya. Maka, seharusnya, kalianlah yang bertaubat. Karena, jika kalian tidak melakukannya, maka kalian telah mendorongnya untuk menjadi makhluk Allah yang hina!...”
Para malaikat-pun menjawab; “Apakah kau telah mengakui bahwa perempuan ini adalah perempuan terhormat! Maka, kemanakah arah perempuan-perempuan terhormat menuju; ke surga atau neraka?”
Dari sini, syaitan sudah merasa terpojokkan. Ia-pun berkata dengan marah: “Celakalah kalian...celaka! Ambillah dia dan pergilah dari hadapanku! Dia hanyalah ruh seorang perempuan...dan bukan beberapa perempuan...pergilah...pergilah ke neraka jahannam...maksudku, surga...! Akan tetapi, aku tidak akan pernah melupakan bahwa ia telah menipuku...Ya...perempuan terhormat ini telah menipuku ketika ia meminta kenikmatan dunia!...”
Kekasih Yang Hilang!...
Siapakah dia? Aku sendiri tidak pernah mengenalnya...dimanakah dia? Apakah aku pernah menemuinya sebelumnya? Celakanya adalah, aku tidak pernah mengenalnya...seandainya aku dapat mengetahui siapakah dirinya pada waktu yang tepat, sudah tentu aku tidak akan mengalami kejadian itu!....”
Kisah ini sangatlah sederhana. Sehingga, peristiwa tersebut dapat menimpa siapa saja. Al kisah, dimulai dari sebuah mobil yang dikendarai oleh seorang teman. Mobil itu melaju dengan cepat di jalan raya. Setelah itu, mobil tersebut berhenti dan mempersilahkan anda untuk naik bersamanya. Tentunya, untuk mengantarkan anda, kemana-pun anda inginkan. padahal, anda tidak mengenal....atau mungkin lupa...siapa sebenarnya pengendara mobil yang mengaku teman anda itu? Peristiwa yang sangat aneh?! Akan tetapi, tidak juga...karena, hal tersebut, persis, juga terjadi pada diriku:
Pada suatu sore, aku berjalan untuk pulang menuju rumah. Sambil melangkahkan kaki, aku menikmati kesendirianku ini. Membayangkan semua yang ada di sekelilingku dalam keadaan baik-baik saja. Lagi pula, berjalan kaki merupakan kenikmatn tersendiri. Di samping, hal tersebut juga bermanfaat untuk kesehatan...
Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berhenti tidak jauh dariku. Dari dalam mobil terlihat seorang laki-laki yang melambaikan tangan dan mengajakku masuk ke dalam mobilnya. Pada saat itu, aku menolak ajakannya secara halus. Dengan alasan, aku sedang jogging. Akan tetapi, laki-laki itu tetap memaksaku untuk ikut. Bahkan, ia membuka pintu mobil, turun, sambil menarik tanganku dan mendudukkan aku di kursi mobil bagian depan.
Ketika aku telah berada dalam mobil tersebut, aku sangat terkejut. Ternyata, sopir mobil tersebut seorang gadis yang sangat cantik. Rasanya, aku belum pernah melihat gadis secantik itu. Dan menariknya, kursi dimana aku duduk, berdampingan dengan tempat duduknya. Sebagai laki-laki, aku juga tidak munafik. Aku jadi enggan untuk menolak tawaran laki-laki tadi. Akan tetapi, bagaimanapun juga, hatiku masih dilanda kebimbangan. Sementara itu....mobil sudah mulai melaju....
Laki-laki yang mengajakku tadi duduk di kursi bagian berlakang. Ia bertanya pendapatku mengenai mobilnya. Dan terus terang, aku tidak tahu, aku harus menjawab apa. Dalam ruangan mobil ini, ada sesuatu yang menyilaukan. Seperti lampu sorot mobil yang membuat aku silau. Dan tentu saja, membutuhkan waktu yang cukup lama, supaya kamu dapat melihat dengan jelas. Sebagaimana halnya kamu juga memerlukan waktu untuk mengembalikan ketajaman akalmu untuk menyadari apa yang terjadi. Sehingga, ketika waktu mulai berjalan, kesadaranmu akan kembali. Rumahku sudah tidak terlihat.
Dan sudah tertinggal jauh di belakang. Akupun tersadar dan berteriak: “Rumahku...rumahku!...”
Si sopir cantik-pun langsung menghentikan mobilnya seketika. Ia langsung hendak memutar balik mobilnya, untuk mengganti arah. Akan tetapi, tiba-tiba saja ada sebuah mobil di belakang kami yang hampir tertabrak. Akhirnya, mobil itu-pun berhenti dan dari dalam mobil tersebut turun seorang laki-laki dengan wajah memerah karena terbakar emosi. Ia berjalan ke arah kami dengan cepat. Dan aku melihatnya telah dekat dariku. Ia-pun berusaha membuka pintu mobil denga paksa. Dan dari pancaran kedua matanya, aku yakin, sepertinya laki-laki ini akan berbuat yang tidak baik kepadaku...
Di sini, aku mendengar laki-laki yang duduk di belakangku berkata setengah berteriak: “Cepat! Gerakan mobil ini ke arah lain! Dengan cepat si sopir cantik memutar haluan ke arah semula. Terlihat raut wajahnya yang berubah dalam seketika. Wajahnya terlihat pucat. Seperti bunga ros putih kekuning-kuningan. Ia memacu mobilnya dengan cepat menandingi arus angin yang berhembus, meninggalkan orang tadi. Matanya terfokus ke jalanan. Mungkin, takut menabrak atau tertabrak mobil lain.
Mobil yang kami tumpangi-pun melaju dengan cepat di jalanan kota Giza...akan tetapi, suara si cantik membuyarkan lamunanku. Ia melihat ke kaca mobil dan berteriak: “Dia mengikuti kita....” Si cantik menambah lagi kecepatan. Aku-pun melihat ke belakang. Kulihat mobil orang tadi melaju cepat di belakang kami. Akupun bertanya kepada laki-laki dan si sopir cantik tadi yang ada bersamaku di mobil ini....: “Apa yang terjadi?” Laki-laki yang ada di belakangku menjawab: “Sepertinya, kita telah melakukan kesalahan ketika hendak memutarkan mobil ini...”
Aku-pun mempercayai perkataannya dan diam. Mobil yang kami tumpangi telah melewati kota Giza. Dan sekarang tengah melaju di jalanan dekat wilayah Piramid. Si cantik kembali melihat ke kaca dan berteriak: “Dia semakin dekat dengan kita...” Laki-laki yang ada di belakangku langsung berkata: “Tambahkan kecepatan...ayolah...lebih cepat lagi...kalau orang itu dapat menyusul kita, matilah kita!...”
Si cantik-pun kembali menambah kecepatan!...Akupun melihat ke belakang...orang di mobil itu semakin menyusul kami...aku sudah tidak dapat menahan diri...akhirnya aku berkata: “Aneh sekali! Apa yang diinginkan laki-laki ini? Setidaknya, seandainya kita menabraknya atau membuat dirinya celaka, itu baru alasan. Dan dia
berhak untuk tidak memaafkan kita. Akan tetapi, yang kita lakukan hanyalah kecelakaan biasa. Tapi, dia membuat kita masuk ke dalam permasalahan yang sangat berbahaya. Bahkan, menuntut kita untuk melaju dengan kecepatan seperti ini. Ia telah membuat keruh air yang jernih...semoga Allah memberikan kutukan kepada bajingan ini!...”
Laki-laki yang duduk di belakang-ku itupun berkata dengan suara yang bergetar karena marah: “Memang, benar-benar bajingan!...”
Aku benar-benar telah tersesat dan tidak tahu jalan pulang. Dan terus terang, aku sudah tidak berfikir tentang hal itu lagi. Satu-satunya yang kufikirkan saat ini adalah resiko yang mengancam nyawa kami. Karena, mobil ini telah melaju dengan kecepatan penuh. Akupun berkata dalam hati: “Sampai batas inikah, orang sialan itu mengejar kami? Tiba-tiba, aku memiliki ide, bagaimana seandainya kita berhenti dan berbicara secara baik-baik dengan laki-laki tersebut. Bisa saja orang tersebut mau memecahkan permasalahan ini secara baik-baik...”
Aku-pun mencoba memberitahukan ide tersebut kepada mereka berdua. Entah mengapa, mereka hanya tersenyum dan tidak memberikan jawaban apa-pun. Seiring waktu yang terus berjalan, kami-pun terkurung dalam kebisuan dan kegelisahan. Sebagaimana melajunya mobil yang kami tumpangi. Kedua mobil saling menyalip. Sampai akhirnya mobil tersebut kehilangan jejak kami. Laki-laki yang ada di belakangkupun berteriak gembira: “Lebih baik kamu berbelok ke arah kiri dengan cepat. Dan mengambil jalan pulang. Selama ia berfikir bahwa kita tidak akan berfikir untuk kembali. Maka, dengan itu, ia tidak akan menemukan kita!”
Si cantik-pun langsung memutar kemudi. Mobil-pun berbalik ke arah kiri. Kami berusaha untuk menembus kembali jalan pulang. Akan tetapi, secara tiba-tiba kami melihat mobil orang yang mengejar kami tadi. Mobil tersebut tengah berhenti di sebelah kiri jalan dan tidak berhenti pada temmpat yang tepat. Karena, mobil tersebut telah menabrak trotoar jalan. Sehingga, berada tepat pada arah yang berlawanan dan menutup jalan kami. Laki-laki di belakang-kupun berteriak panik kepada si sopir cantik: “Kamu juga, tabrak trotoar itu di belakangnya dan tembus jalan dengan cepat!...”
Sampai di sini, hilang sudah kesabaranku. Aku-pun segera membuka pintu mobil dan berkata: “Ini adalah tingkah laku anak kecil. Turunkan aku sekarang juga. Aku akan berbicara baik-baik dengan orang itu.” Keduanya sama-sama berteriak kepadaku
dan menarik kembali ke dalam mobil: “Berbicara? Tidak mungkin...tidak mungkin...tetaplah di tempatmu...kita akan segera bertolak...kita harus segera melarikan diri.”
Akupun menarik tanganku dari cengkraman mereka berdua dan turun sambil berkata: “Apabila kalian ingin bermain-main, maka usiaku bukanlah usia bermain. Dan aku bukan orang yang sesuai untuk bermain perang-perangan dan melarikan diri...pergilah kalian berdua dan tinggalkan aku. Biarkan aku berbicara dengan laki-laki itu, dan menyelesaikan sedikit salah faham ini. Sekaligus, menyelesaikan permasalahan ini secara baik-baik...”
Aku lihat, orang yang mengejar kami juga telah turun dari mobilnya dan berjalan cepat ke arahku. Ketika si sopir cantik dan laki-laki yang ada di dalamnya menyadari hal tersebut, mereka segera lari dengan memacu kecepatan mobil mereka. Mobil mereka menabrak trotoar dan melaju cepat sampai hilang dan tidak terlihat. Laki-laki yang mengejar kami-pun menyaksikan peristiwa tersebut.
Setelah itu, ia meneruskan perjalanannya ke arahku. Sesampainya di hadapanku, ia berkata: “Akhirnya, jatuh juga kau ke tanganku, penjahat!” Aku-pun berusaha menegur dan menyapanya dengan perlahan: “Penjahat? Aku bukan sopir mobil tadi. Bahkan, seumur hidupku, aku tidak pernah mengemudikan mobil. Malah, aku tidak tahu bagaimana cara menjalankan dan memutarkan mobil tersebut!”
Orang itu langsung menjawab: “Tentu saja. Karena perempuan itulah yang menyetir dan mengemudikan mobil itu. Tapi, kamu-lah yang duduk di sampingnya dan melihat matanya yang hitam kelam.” Akupun langsung menjawab: “Ah..aku tidak mengingat warna bola matanya. Demi Tuhan...aku tidak tahu apa warna bola matanya!! Apakah warnanya hitam, abu-abu atau keemasan? Malah, aku sangat terkesan dengan sosok anda sebagai laki-laki berpendidikan. Anda memiliki selera dan penglihatan yang sangat tajam. Sampai-sampai anda dapat memandang gadis cantik seperti itu! Ya, benar...katakanlah gadis itu melakukan kesalahan. Akan tetapi, bukankah akan lebih baik seandainya anda bersikap toleran dan lunak kepadanya?”
Laki-laki tersebut menjawab dengan marah: “Bersikap lunak katamu orang hina? Siapa yang mengatakan bahwa aku akan bersikap lunak dalam permasalahan ini? Bahkan, aku akan memperlihatkan kepadamu, bahwa yang ada di hadapanmu sekarang
ini adalah seorang laki-laki terhormat...” Dan tiba-tiba, laki-laki yang ada di hadapanku merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sepucuk pistol!...
Ketika melihat tangannya memegang pistol, darahku-pun terasa berhenti. Akan tetapi, aku berusaha tenang dan diam...aku berusaha untuk tersenyum dan berkata dengan lemah lembut: “Semoga engkau mau memaafkan kesalahan dan kelancangan mulutku ini...apakah anda ingin membunuh saya hanya karena permasalahan sederhana seperti ini?” Dengan berang, laki-laki yang ada di hadapanku ini berkata: “Sederhana? Sederhana bajingan? Kau menganggap masalah ini sebagai masalah sederhana!”
Aku mencoba menenangkannya kembali sambil berkata: “Maksud saya...anda adalah orang yang sangat baik...dan perempuan itu juga sebenarnya tidak menginginkan kemarahan anda sampai memuncak seperti ini...semuanya itu peristiwa keseharian yang sudah biasa terjadi...terlebih...yang menyetirnya adalah perempuan cantik yang selalu dapat dimaafkan setiap melakukan kesalahan...” Laki-laki tadi menjawab: “Aku akan memaafkan semua kesalahan perempuan itu. Kecuali, perilakunya yang buruk!”
Aku segera berkata: “Perilakunya? Demi Tuhan, dia telah melakukan tugasnya dengan sangat hati-hati. Kalau bukan karena kedatangan anda yang secara tiba-tiba...dan seandainya ini yang menyebabkan si cantik masuk ke dalam kekacauan ini...” Belum habis kalimatku, laki-laki itu menjawab: “Tentu saja, kedatanganku secara tiba-tiba membuat kalian kacau dan gelisah. Bahkan, memasukkan kalian dalam kesulitan!...”
Aku berkata dengan polos: “Ah...tidak tuan. Tidak hanya itu....Anda adalah orang yang sangat baik. Anda telah membuat kami dapat berjalan-jalan dan melihat pemandangan. Apabila anda sudi dan bersedia, lebih baik kita melupakan permasalahan ini dan kita kembali kepada jalan masing-masing secara terhormat. Dan membiarkan kita untuk melewati kebahagiaan dan kenikmatan dalam menghirup udara segar. Anda pasti akan menerima terima kasih yang paling dalam dari kami. Kami akan mendoakan dan memuji anda!...”
Dengan tersenyum sinis, laki-laki ini berkata: “Ma Syâ’Allâh! Demi Tuhan, seumur hidupku, aku tidak pernah melihat orang yang paling bermuka tembok seperti dirimu! Aku bersumpah, sekarang ini, aku hanya ingin menumpahkan darahmu dengan peluru ini...dan dengan melakukannya, aku akan merasa tenang....” Sorot mata laki-laki
itu tajam dan membuatku semakin ketakutan. Aku-pun memohon kepadanya dengan amat sangat, supaya laki-laki itu menjauhkan pistolnya dariku.
Sambil meminta belas kasihannya dan berkata: “Sabar tuan...sabar...dinginkan urat syaraf anda yang tengah menegang...apapun permasalahan yang ada di antara kita. Apa salahku dalam masalah ini?...dan mengapa anda melibatkan saya untuk menanggung semua akhir kejadian ini? Padahal, dalam hal ini saya hanya ingin menjadi penengah yang berbuat baik....aku turun dari mobil, karena aku ingin berbicara secara baik-baik dengan, meluruskan permasalahan dan menghapus semua prasangka buruk yang ada pada diri anda...”
Dengan nada mengejek, laki-laki ini berkata: “Sangat menakjubkan! Apakah kamu membayangkan bahwa aku akan menerimamu sebagai penengah yang baik dan utusan yang dapat mendamaikan antara diriku dengan perempuan itu?!” Aku-pun segera menjawab: “Apakah salah?” Dia menjawab dengan berang: “Kamu yang akan menjadi perantara dalam memperbaiki hubungan antara aku dengan teman hidupmu? Apakah kamu rela dengan semuanya itu? Apakah ini masuk di akal...orang tolol!”
Aku-pun segera menjawab: “Aku fikir ini adalah perbuatan yang baik dan masuk akal!...” Dia menjawab dengan nada tinggi: “Ini adalah perbuatan yang terlalu lancang dan kurang ajar!...” Dengan putus asa aku-pun berkata: “La Hawla Walâ Quwwata Illâ Billâh!...Baiklah, aku mengakui bahwa aku tidak berhasil mendapatkan maafmu....aku juga telah kehilangan harapan untuk membuat dirimu memahami kondisi kami...dan aku juga tidak dapat mengetahui apa yang kamu inginkan...bunuhlah aku sesuai kehendakmu....Akan tetapi, sebelum melepas roh-ku, aku minta kepadamu, setidaknya, membuat aku faham. Sekalipun sedikit: Mengapa aku harus mati? Kalau aku benar menjadi penyebab pemisah antara sepasang merpati, mungkin itu dapat diterima oleh akal. Akan tetapi, aku harus mati karena permasalahan sepele!...”
Dengan sangat emosi, laki-laki tadi berkata: “Permasalhan sepele...dasar orang hina!...Di zaman apa kita hidup sampai kita harus melihat kesombongan yang sangat aneh ini. mengapa ada orang yang suka meremehkan sebuah perbuatan yang sudah termasuk ke dalam kejahatan yang sangat berbahaya ini!” Dengan nada tinggi, Aku-pun berkata: “Akan tetapi tuan, di zaman apa kita hidup, sampai kita melihat suatu jiwa dimana Allah
telah mengharamkan untuk membunuhnya, harus pergi begitu saja hanya sebuah perselisihan pendapat. Padahal, hukumnya tidak lebih dari lima belas piaster?”4
4 Piaster adalah nilai mata uang Mesir.
Laki-laki itu terlihat semakin panas: “Perbedaan pendapat katamu? Ini adalah kejahatan...” Aku menjawab: “Saya tegaskan lagi kepada anda, ini adalah sebuah salah faham biasa. Aku adalah orang yang tahu hukum....” Laki-laki itu berkata: “Diam kau....laki-laki gila!...” Aku menjawab dengan emosi: “Kau juga laki-laki kasar dan bertindak sewenang-wenang...” Laki-laki itu berkata keras: “Lancang kau! Apakah kau ingin membuktikan bahwa dari sisi hukum, aku juga dapat memperlihatkan bukti-bukti bahwa aku memiliki hak yang sah atas dirinya!”
Aku menjawab: “Tuan, hak anda masih tetap di tempatnya...Hak itu akan hilang, apabila ancaman itu telah anda atau perempuan itu dapatkan....” Laki-laki yang ada di hadapanku dengan geram berkata: “Apakah aku belum mendapatkan ancaman bahaya itu? Apakah kamu juga tidak ingin melihat bahaya yang telah menimpaku?!”
Suaraku melemah: “Aku tidak bermaksud seperti itu tuan...dan aku juga cukup tahu diri bahwa pendapatku dalam hal ini tidak bersandar pada unsur tersebut. Dan aku siap untuk melakukan proses pemeriksaan ataupun peninjauan ulang terhadap permasalahan ini. Tentunya, dengan mendatangkan orang yang tahu cara membuka rahasia perempuan itu.”
Bukannya tenang, laki-laki itu malah semakin terlihat emosi: “Membuka rahasianya? Diam kau orang rendahan!...” Aku-pun dengan bingung dan emosi berkata: “Demi Tuhan, aku tidak tahu bagaiamna cara untuk meminta dirimu supaya tenang dan mau memafkanku?” Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak akan pernah memaafkanmu. Dan tidak ada yang membuat diriku puas. Kecuali, dengan membunuhmu, meminum darahmu dan mencuci aib yang menempel pada diriku dengan darah najismu itu!”
Aku-pun bertanya lagi dengan sangat marah: “Mengapa anda melakukan semuanya itu padaku, tuan terhormat! Apa yang telah aku perbuat sampai aku harus menjalani hal tersebut?” Laki-laki itu menjawab: “Karena inilah satu-satunya ganjaran bagi pembuat dosa yang telah menginjak-nginjak kehormatan keluarga orang lain!”
Aku menjadi bingung, dan mengulangi ucapannya: “Kehormatan keluarga?....Apa hubungan antara kehormatan keluarga dengan masalah yang tengah kita
hadapi ini?” Laki-laki itu menjawab: “Dan kamu namakan apa hubunganmu yang sangat memalukan dengan istriku?” Aku semakin bingung: “Istri anda? Apakah aku mendapatkan kehormatan sehingga mengenal istri anda?” Dengan nada mengejek laki-laki itu berkata: “Apakah kamu tidak mengenalnya?” Aku menjawab dengan polos: “Aku tidak pernah melihatnya seumur hidupku...aku bersumpah kepadamu...”
Dia, laki-laki itu segera berkata: “Jadi, siapakah kekasihmu?...” Aku semakin terheran-heran: “Kekasihku?...tidak tuan...janganlah anda menyakiti perasaanku...aku adalah pemuda baik-baik...aku tidak memiliki hubungan dengan perempuan. Bahkan, aku belum mengenal satu orang perempuan-pun.” Dengan tampang sinis, laki-laki itu kembali berkata: “Lalu...perempuan yang duduk di sampingmu di dalam mobil...apakah ia bukan perempuan...atau....?”
Aku menjawab dengan tenang: “Ah...anda berhak untuk tahu itu....akan tetapi, kisahnya yang benar adalah: ketika itu, aku tengah berjalan di pinggir jalan menuju rumahku...seperti yang dilakukan oleh orang-orang kebanyakan...tiba-tiba saja, ada sebuah mobil yang berhenti tidak jauh dari tempatku berdiri...aku-pun naik...eh..ternyata yang di sampingku itu seorang perempuan...” Laki-laki tadi berkata dengan nada mengejek: “Seperti yang sering dilakukan oleh bis-bis!” Aku menjawab singkat: “Ya...tepat sekali...”
Ia kembali bertanya: “Apakah kamu mengenal siapakah perempuan itu?” Aku menjawab: “Aku bahkan tidak pernah bertemu dengannya...” Laki-laki itu memandangku dengan dingin dan berkata: “Jadi, kamu bertemu dengannya tanpa tahu dan mengenal perempuan itu sebelumnya?” Aku menjawab: “Demi Tuhan! Inilah yang aku alami...” Dia kembali berkata: “Merupakan kehormatan bagi perempuan itu untuk bertingkah laku seperti itu. Seperti angkutan umum. Ia akan membawa orang-orang dari jalan; baik yang dikenalnya ataupun tidak...” Aku berkata: “Janganlah engkau menyalahkannya Tuan...masalah ini memiliki pangkal awal....”
Pada saat itu, aku berniat untuk menceritakan kisah sebenarnya kepada laki-laki itu secara terperinci. Bahkan, dengan sejujur-jujurnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja aku urung menceritakan hal tersebut. Karena, aku menyadari bahwa hal tersebut mustahil terjadi...Oleh karena itu, sepertinya aku tidak perlu menyebutkan keberadaan laki-laki yang ada di kursi belakang dan telah mengajakku. Aku yakin, pastilah laki-laki ini tidak
akan mengetahui keberadaannya. Karena laki-laki yang ada di mobil itu, duduk di kursi belakang dengan kaca gelap yang tertutup rapat. Dan pada saat itu, laki-laki yang tidak lain suami dari perempuan cantik tadi, secara otomatis melihat kepadaku yang duduk di samping si cantik yang berada di belakang kemudi. Sehingga, seandainya aku mengatakan yang sebenarnya, tentang sahabatku yang tidak kukenal, semuanya tidak dapat memberikan banyak perubahan. Malah, dalam hal ini, sang istri telah mendapatkan dua dakwaan sekaligus....
Tiba-tiba, muncul ide dalam fikiranku...ah...siapa tahu...sang suami akan mempercayaiku. Aku akan mencoba untuk memindahkan beban kejahatan dari yang satu ke yang lainnya. Dan dia tidak akan mengetahuinya. Aku akan terus berusaha dan tidak akan berhenti. Kecuali, hal tersebut membawaku pada hal-hal yang hina, rendah, pengecut, buruk dan adu domba. Aku akan berkata bahwa dari awal percakapan, kami telah sama-sama tertarik. Aku melihatnya dari sorot mata dan kecantikan istrinya. Sebagaimana ia juga merasa tertarik kepada diriku. Bagaimana indahnya bercinta dengannya.
Dan tiba-tiba, kedatangan suaminya, membuat suasana menjadi keruh....jadi, dalam hal ini, aku juga telah masuk menjadi terdakwa. Karena, aku telah menyakiti perasaannya melalui perkataan dan perbuatanku. Sehingga, dia tidak akan memiliki kekuatan dan alasan apapun untuk mengampuniku. Sebagaimana juga tidak ada manfaatnya bagiku untuk mengingkari atau membela diri. Aku akan menyerahkan semuanya ke tangan Allah. Biarlah laki-laki itu beranggapan seperti apa yang diyakininya dan menjadi apa yang diinginkannya...
Si suami itu melihat kebisuan dan keterpurukanku. Ia-pun berkata dalam nada memerintah: “Bicaralah...apa yang dapat kamu katakan? Apa alasanmu duduk di samping istriku di mobil itu? Dan apa yang menyebabkan kalian berdua kabur dariku? Aku telah mengikutimu dari Mesir, ke Giza sampai ke wilayah Haram (Piramid)?” Sayangnya, dalam fikiranku, belum terlintas jawaban yang tepat. Tidak ada perkataan benar yang dapat aku ucapkan. Terlebih, dalam kondisi seperti ini. Akhirnya, aku berkata: “Karena terlalu sulitnya permasalahan ini tuan. Sehingga, kami mencoba untuk mencari alasan yang tepat...”
Suami perempuan itu berkata: “Akhirnya kamu mengaku juga...apabila kita telah sampai pada keputusan akhir, maka kita harus menjernihkan suasana dengan kepala dingin dan sikap rasional, penuh hikmah dan tenang..sebagaimana yang dilakukan oleh dua orang laki-laki dewasa dan berpendidikan....Akan tetapi, sebelumnya, jawab terlebih dahulu, apakah kamu benar-benar mencintainya?”
Aku juga tidak tahu harus menjawab apa, apakah aku harus mengatakan yang sebenarnya?...Karena, dalam kondisi seperti sekarang ini, tidak ada jarak yang membedakan antara kejujuran dan kebohongan. Dan mungkin, pada saat-saat seperti ini, kebohongan lebih dominan dibanding kejujuran itu sendiri. Dan selama kita tidak dapat berkata jujur. Maka cobalah untuk berkata bohong. Karena, terkadang kita berhasil keluar dari kesulitan yang pada awalnya tidak memiliki jalan keluar. Justru, karena berbohong. Akhirnya, aku berkata: “Anda bertanya kepada saya, apakah saya mencintainya? Saya sudah mencintainya seperti orang gila. Sehingga, saya tidak dapat tidur pada waktu malam...”
Laki-laki itu menjawab lagi: “Apakah istriku juga mencintaimu?” Aku menjawab dengan tenang: “Seperti layaknya cinta seorang hamba. Dia juga tidak dapat tidur di waktu malam...” Laki-laki itu-pun terdiam dan membisu...tidak lama kemudian ia berkata: “Semenjak kapan kalian saling mengenal antara satu sama lain?” Aku menjawab masih dengan nada yang sama: “Baru setengah jam yang lalu!” Mata-nyapun membelalak ke arahku dan berkata: “Apa ini? Apakah ini masuk akal? Jawablah dengan jawaban yang benar apa yang telah aku pertanyakan kepadamu!”
Aku menjawab: “Aku telah menjawab sesuai dengan kenyataannya...Maka, andalah yang dapat memisahkan antara yang benar dengan yang salah...” Laki-laki itu menjawab: “Jawabanmu yang terakhir terlihat bohong....tolong, katakanlah yang sebenarnya...” Akhirnya, aku berkata lagi: “Baiklah, itu adalah satu-satunya perkataanku yang bohong...maafkanlah aku....” Laki-laki itu berkata: “Tentu saja, sepertinya kalian telah lama saling mengenal.” Aku menjawab: “Jujur aku katakan, kami telah bertemu dan berkenalan selama satu tahun....dan selama itu, hubungan kami berlangsung baik-baik saja...”
Laki-laki itu berkata: “Menakjubkan sekali!... sekarang, dengarkanlah apa yang telah aku putuskan dengan tekad bulat: aku akan menceraikan istriku dan kamu harus menikahinya. Karena, tidak ada pemecahan lain selain ini...”
Aku-pun segera menelan air liur dan berusaha menutupi keterkejutanku. Aku berusaha untuk tersenyum dan memperlihatkan seolah-olah aku menerima keputusannya...karena, yang terpenting adalah aku keluar dari detik-detik menegangkan ini dan menyudahi jalan buntu ini...Sehingga, aku dapat kembali ke rumahku... Setelah itu, berjabatan tangan dengan penghulu untuk menerima nikahnya perempuan tadi!?? Semoga Allah memberikan jalan...!!! Perjalanan yang sangat aneh....Aku telah bertemu dengan laki-laki yang mengaku sebagai sahabatku, membiarkan dirinya menempati tempatku dan mengembalikanku pada jalan semula...
Aku telah melakukan kesepakatan dengan sang suami...setelah itu, kami-pun berjabat tangan. Bahkan, ia memberikan tumpangan kepadaku dan mengantarku sampai rumah. Ya...semua tugas yang seharusnya dilakukan oleh istrinya....
Setelah peristiwa hari itu....aku-pun menunggu...dan terus menunggu...sampai hari ini...Tidak ada sang suami, istri ataupun sahabat...tidak ada perceraian dan tidak ada permintaan agar aku menikahi perempuan itu. Kemana tokoh-tokoh dalam kisah itu bersembunyi? Bagaimana hasil akhir kisah mereka? Bagaimana hubungan yang terjalin antara mereka sekarang? Rahasia yang tidak pernah aku ketahui lagi kisahnya...dan memang...aku tidak ingin mengetahuinya...yang aku tahu,...aku selalu terkejut dan merasa takut terhadap semua mobil yang berhenti tidak jauh dari tempatku berdiri. Apalagi, jika dikendarai oleh seorang perempuan...
Mafia Terpilih!...
Dunia-pun tergoncang mendengar berita yang disebarkan oleh kilat di seluruh penjuru tempat: Para ilmuan atom tiba-tiba saja menghilang. Mereka sudah tidak ada di Amerika. Dan ironisnya, tidak ada satu-pun yang mengetahui kemana mereka pergi dan dimana mereka kini tinggal...
Banyak media masa yang menyoroti hal ini. Dan inilah salah satu kutipan media masa yang menanggapi hilangnya para ilmuan tersebut: “Pastilah semuanya itu terjadi
akibat ulah penculikan kelompok mata-mata yang dibiayai oleh beberapa negara.” Sayangnya, para wartawan dan mas media tersebut tidak mengetahui bahwa sebenarnya, peristiwa tersebut tidak seperti yang mereka bayangkan...karena, kejadiannya seperti ini:
Pada suatu hari, ada seorang laki-laki yang tengah duduk-duduk santai di sebuah ruangan rumahnya, dekat dengan perapian. Ia tengah membaca surat kabar sore. Sampai akhirnya, ia membaca sebuah berita yang menuliskan: “Pimpinan persatuan para ilmuan atom Amerika memberitahukan bahwa analisa baru yang berhubungan dengan atom, dalam satu tahun ini akan menghasilkan sebuah bom yang memiliki kekuatan ledakan sampai seribu kali kekuatan dua bom atom yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki....”
Laki-laki ini-pun langsung melemparkan surat kabar yang ada di tangannya. Ia bangun dari duduknya dan sepertinya, dalam dirinya telah terbayang sesuatu...
Laki-laki ini tidak lain adalah Al Capone pimpinan kelompok mafia, sekaligus jutawan terkenal!...Ia telah meninggalkan pekerjaan haramnya tersebut...ia telah diperingatkan oleh tim medis karena penyakit jantungnya...dan ia-pun merasa bahwa dirinya telah dekat dengan ajal...
Akan tetapi, bakatnya dalam memimpin dan mengatur organisasi hitamnya tersebut masih menempel di otaknya...kelihaian dan kecerdikannya dalam membunuh masih terlihat jelas. Kemampuannya dalam merampok dan menculik masih kuat dan tidak diragukan lagi...Oleh karena itu, dalam urusan dua itu, Al Capone tidak pernah berhenti. Sekalipun, harus mengorbankan hartanya...
Sampai akhirnya, ia dapat menculik para ilmuan atom Amerika lengkap dengan pimpinannya. Kemudian, ia menempatkan orang-orang tersebut di istananya yang megah di wilayah Florida. Pada saat itu, Al Capone mengundang mereka dalam sebuah jamuan makan malam bersamanya...ia menghidangkan makanan-makanan dan minuman terbaik...sampai pada detik-detik terakhir penjamuan, ia mengangkat gelasnya sambil berkata: “Untuk pemimpin mafia...maaf...maksud saya, pemimpin persatuan para ilmuan!...”
Pemimpin persatuan para ilmuan atom memandang Al Capone dengan gelisah...ia tidak tahu...apakah kesalahan ucap tersebut disengaja atau tidak?!...Apakah laki-laki ini mengundang mereka sebagai tamu kehormatan, atau untuk menculik mereka?!...” Belum selesai sang pemimpin berfikir, Al Capone kembali berkata: “Aku
telah mengundang kalian ke istanaku sebagai tamu kehormatan...dan kalian memang berhak untuk mendapatkan semuanya itu dariku?!...Sebelumnya, saya harap, anda-anda semua dapat memaafkan cara-cara saya dalam mengundang anda semua ke tempat ini...sebenarnya, saya merasa ragu untuk menyampaikan kartu undangan kepada anda sekalian...dan saya rasa, cukup dengan ini saja...oleh karena itu...anda jangan menganggap bahwa tata cara pengormatan saya kepada anda dianggap sebagai suatu...penghinaan, pengasingan, menakut-nakuti ataupun meremehkan...
Tidak diragukan lagi...pasti anda sekalian beranggapan bahwa tidak akan pernah ada kesamaan antara saya dengan anda-anda sekalian. Sebagaimana anda akan menganggap bahwa pekerjaan saya dengan pekerjaan anda sangat berbeda. Begitu pula dengan perasaan saya dan perasaan anda sekalian. Sekilas, pendapat ini mungkin dapat dibenarkan...dan saya bukan tukang jagal dalam melihat pendapat orang...saya tidak mau dan tidak suka untuk langsung menyalahkan anda semua...
Dalam satu kedipan mata saja, kalian semua dapat membunuh ratusan ribu laki-laki, perempuan, orang tua dan anak-anak. Tidak ada satupun manusia yang dapat mengagungkan hasil karya anda sekalian, seperti pengagungan saya....dan tidak ada satupun manusia yang dapat menghargai usaha anda kalian, seperti halnya penghargaan saya....
Setiap kali saya mengingat, bahwa keagungan saya justru terletak pada nasib kaum laki-laki...” Sejenak kata-kata Al Capone terputus. Ia terdiam sesaat dan kemudian meneruskan: “Ya...kaum laki-laki saja...saya dan para pengikut saya membunuh mereka di Chicago....jumlah mereka tidak lebih dari lima ratus orang!...
Dan saya tahu bahwa ketenaran saya berawal dari pembantaian itu. Dimana saya telah membunuh seluruh musuh-musuh saya pada tahun 1929 di sebuah garasi pada hari peringatan valentine! Pada saat itu, para pengikut saya sangat banyak...bahkan jumlahnya melebihi jumlah kalian...akan tetapi...kami tidak dapat membunuh lebih dari itu....Sedangkan anda sekalian dapat membunuh lima puluh ribu jiwa dalam satu hentakan saja....
Maafkanlah kami...sarana yang kami pergunakan dahulu sangatlah terbatas...pada saat itu, yang berada di tangan kami hanyalah pistol dan mitraliur.5 Bagaimana hati kami tidak menjadi ciut ketika harus berhadapan dengagn sosok-sosok seperti kalian....dimana tangan anda-anda sekalian memiliki kekuatan...dan hati anda-anda semua memiliki keberanian yang sangat besar?!...
5 Mitraliur adalah sejenis senapan mesin
Saya berkata kepada kalian: “Dalam jiwaku ini tersimpan perasaan sedih, terhina dan gagal...” Semua yang telah kami lakukan, ketika disandingkan dengan apa yang kalian temukan, tidak lebih hanya seperti permainan anak kecil. Pada saat itu, mereka memberikan julukan kepada saya dengan: “Musuh masyarakat nomor satu” dan saya tidak tahu, julukan apa yang sepantasnya diberikan kepada kelompok ini....maksud saya...persatuan para ilmuan ini?!....
Segala puji bagi Tuhan, masa-masa itu telah berlalu...dan nilai-nilai heroisme kami telah diabadikan dalam tulisan-tulisan mass media di masa lalu...adapun sekarang...sekarang adalah giliran kalian...dan zaman sekarang...adalah zaman kalian...karena setiap masa memiliki tokoh masing-masing! Maka, idzinkanlah saya, baik secara pribadi maupun perwakilan kelompok saya untuk memberikan penghormatan kepada kalian...dan mengangkat gelas saya untuk orang-orang pilihan seperti kalian...untuk menjadi generasi baru!...Menghidupkan kembali mafia baru....ya...persatuan baru!...
Al Capone-pun menengak minumannya dalam satu kali tegakan...setelah itu, ia duduk dengan sopan dan penuh etika...ia memejamkan matanya untuk sesaat...setelah itu, ia memandang para tetamunya....Pada saat itu, ia tidak melihat mereka menyingkir ke pojok ruangan karena takut ...keringat yang mengalir karena cemas. Atau, wajah yang memerah, karena rasa sedih...
Hanya saja...mereka terlihat diam membisu...tidak ada yang bergerak...sampai akhirnya pemimpin persatuan para ilmuan berdiri dan mengangkat gelasnya....maka, para ilmuan lainnya-pun ikut melakukan hal yang sama....dan pesta jamuan makan malam-pun berakhir dengan kebisuan...seperti di kuburan...
Akhirnya, para ilmuan pulang ke rumah masing-masing dalam keadaan diam membisu....tidak ada satupun si antara mereka yang berani memandang kepada yang lainnya....dan pada akhir acara, sang pemimpin meminta kepada seluruh anggotanya untuk merahasiakan pertemuan tersebut....
Pada malam itu, Al Capone tidak dapat tidur...ia sangat terpengaruh dengan peristiwa tadi...ia yakin bahwa waktu kematiannya telah dekat...dan lembaran kehidupannya sebentar lagi akan ia tutup...dan ia tahu, bahwa dirinya telah menutup akhir hidupnya dengan sesuatu yang sangat indah...ia juga telah menyerahkan tongkat kepemimpinan dan mengucapkan khutbah perpisahan dengan mempergunakan kalimat yang sangat indah dan menarik....maka, ia-pun sudah tenang untuk menikmati istirahat terakhir!....
Pada malam itu, akhirnya, ia mendapatkan serangan jantung dan menyerahkan ruhnya dengan tenang....
Pada hari selanjutnya, surat kabar-surat kabar terbit sebagaimana biasa. Akan tetapi, ketentuan Tuhan berbicara lain. Ia ingin mengambil jalannya sendiri. Entah Tuhan bercanda atau sungguh-sungguh...tidak ada satu orang-pun yang tahu tujuan dan sasaran yang dituju-Nya!
Yang kita tahu, foto Al Capone tiba-tiba saja tersebar di samping foto pemimpin persatuan para ilmuan...
Yang pertama, karena kematiannya....dan yang kedua karena kembalinya sang pemimpin dan para ilmuan tadi. Tentunya, setelah mereka menghilang dan mengemban misi rahasia yang sangat penting!...”
Pasangan Paling Berbahagia!…
Laki-laki itu duduk dengan serius. Ia menghadap ke arah radio sambil mendengarkan suara lembut dan menarik yang mulai mengudara:
“Letakkan daging di atas loyang, lapisi oleh kentang. Kemudian, irislah bawang tipis-tipis dengan rapi. Setelah itu, panggang di atas api sedang sampai warnanya berubah kecoklatan. Setelah setengah matang, taburi di atasnya dengan tepung terigu, sampai
warnanya sedikit cerah. Sebelum diangkat, tuangkan saus tomat ditambah dengan taburan peterseli, garam, cabe dan merica....”
Laki-laki tadi terus mendengarkan acara dapur keluarga pada hari itu dengan seksama sampai akhir. Ia mendengarkan acara tersebut dengan hati berdebar-debar. Pssst....ia tengah dimabuk cinta! Hatinya terbang karena dipenuhi rasa rindu, air liurnya serasa mengalir...indah...ia benar-benar telah terpuruk dalam lautan cinta. Karena, terkadang benar perkataan orang, cinta akan datang dari telinga sebelum mata...Ia-pun sudah tidak dapat menahan diri lagi...ia menyampaikan keinginannya tersebut kepada keluarganya: “Aku yakin, aku harus menikahi perempuan itu!”
Salah seorang anggota keluarga laki-laki itu bertanya: “Memangnya kamu mengenal perempuan itu?” Si laki-laki tadi menjawab ringan: “Tidak tahu! Aku hanya mengenal acaranya yang sangat indah di radio. Tapi, aku tahu bahwa perempuan itu telah menggetarkan hatiku.”
Memang, semua orang mengakui kalau sang arjuna yang satu ini sering “kelibet-libet”; mana kebutuhan hati dan mana kebutuhan perut! Suatu hari, seorang dokter bertanya kepadanya: “Dimana perutmu berada? Ia-pun menunjuk ke hatinya. Dan ketika ia bertanya kembali: “Dimana hatimu berada?” Ia-pun akan menunjuk ke perutnya! Oleh karena itu, seorang perempuan yang ingin memenangkan hatinya, harus dapat memenuhi kebutuhan perutnya. Dan seandainya perempuan itu dapat memenuhi kebutuhan perutnya, berarti ia dianggap sebagai perempuan sempurna!....
Akhirnya, ia berhasil memboyong si gadis ke pelaminan. Dan datanglah malam pertama...dalam pesta tersebut, ia mendatangkan salah seorang penyanyi yang terus bersenandung sepanjang malam: “Kita adalah dua kekasih. Ketika mata saling memandang. Apakah di sini ada dua hati dan pasangan pengantin yang paling berbahagia...”
Ketika mendengarkan lagu tersebut, sang pengantin pria duduk dengan gelisah. Ia menginginkan ucapan dan alunan kalimat yang lebih nikmat dan menarik dibanding omong kosong tersebut. Akhirnya, dadanya semakin terasa sesak dan ia tidak dapat menahannya lagi...ia-pun mendekatkan badannya ke pengantin perempuan dan berkata kepadanya: “Ceritakanlah kepadaku...setelah meletakkan daging di atas loyang dan meletakkannya di dalam oven..., kamu mengatakan bahwa kita harus mengiris bawang
tipis-tipis dengan rapi. Setelah itu, panggang di atas api sedang dengan minyak samin sampai warnanya berubah kecoklatan...bagaimana menurutmu seandainya kita menambahkan bawang putih, daun ketumbar dan cumin. Selain, bawang merah tentunya....??”
Pengantin perempuan-pun hanya menatap suaminya lama. Akan tetapi, ia tidak menjawabnya....
Sampai akhirnya, hari-hari pertama rumah tangga mereka-pun berlalu. Sang pengantin pria sudah tidak tahan menahan rindu....menanti datangnya hari, dimana istrinya memasuki dapur, mempergunakan celemek, melipat baju tangannya dan memasak masakan yang sangat nikmat itu...Ya, masakan yang sangat nikmat dan selalu ia dengarkan di radio dengan hati berbunga-bunga...
Akhirnya, istri terkasih masuk juga ke dapur! Lantunan doa tidak habis-habisnya terucap dari mulut sang arjuna. Ia terus memohon keberkahan untuk istrinya. Tidak hanya itu, ia juga meminta kepada Allah untuk selalu menjaganya....
Pada waktu dhuhur, ia kembali dari pekerjaannya. Ia-pun mengucapkan kata-kata ini: “Semoga Allah memberikan keselamatan kepada perempuan yang ingin membahagiakan diriku dengan hidangan istimewa dan masakan yang tidak ada tandingannya ini!”
Sang arjuna terus menunggu dan menunggu. Sampai sampai...waktu asar hampir tiba. Akhirnya, istri enerjik-pun keluar dari dapur. Dari mukanya, mengalir keringat yang telah bercampur dengan asap. Sang suami memandang istrinya mulai dari kaki sampai kepala. Semuanya basah dengan keringat. Kemudian, sang istri-pun berkata: “Maafkan aku!...Aku hanya memasak ini!...aku memasak yang ringan-ringan saja...takut terlambat...oleh karena itu, aku membuatkanmu telur goreng....”
Sang suami-pun berusaha untuk menyembunyikan kekecewaan dan kemarahannya. Ia-pun mengulurkan tangannya tanpa berkata-kata. Dengan maksud meraih piring yang berisikan telur goreng??....Sebagaimana yang istrinya katakan...?! Akan tetapi, ia melihat sisa-sisa minyak yang ada dalam telur itu telah menghitam, putih telurnya terlihat gosong dan kuning telurnya...telah menghilang!....”
Jam-pun berdentang menunjuk ke angka empat...istrinya segera membersihkan diri dan memakai pakaian bagus. Setelah itu, ia keluar dengan segera. Seakan-akan, ia memiliki janji yang sangat penting...
Sampai akhirnya, jam menunjukkan pukul empat lewat seperempat. Sang suami “menyedihkan” tersebut mendengar istri gilanya di radio....Suaranya terdengar membawakan acara biasa...dimana para pendengar akan mendengar dan mempercayainya: “Letakkan daging di atas loyang, lapisi oleh kentang. Kemudian, irislah bawang tipis-tipis dengan rapi. Setelah itu, panggang di atas api sedang sampai warnanya berubah kecoklatan....”
Sang suami-pun terlihat limbung...dan ia tidak tahu...apa yang harus ia perbuat; apakah ia harus tertawa?....Atau menangis?...
Kenalilah Pembunuh Itu!...
Terdakwa yang diseret ke meja pengadilan itu sungguh di luar dugaan! Pemuda yang memiliki tubuh kurus, wajah pucat, pendiam dan selalu tersenyum. Apakah benar ia terdakwa dalam kasus pembunuhan? Ah...mungkin bukan penjahat. Ia lebih mirip seorang pujangga yang berada dalam semak dan menari-nari diterpa angin...
Ia terus mengawasi ruangan persidangan dari tempat duduknya. Pemuda itu seperti pengarang yang menulis jalan cerita di ruangan tersebut. Semuanya berjalan di hadapannya. Sama persis, seperti yang ia hayal dan inginkan. Dan semuanya benar-benar terjadi....Tidak terlintas sedikitpun kegalauan dalam pandangannya. Ia seperti mengetahui alam gaib. Hatinya juga tidak terlihat merasakan keresahan dan kegelisahan dalam menanti keputusan Tuhan. Sepertinya, ia yakin bahwa dirinyalah yang menciptakan takdir dan keputusan hidup untuk dirinya sendiri....
Ruang persidangan terlihat penuh sesak. Dan para polisi membentuk barisan di depan pintu untuk menahan arus masyarakat yang ingin melihat....karena, kasus kejahatan yang telah dilakukan pemuda tersebut adalah kejahatan yang telah menarik perhatian pemerintah dan menggoncangkan wilayah politik negaranya...
Jaksa penuntut umum telah berdiri dan menuntut terdakwa, sambil berkata kepada hakim: “Tugasku menjadi mudah yang mulia! Terdakwa yang sekarang ini ada di
hadapan anda telah mengakui kejahatan yang dilakukannya. Ia telah menerangkannya dengan sangat jelas kepada saya. Dan ia telah bersedia menerima hukuman. Maka, sangat jelas sekali bahwa saudara terdakwa telah melakukan pembunuhan tersebut dengan sengaja. Dan didahului oleh sebuah perencanaan dan pengamatan terhadap si korban, tokoh politik terkenal itu. Kemudian, ia menembakkan peluru dari pistolnya ke arah sang pemimpin....
Pada saat itu, ia tengah berada dalam pesawat, antara Alexandria dan Kairo. Tembakan tersebut tepat mengenai dadanga. Tim medis menyatakan bahwa tembakan tersebut sangat fatal dan menyebabkan kematiannya...untuk itu, laporan singkatnya dapat anda ketahui melalui kesaksian seorang tekhnisi pesawat yang meyatakan bahwa pada hari itu, penumpang pesawat hanya berjumlah dua orang: korban dan terdakwa...
Selain itu, tekhnisi tersebut juga menyatakan bahwa di dalam pesawat terdapat bekas-bekas keributan. Dan hal yang sama juga diakui oleh kapten pesawat. Akan tetapi, pada saat kejadian berlangsung, mereka tidak dapat mencek peristiwa tersebut. Karena, mereka harus terfokus pada tugas dalam mengendalikan pesawat. Jadi, keduanya mengakui bahwa peristiwa tersebut kurang mereka hiraukan. Mereka terus menjalankan pesawat, sampai mendekati wilayah Kairo...
Sampai pada waktu sang tekhnisi merasakan adanya gerakan di belakangnya. Pada saat itu, pintu yang menyambungkan antara ruangan awak pesawat dan penumpang terbuka. Ia-pun memalingkan wajahnya ke arah penumpang. Tiba-tiba...ia melihat korban telah terjatuh dari tempat duduknya...sedangkan di hadapannya berdiri terdakwa yang tengah membawa pistol di tangannya...
Maka, tekhnisi tadi-pun segera berlari ke arahnya dan merampas sekaligus mengamankan pistol tersebut...Setelah itu, ia-pun bertanya kepada terdakwa...dan si terdakwa menjawab dengan ringan bahwa dirinya telah membunuh sang politikus dengan sengaja!...
Menurut tim penyelidik, terdakwa adalah salah seorang tenaga pengajar di salah satu lembaga pendidikan di Alexandria. Masih dari sumber yang sama, juga dikatakan bahwa terdakwa sering melakukan perjalanan bolak-balik Kairo-Alexandria. Dan sebagai tambahan, pada saat ini, ia tengah mengalami krisis ekonomi. Ia sering menyendiri dan melakukan hal-hal yang tidak diketahui orang. Dan menurut sebagian sahabat-
sahabatnya, ia sering menulis hal-hal yang berbau rahasia di saat senggangnya. Bahkan, terkadang mereka tidak mengetahui apa yang ia tulis.
Terkadang, mereka juga melihat keseriusan berfikir dalam wajahnya. Sehingga, tidak jarang ia terlihat begitu terbawa perasaan. Terkadang ia membaca beberapa surat yang mereka tidak tahu, dari mana datangnya....Tidak hanya itu, mereka semakin merasakan bahwa keberadaan terdakwa di tengah-tengah mereka semakin asing. Laki-laki itu tidak banyak berbicara atau bercanda dengan mereka. Sehingga, mereka tidak pernah melihat tawa ataupun candanya. Sekalipun, hanya satu kali saja. Ia selalu tenggelam dalam fikiran yang sama sekali mereka tidak mengetahuinya. Ia selalu berhati-hati dan menjaga jarak untuk tidak berdekatan dengan mereka....
Dan pada hari kejadian, sahabat-sahabatnya sesama tenaga pengajar, melihat laki-laki itu membaca sebuah telegram...seketika itu juga, raut mukanya berubah...dan kemudian menanyakan jam. Dengan tergesa-gesa dan resah, ia berkata: “Aku akan pergi ke bandara untuk naik pesawat menuju Kairo...” Pada saat itu, sahabat-sahabatnya melihat laki-laki itu mengeluarkan sepucuk pistol dari balik saku pakaiannya. Ia-pun memperhatikan dan memeriksa pistolnya. Setelah itu, ia mengembalikannya lagi ke dalam saku bajunya.
Semua peristiwa itu telah ditetapkan oleh tim investigasi dan diakui sendiri oleh terdakwa. Ya, terdakwa telah mengakui semua tuduhan yang didakwakan kepadanya. Akan tetapi, pertanyaan yang masih menjadi buah bibir orang-orang adalah: Benarkah ia tidak memiliki partner dalam melakukan kejahatan ini? Sayangnya, tim investigasi tidak mampu mengorek terdakwa dan mengeluarkan satu-pun nama di balik perilaku kejahatan ini.
Dalam masa-masa penyelidikan, anda dapat melihat bagaimana penjahat itu menjalani semuanya dengan tenang...sebagaimana yang anda lihat sekarang...ia menolak keterlibatan orang lain dalam melaksanakan tindak pembunuhan tersebut. Ia tidak dapat memberikan jawaban yang sangat terperinci. Atau, siapakah yang menjadi kawannya dalam membunuh. Benar-benar strategi yang sangat terampil dan bukti yang sangat kuat! Ia juga tidak memberitahukan, siapakah dalang yang menggerakkan, memerintahkan dan mengeluarkannya dari kedamaian!
Dan senyumannya....seumur hidupku, dalam proses pengadilan yang begitu panjang, aku tidak pernah menemukan seorang penjahat yang memiliki kekuatan dan kepintaran seperti ini...pastilah ada sesuatu yang dapat mendorong pemuda “murah senyum” ini untuk bunuh diri dan mengeluarkan semua isi hatinya...ia benar-benar seperti gunung es yang dikelilingi oleh hewan-hewan melata...Ia selalu tenggelam dalam kebisuan...tidak diragukan lagi, pastilah di belakangnya terdapat kelompok lain yang menjadi pengikut dan golongan orang-orang garis keras atau teroris...
Strategi yang telah diambil pembunuh tadi benar-benar telah membuat tim investigasi kebingungan...mereka hanya dapat mengira-ngira bahwa terdakwa sengaja melakukan kejahatan tersebut untuk tujuan politik...karena ia tidak setuju dengan alur politik yang dimainkan oleh korban!
Lihat saja, bagaimana laki-laki ini terduduk manis. Ia tidak terlihat sombong ataupun membanggakan diri...sepertinya, ia tidak pernah tergiur untuk menjadi pahlawan kesiangan...ia juga tidak pernah berusaha untuk melakukan sesuatu agar mendapatkan jubah kebesaran nasionalisme dan patriotisme!!...
Di samping itu, ia juga tidak menginginkan orang lain untuk menafsirkan ataupun menjustifikasi semua yang ia lakukan. Ia tetap terdiam....Semuanya itu ia lakukan sebagai langkah preventif. Agar kedua kakinya tidak tergelincir...atau, mempergunakan lisannya untuk menggali kuburnya sendiri. Jangan sampai dari untaian kata-katanya dapat membuka rahasia-rahasianya. Satu-satunya kalimat yang keluar dari dalam mulutnya adalah: “Aku telah membunuhnya secara sengaja. Oleh karena itu, aku serahkan kepalaku untuk digantung. Laksanakanlah tugas kalian dengan segera. Jangan membuang-buang waktu saya dan juga waktu anda semua dalam hal-hal yang tidak ada manfaatnya!...”
Jaksa penuntut umum terdiam dan kemudian berkata kembali: “Ini adalah seorang penjahat yang telah selesai melaksanakan tugasnya. Ia menginginkan hukumannya dilakukan dengan segera dan jelas. Sebagaimana jelasnya dokumen yang ada pada saya. Dalam dokumen ini, laki-laki yang ada di hadapan anda sekalian ini menyatakan ingin segera menghilang dari pandangan masyarakat! Dosa laki-laki ini tidak akan habis hanya dengan pelaksanaan hukuman mati. Karena, kejahatan yang sama pasti masih akan berlangsung. Sekalipun, yang melakukannya adalah penerus-penerusnya.
Seandainya anda sekalian membelah tengkorak kepala laki-laki ini, niscaya kalian akan mengetahui rentetan peristiwa kejahatan lengkap dengan nama-nama korban. Dimana ia akan mengetahui kapan mereka akan menemui ajal mereka. Dan ia juga akan tahu, siapa orang yang akan menghabisi orang-orang tersebut!
Yang mulia...di hadapan kalian adalah seorang laki-laki yang sangat berbahaya! Saya harap...anda semua tidak akan terperdaya oleh penutup wajah dari sutera ini yang mengisyaratkan ucapan selamat tinggal dan keberanian...karena, di balik semuanya itu terselubung jiwa kotor seorang penjahat. Bahkan, pembunuh paling brutal. Dan saya akan menerangkan kepada kalian segala sesuatu yang memenuhi berkas-berkas dan catatan-catatan sosok penjahat kakap yang satu ini dan penolak-penolakannya terhadap politik!...
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, jaksa penuntut diam untuk sesaat. Ia meminum segelas air di atas podium dengan gerakan yang sangat mantap. Terlihat di wajahnya raut keoptimisan dan keteguhan. Sang jaksa berusaha untuk membuat semua orang memandangnya dengan pandangan kekaguman. Singkat cerita, sepanjang hari itu, sang jaksa-lah yang menguasai podium. Dan semua pengunjung mendengarkan berita dakwaannya tersebut. Mereka memasang telinga dengan baik dan mata yang terpesona. Kecuali, terdakwa. Rasa kantuk menyerangnya sudah dari beberapa jam yang lalu. Ia-pun tertidur sampai akhir. Maka, polisi-pun membangunkannya untuk menggiringnya ke sel.
Kemudian, mereka-pun kembali ke ruang persidangan pada hari selanjutnya. Tentunya, untuk mendengarkan sisa dakwaan jaksa penuntut umum. Akan tetapi, dakwaannya tidak juga selesai. Dan semuanya juga tidak tahu, kapan dakwaan itu selesai...
Terdakwa-pun mulai memperhatikan tangan jaksa penuntut umum yang membuka lembar demi lembar dakwaannya. Ia berharap, hari demi hari yang dilaluinya ini segera berakhir. Rasa sesak telah menyerang dadanya. Seperti halnya rasa bosan yang telah memakan kesabarannya...lebih dari biasanya...apa manfaatnya mendengarkan semua yang diucapkan jaksa penuntut umum? Toh dirinya sudah bukan lagi penduduk bumi...sekarang ini, ia tengah berjalan menuju alam lain!...
Kini, posisinya sama persis dengan orang yang naik kereta api, meninggalkan negaranya dan pergi menuju wilayah lain yang sangat jauh...Akan tetapi, orang-orang mencegatnya hanya untuk mendengarkan perkataan yang sangat panjang ini?! Padahal, ia
menganggap perkataan itu tidak penting ataupun menarik sama sekali. Bencana tersebut tidak berhenti sampai disitu. Ternyata, masih ada jaksa penuntut lainnya. Bahkan, dengan berkas-berkas yang lebih tebal dari jaksa pertama. Setelah itu, jaksa penuntut lainnya akan meminta dirinya untuk menulis bantahan. Dan ini akan membutuhkan waktu berhari-hari...
Dalam persidangan tersebut, terdakwa tidak mau mempergunakan pengacara. Ia juga tidak memberikan bantahan-bantahan atas tuntutan jaksa penuntut umum. Akan tetapi, persidangan memaksanya dengan mendatangkan seorang pengacara. Karena, kehadiran seorang pengacara dalam proses persidangan sangatlah penting...senang ataupun tidak....itulah yang dinamakan dengan “Keadilan”...??!
Begitulah, laki-laki itu menghabiskan waktunya antara sadar dan tidak. Seperti orang yang pingsan saja...Ia hanya dapat memperhatikan sang jaksa dengan diam...Terkadang, jaksa penuntut umum berhenti sesaat. Ia beristirahat sejenak untuk meneguk segelas air dan menghapus keringat yang bercucuran di keningnya. Akhirnya, pemuda itu sudah tidak dapat bersabar lagi...ia-pun bangkit dan berkata di depan mahkamah dengan suara yang lembut dan penuh etika. Hal tersebut membuat orang-orang yang hadir terkagum-kagum. Ia berbicara dengan nada tenang...sehingga, semua orang tertarik untuk mendengarkan tiap-tiap ucapan yang keluar dari mulutnya.
Ia berkata: “Majelis hakim yang mulia...dengan tidak bermaksud memotong dakwaan jaksa penuntut umum...Bahkan, saya adalah salah satu yang merasa terkagum-kagum dengan sosok beliau. Seorang jaksa yang telah berhasil mendapatkan perhatian para pendengar dan menyampaikan bait-bait kata dengan sangat dimengerti. Dan saya tahu, bahwa kondisi-lah yang menuntut beliau agar berbicara panjang lebar...
Korban...adalah tokoh yang sangat penting...para pendengar yang hadir juga sangat antusias dengan kasus ini...dan masyarakat-pun berbicara tentang motif yang mendorong saya untuk membunuh dan tujuan di balik itu semua...
Oleh karena itu...tidak heran seandainya saudara jaksa penuntut umum yang terhormat, membutuhkan waktu satu atau dua hari untuk membacakan dakwaan...dibenarkan ataupun tidak...ia harus berusaha sekuat tenaga untuk mempersiapkan itu semua. Kita lihat bagaimana kerongkongannya kering dan keringatnya yang bercucuran. Semuanya itu ia lakukan supaya ia layak untuk
mendapatkan pujian manusia di berbagai pertemuan. Tentunya, karena semangatnya yang tinggi dan dakwaannya yang sangat bagus...Dan saya juga sadar bahwa mahkamah memang akan memberikan idzin kepadanya...
Saya juga tahu, bahwa mahkamah akan membutuhkan waktu lama untuk mendengarkan dan tertarik oleh perkataan sang jaksa. Memperhatikan seluruh ucapan yang keluar dari mulutnya. Semuanya itu agar ia berhasil mendapatkan pujian manusia. untuk proses pengadilan ini....juga telah hadir seorang pengacara yang telah diutus untuk membela saya. Dan anda semuanya juga mungkin dapat memperhatikan bagaimana ia dengan cermat mendengarkan jaksa sambil memperhatikan lembaran-lembaran dakwaan yang ada di hadapannya. Karena, dari lembaran-lembaran tersebut, ia akan mempersiapkan pidato yang sangat panjang untuk membela saya. Sekalipun, itu tidak akan merubah pendapat kalian terhadap saya. Sebagaimana pidato pembelaannya tersebut juga tidak akan merubah nasib saya sama sekali. Akan tetapi, ia masih berharap, setelah pidatonya selesai ia akan mendapatkan penghormatan dari anda semua...
Kalian semuanya adalah pembantu tegaknya proses “keadilan”. Padahal, dalam memandang terma itu, saya sendiri masih meragukannya!! Dan hadirin! Saya rasa kalian bukanlah orang-orang yang harus saya cela, seandainya kalian memposisikan mereka dalam sebuah prosesi agung. Berjalan sambil bernyanyi dan mengendarai mobil sambil berteriak-teriak. Berjalan dengan sombong di antara mata yang memandang dengan iri dengki. Memperhatikan setiap langkah kalian dan berdiri bersama orang-orang yang bersorak soray.
Hanya saja, satu permintaanku, bawalah pergi pawai tersebut dengan sedikit cepat dari hadapanku...setelah itu, kalian bebas untuk membangun sebuah kedigjayaan di atas setiap desahan nafas seorang laki-laki yang telah mati!”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia-pun duduk kembali. Sebagaimana, ia bangkit pertama kali. Ruangkan itu-pun diliputi kesunyian dan kebisuan. Semuanya diam. Akhirnya, hakim ketua memecah keheningan dengan memalingkan pandangannya ke arah jaksa penuntut. Dan memintanya untuk meneruskan kembali berkas dakwaan. Tentunya, tanpa memberikan kesempatan kepada siapapun untuk berkomentar atas segala sesuatu yang diungkapkan oleh terdakwa tadi.
Sang jaksa-pun meneruskan dakwaannya sampai selesai. Dan pada akhir dakwaannya, jaksa penuntut umum meminta mahkamah untuk menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa. Sesuai, dengan teks hukum yang berlaku. Ia-pun kembali ke tempatnya. Akhirnya, hakim ketua mengumumkan: “Bantahan...”
Sang pengacara-pun berdiri dan meletakkan kacamatanya di atas kertas-kertas yang ada. Kemudian, ia berkata: “Majelis hakim yang terhormat!...Apabila tugas jaksa penuntut umum dirasakan mudah, sebagaimana yang ia katakan tadi, maka tugasku ini sangatlah berat. Bukan hanya karena tujuanku untuk menolong kepala terdakwa yang disebut-sebut sebagai penjahat....akan tetapi, lebih dari itu. Pertama kali dalam sejarah, terdakwa yang ada di hadapan anda sekalian ini menganggap pengacaranya sebagai musuh paling besar. Dan memang, terdakwa inilah satu-satunya musuh saya dalam kasus kali ini...dialah satu-satunya orang yang saya takuti sekaligus membuat dia takut. Dimana dia menghindar dari saya dan saya-pun menghindar dari dia. Dia tidak berbicara kepada saya. Dan begitu pula dengan saya, saya tidak berbicara kepadanya...
Jaksa penuntut umum tadi telah mengadukan terdakwa. Karena ia berusaha bungkam dan tutup mulut. Ia telah memberitahukannya! Oleh karena itu, saya lebih berhak dan lebih utama untuk mengadukan terdakwa. Saya tidak pernah berhasil membuka percakapan dengannya. Karena, satu-satunya kalimat yang keluar dari mulutnya adalah: “Seandainya anda diharuskan untuk mengerjakan kewajiban anda di mahkamah, maka bacalah surat al Fatihah atas ruhku dengan suara yang keras!”
Terdakwa ini benar-benar mengharapkan kematian. Maka, ia akan mengambil jaksa penuntut umum sebagai teman dan pengacaranya sebagai musuh. Dan saya tidak tahu, apa yang mendorong saya untuk menurunkannya dari tiang gantungan. Dan mencari cara untuk meringankan hukumannya. Sampai akhirnya, saya mendapatkan sesuatu yang hanya akan membuatnya marah dan kecewa kepadaku??!...
Mungkin, benar katanya....kesediaan saya menjadi pengacaranya hanyalah untuk mencari penghormatan, sebagaimana yang ia katakan tadi. Atau, untuk mendapatkan tepukan tangan dari seluruh yang hadir di sini...boleh jadi! Secara pribadi...saya tidak menganggap bahwa kepala terdakwa sangat penting bagi saya...Akan tetapi, menyelamatkannya, sekalipun sikapnya seperti itu, akan sangat berarti bagi saya...
Majelis hakim yang terhormat...anda semuanya tidak akan mendengar keberatan terdakwa dari saya. Akan tetapi, anda akan mendengar sebuah kisah...kalian hanya akan mendengarkan berbagai peristiwa yang pernah terjadi dalam kehidupan terdakwa. Sebagaiman saya juga mengikutinya alur kisah ini sebelumnya, tanpa berkomentar ataupun dibubuhi kisah yang lain...
Beberapa tahun yang lalu, ada seorang pemuda yang belajar di sebuah jurusan sastra...Dan pada waktu itu, setiap orang pasti mengenalnya. Bagi mereka, ia adalah seorang pemuda yang rajin, beretika sangat halus, senang menyendiri dan mencintai syair. Ia bukanlah sosok pemuda pembuat kegaduhan, berpoya-poya ataupun bersenang-senang. Ia-pun menghabiskan tahun pertamanya tanpa menimbulkan masalah....sampai pada tahun ke tiga....
Akan tetapi, akhirnya beberapa sahabatnya melihat bahwa sahabatnya tersebut tengah terkurung dalam suatu perasaan terhadap salah seorang “teman perempuan” yang sekelas dengannya. Sebuah perasaan yang telah mengikat antara dirinya dan pelajar perempuan tersebut dalam sebuah hubungan. Hubungan ini mulai tercium, pada tahun terakhir masa pendidikan mereka. Sekalipun, keduanya berusaha untuk menutup-nutupinya. Sekalipun, keduanya telah sepakat untuk berhati-hati dan menutup-nutupi hubungan tersebut. Bagaimana tidak, pertalian yang ada di dalam hubungan mereka sangat kuat dan panas....Sampai-sampai memercikkan api yang membara...
Bagi mereka, sebuah kebersamaan memiliki arti keihklasan dan ketulusan. Itu semuanya dapat dilihat oleh orang-orang yang merasa kagum dan terpesona ketika memperhatikan hubungan yang terjalin di antara keduanya. Setelah beberapa saat lamanya, barulah diketahui bahwa cinta mereka telah tumbuh semenjak mereka memasuki bangku sekolah, tahun pertama. Tepatnya, ketika keduanya bertemu untuk pertama kalinya. Akan tetapi, mereka berusaha menyembunyikan hubungan tersebut selama dua tahun.
Sampai akhirnya sang bunga telah mekar dan mereka menganggap bahwa waktu bersembunyi telah usai. Keduanya memiliki janji dan tujuan...berhasil dan mendapatkan kemenangan dengan lulus dari kuliah sastra. Maka, si pemuda-pun mendatangi rumah keluarga si gadis untuk melamarnya. Ia berjanji akan menikahi si gadis, setelah dirinya mendapatkan pekerjaan. Sehingga, ia dapat menanggung kebutuhan keluarga kecilnya....
Waktu ujian akhir-pun telah dekat. Si pemuda berusaha sekuat tenaga untuk mempersiapkan ujian. Begitu pula dengan si gadis. Keduanya berusaha dengan semampunya sampai mereka lupa makan dan minum. Perasaan cinta telah menjadi cambuk bagi mereka untuk menjadi sepasang kuda yang berlari kencang mencapai tujuannya! Mereka-pun akhirnya berhasil melalui tujuan pertama...mereka lulus ujian. Akan tetapi, salah satu dari dua kuda tersebut terjatuh....ia jatuh sakit karena penyakit radang paru-paru....si gadis itu...
Dari sinilah awal mula bencana...penyakit tersebut telah mengikat keduanya....sebuah ikatan yang bukan berasal dari kekuatan manusia...
Si pemuda-pun dengan segera pergi ke keluarga si gadis untuk meminangnya....Setelah itu, ia berusaha untuk menyembuhkan si gadis. Sayangnya, usaha dalam menyembuhkan si gadis menerima rintangan yang tidak sedkit....semuanya itu benar-benar dirasa sulit untuk diterima akal sehat...
Si gadis berasal dari keluarga miskin. Begitu pula dengan sang pemuda! Ia benar-benar telah melakukan sesuatu yang mustahil. Sampai akhirnya, sang pemuda itu mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru di sekolah di Alexandria. Dan ia terus berusaha seperti layaknya seorang pahlawan. Tujuannya tidak lain, untuk memasukkan sang kekasih ke sebuah sanatorium di wilayah Hilwan. Ia-pun meminta kepada para dokter dan suster yang ada di sana untuk tidak merokok, untuk lebih menjaga kesehatan kekasih tercinta.
Ia telah siap untuk membiayai seluruh biaya pengobatan sang kekasih. Sekalipun, harus dibayar dengan darahnya sendiri! Benar saja. Ia telah berusaha dengan mengerahkan seluruh kekuatan dan akalnya untuk memberikan pelajaran tambahan di luar jam kerjanya di sekolah. Sampai akhirnya, ia dapat mengumpulkan uang untuk membayar para perawat dan proses pengobatan. Selain itu, uang tersebut juga ia sisihkan untuk transfortasi. Karena, ia juga harus menjenguk sang kekasih, sekali dalam seminggu. Dengan tujuan, untuk memberikan semangat dan dukungan kepadanya agar kuat dalam menghadapi sakit ini. Maka dari itu, ia sering sekali pulang pergi ke kota Kairo.
Akan tetapi, semuanya itu sia-sia. Sekalipun, ia telah berusaha sekuat tenaga...dan membelanjakan uangnya dengan sangat hemat. Akhirnya, ia mendapatkan teguran dari kantor sekolah, sahabat-sahabatnya sesama tenaga pengajar dan pendidik.
Dan jaksa penuntut umum telah membenarkan bukti tersebut. Dengan membeberkan keterangan dari pengamat sekolah yang menyatakan bahwa terdakwa dalam keadaan krisis keuangan.
Seandainya roh yang terbalut oleh jasad dapat digadaikan di pasar atau dijual, maka pemuda ini tidak akan ragu-ragu lagi untuk menggadaikan dan menjualnya. Supaya dirinya dapat mempergunakan uang tersebut guna menyelamatkan hidup orang yang dicintainya...dengarkanlah kata-kata yang ia tulis kepada gadis tercintanya:
“Ah...seandainya aku mampu membeli setiap nafas, sehingga dirimu dapat bernafas dengan lega. Sekalipun, setiap desahan nafas itu harus kubayar dengan umurku selama bertahun-tahun!...Betapa lemahnya para dokter itu wahai kekasihku!...Mengapa tidak kau bagikan rasa sakitmu kepadaku?! Ah...seandainya aku dapat memberikan nafas ini untukmu? Kuatkanlah dirimu kekasihku...demi aku....karena udara yang membuatku bertahan hidup hanyalah udara yang membawa harum tubuhmu...kamu harus hidup agar aku bisa hidup!...”
Tentu saja si gadis juga menjawab surat sang kekasih...Sayangnya, saya belum dapat menemukan surat tersebut. Karena, pemuda itu telah dengan sengaja menyembunyikannya dari saya. Maka, semua yang saya miliki hanyalah surat-surat pemuda itu kepada kekasihnya. Dan saya telah menemukan salah satunya...dengarkanlah isi surat ini, sebagai jawaban atas surat balasan si gadis: “Engkau telah membuatku berfikir untuk segera bertemu denganmu. Pada saat engkau meninggalkan bumi ini, engkau telah memaksa seorang laki-laki untuk mati tercekik dan tidak dapat menghirup udara! Setelah kepergianmu, di bagian bumi mana aku harus hidup? Apakah aku dapat menjalaninya? Kekasihku, percayalah pintu langit telah mengikat ruhmu dengan ruhku...dan pada saat kamu naik ke atas sana...aku akan segera menyusulnya!...”
Dan begitulah...surat-surat itu terus mengalir dan berhasil aku kumpulkan. Jumlahnya sangat banyak. Telah disebutkan oleh para saksi sebelumnya bahwa laki-laki ini sering sekali menulis pada saat-saat senggangnya. Raut wajahnya terkadang berubah sangat serius, terlihat emosional dan tergoncang....ia telah menulis surat-surat itu kepada sang kekasih setiap hari...”
Kondisi si gadis kian hari kian memburuk...dan kematian-pun sudah di ambang pintu....sementara, sang pemuda tengah sibuk dengan pekerjaannya di
Alexandria...Ketika detik-detik kematian akan menjemputnya....dari kedua bibir si gadis hanya terucap nama sang kekasih...pihak keluarga si gadis-pun segera mengirimkan telegram kepada si pemuda untuk segera datang ke Kairo...Karena, si gadis tengah merenggang nyawa...melepaskan nafas terakhir...
Ketika telegram itu datang, ia baru saja keluar dari salah satu kelas. Maka, ia-pun segera membacanya. Raut wajah si pemuda langsung memucat. Lidahnya seakan kelu...ia segera menuju ke kamar majelis guru, melemparkan buku dan catatan-catatan yang ada dalam pangkuannya. Ia meyakinkan kembali, bahwa pistol miliknya masih ada di tempatnya...ia telah menyiapkan semuanya itu semenjak jau-jauh hari sebelumnya. Ia berfikir, inilah puncak drama kehidupan yang harus dilaluinya....ia khawatir, ketika dirinya sampai di Kairo, sang kekasih telah menghembuskan nafas terakhirnya...maka, ia-pun lebih memilih untuk naik pesawat... dan semuanya itu telah dikatakan oleh para sahabatnya, sesama tenaga pengajar...dan kemudian ditegaskan kembali oleh jaksa penuntut umum.
Pada satu sisi, keterangan sang jaksa benar...Terdakwa memang naik pesawat...dan benar juga bahwa dalam pesawat itu hanya ada dirinya dan satu penumpang lainnya. Pesawat-pun berangkat dalam keadaan kosong...seiring pesawat yang terbang...terbang pula fikirannya tentang sebuah kematian...apakah ia tidak akan terlambat untuk bertemu dengan kekasih tercinta?...Seandainya pesawat ini dapat berjalan lebih cepat!...Tapi, mengapa pesawat ini seperti bergantung di atas langit?! Seandainya pesawat ini memiliki seribu sayap...tentu pesawat ini tidak akan dapat didahului oleh burung ataupun hatinya yang semakin gelisah...
Dan tiba-tiba saja, terjadi sesuatu yang sangat mengherankan. Sang pemuda mendengar suara si gadis memanggil namanya dengan sangat jelas...si pemuda-pun merasakan badannya bergetar dan menggigil...kemudian ia juga merasa bahwa kedua matanya telah melihat sesuatu yang tidak menyentuh bumi...ia lewat begitu saja dengan sangat cepat seperti cahaya kilat...mengiringi pesawat yang semakin menambah ketinggiannya....pada saat itulah dia yakin...bahwa ruh sang kekasih telah meninggalkan jasadnya...dan semuanya itu...memang benar...
Keluarga si gadis telah menceritakan semuanya itu kepada saya. Pada saat-saat terakhir, si gadis menjerit lirih...memanggil nama sang kekasih...dan saya yakin...pemuda
itu telah mendengar jeritan suaranya di pesawat...dan keadaannya-pun semakin tidak terkendali...ia juga harus mengucapkan selamat tinggal...ia meyakini bahwa dirinya adalah pemilik kehidupan yang lebih abadi...oleh karena itu...untuk apa ia meneruskan perjalan ini...untuk apa ia menemui jasad yang tergolek di pembaringan tanpa nyawa...
Kini, ruhnya telah pergi...dan sepertinya, sang kekasih telah memanggilnya untuk hidup bersama di alam sana dengan segera...ia-pun akhirnya mengeluarkan pistolnya dan mengarahkannya ke kepala...kemudian melepaskan pelurunya...di sinilah masuk takdir Tuhan..pesawat mengalami goncangan yang cukup kuat...arah peluru-pun beralih dari kepala terdakwa ke dada penumpang pesawat lainnya yang duduk, tepat di belakang tempat duduknya...
Pada awalnya, sang pemuda sangat terkejut dan melupakan permasalahan yang dimilikinya untuk sesaat...ia-pun segera menuju kursi korban dan berusaha untuk memberikan pertolongan....dan pada saat itulah, tekhnisi pesawat merasakan adanya gerakan...ia-pun bangkit dari tempat duduknya dan dengan segera memburu korban yang tengah dalam keadaan kritis.....
Pada saat itu, tekhnisi pesawat melihat terdakwa tengah membawa pistol di tangannya....ia-pun sudah tidak ragu lagi...ia segera merampas alat yang dipergunakan untuk membunuh tersebut dan kemudian mengamankannya... Akhirnya, si pemuda-pun dijadikan sebagai terdakwa kasus kejahatan...untuk sesaat, sang pemuda berfikir...maka, ia melihat bahwa langkahnya menuju cita-cita yang diinginkan akan tercapai dengan mengikuti alur tersebut...karena, pengakuan terhadap pembunuhan secara di sengaja hukumannya tidak lain adalah kematian yang sangat diharapkannya...
Majelis hakim yang terhormat...ini semuanya adalah bukti-bukti yang saya miliki...selanjutnya, saya mempersilahkan jaksa penuntut umum untuk melanjutkan kepada langkah penyidikan selanjutnya...untuk membuktikan bahwa terdakwa yang ada di hadapannya telah mengecohnya...dan jaksa telah memenjarakan sebuah hati yang terluka di terali ini. Perlu anda ketahui harapan terdalamnya sekarang adalah bertemu dengan kekasihnya di langit sana!...”
Sang pengacara-pun duduk kembali dengan tenang...meninggalkan majelis hakim, jaksa penuntut dan hadirin yang memenuhi ruangan tenggelam dalam kebingungan...mereka tenggelam dalam kebisuan...sampai akhirnya, terdengarlah isak
tangis dengan suara memburu...pemuda itu berusaha untuk menahan diri dan menahan semua sesak dalam dadanya...ia berusaha mengalahkan emosinya...sampai akhirnya ia benar-benar jatuh dalam kekalahan...ia berusaha untuk diam dan semuanya itu telah membingungkan semua orang...
Tiba-tiba...ia berteriak di ruangan tersebut dengan suara yang bergetar: “Pengacara ini bohong....tukang karang...semua yang diucapkannya bohong dan mengarang-ngarang saja...aku adalah pembunuh....aku membunuh dengan sengaja...aku membunuh dengan sengaja...bunuhlah aku...bunuhlah aku!...” Dan tangisannya-pun akhirnya meledak...air mata-nya mengalir di kedua belah pipinya...seakan-akan, ia tengah menulis pertimbangan hukum yang akan dijatuhkan kepadanya...
Akhirnya, Keluar Juga Ide Itu!…
- Apa ini yang menggetarkan dinding kepalaku?
• Ide pemikiran
- Apa yang ia inginkan?
• Tentu saja keluar!...
- Sekarang? Di tengah malam seperti ini? Dimana manusia tengah tertidur. Dan rasa kantuk telah memintaku untuk menutup kedua kelopak mata ini?!
• Tentu saja sekarang. Apabila aku tidak dapat keluar sekarang...aku tidak akan keluar selamanya...
- Apakah kamu tidak melihat diriku yang menguap? Dan sekarang ini aku sudah tidak kuat?! Apakah kamu sudah tidak dapat menunggu sampai pagi?!
• Aku benar-benar sudah tidak dapat menunggu...aku harus keluar sekarang...
- Kenapa kamu harus memilihku pada jam-jam seperti ini. Di saat aku ingin tidur dengan lelap?
• Bukan aku yang menentukannya. Aku memang telah terbentuk dalam kepalamu. Sebagaimana halnya janin yang berada di perut ibunya. Dan sudah waktunya keluar...


- Bagaimana mungkin itu dapat terjadi. Sedangkan aku sendiri tidak pernah merasakan hal itu sebelumnya?! Yang kurasakan dalam kepalaku hanyalah kekosongan seperti kantong air yang dilubangi...
• Aku mengalami proses pembentukan tanpa kau sadari...aku telah terbentuk semenjak bertahun-tahun yang lalu.....sekarang, aku telah terbentuk dengan sempurna. Dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk keluar...

- Kemana kamu akan keluar?
• Ke dunia tentunya. Ke atas sebuah kertas...bangunlah orang malas...letakkanlah semuanya di atas kertas...dan sebarkan aku ke orang-orang...

- Dasar curang! Apa yang akan terjadi pada dunia seandainya kamu keluar?!
• Entahlah? Mungkin wajah dunia akan berubah...mungkin juga akan bertambah indah...dan mungkin saja kondisinya akan menjadi semakin memburuk!...

- Hanya karenamu?!
• Ya, hanya karenaku...dan ini bukan untuk yang pertama kalinya aku melakukan semuanya itu....kamu dapat melihat piramida itu dari jendela kamarmu...itu adalah bagian dari sebuah ide...dan cahaya lampu yang menyinari kamarmu...juga bagian dari sebuah ide...kemudian, radio ini, dimana kamu dapat mendengarkan suara dunia. Itu juga merupakan sebuah ide...seperti halnya berbagai kebangkitan yang mulai terlihat di beberapa negara...itu juga merupakan bagian dari sebuah ide...

setelah itu, agama yang menjadi ciri manusia juga hasil dari sebuah ide...begitupula dengan nila-nilai seni yang dinikmati oleh manusia secara keseluruhan...telah diilhami dari sebuah ide pemikiran...Bahkan, seluruh peradaban anak Adam di atas bumi, semuanya telah diilhami oleh sebuah ide pemikiran...Dan kamu perlu tahu, bahwa ide-lah yang telah membedakan antara manusia dengan binatang. Karena, manusia dapat melahirkan sebuah ide, sedangkan binatang tidak...Bagunlah dan buang kemalasanmu. Berbahagialah, karena kini, di otakmu telah ada sebuah ide pemikiran.
- Apakah ide tersebut hanya ada di kepalaku saja? Bukankah pada setiap kepala manusia memiliki ide sendiri-sendiri? Bagaimana itu bisa terjadi ya...padahal jumlah mereka jutaan?!


• Benar, akan tetapi, sedikit sekali di antara mereka yang dapat mengeluarkan ide pemikirannya...

- Jadi, nilai kelebihanmu tergantung pada keluar atau tidaknya?
• Benar, dan aku akan hidup. Selain itu, peristiwa ini sangat jarang terjadi di muka bumi...seandainya kamu dapat memperhitungkan...maka, ambillah pena dan kertas. Barulah setelah itu, kamu akan segera melihat keajaiban...

bumi ini...memiliki penduduk lebih dari seribu juta manusia...seandainya kamu saja memperkirakan bahwa satu juta manusia setiap abadnya melahirkan satu ide pemikiran...maka di dunia ini akan ada satu juta ide pemikiran yang hidup pada setiap seratus tahunnya...
Memang, semuanya itu tidak akan pernah terjadi selamanya...karena satu abad yang memiliki sepuluh ide pemikiran saja sudah dapat hidup dan memberikan manfaat kepada manusia. Mereka menamakannya dengan masa kebangkitan atau masa keemasan bagi manusia!...
- Jadi, dengan keluarnya kamu dari kepalaku saja tidak cukup?...
• Tidak...denganku saja belum cukup. Berbagai ide pemikiran yang keluar setiap harinya dari kepala para pemikir, penyair, seniman dan para ulama sangatlah banyak....Terutama dewasa ini, kita dapat melihat berbagai hasil ide pemikiran tersebut. Karena, produksi pemikiran telah terputus dalam jumlah yang sangat besar. Terutama, berbagai ide pemikiran yang menyesatkan....berbagai ide pemikiran tersebut telah memenuhi berbagai surat kabar, buku dan ide pemikiran. Mereka beranggapan bahwa ide pemikiran yang mereka hasilkan akan abadi selamanya...padahal, mereka tidak berbuat apapun...mereka hanya menciptakan sesuatu seperti roti yang dikunyah oleh mulut dengan segelas teh setiap paginya!...”
- Aku fikir, yang penting kamu telah keluar dari kepalaku!...
• Yang terpenting adalah kehidupanku setelah itu...
- Mungkin, yang menjadi unsur terpenting dalam semuanya ini adalah bukan sekedar kehidupanku...akan tetapi, seluruh kehidupan ini...


• Aku tahu!...aku pernah hidup selama satu tahun saja. Sebagaimana hidupnya sebuah trend dan Mode...dan menurutku, ini adalah kehidupan paling tolol sepanjang hidup!...
- Berapa tahun kamu ingin menjalani kehidupan ini, seandainya kamu keluar dari kepalaku?...
• Lebih dari umurmu sampai beberapa tahun lamanya...bahkan, berlipat-lipat dari umur kehidupanmu...aku berharap untuk melihatmu diselimuti oleh debu dan tulang-tulangmu telah hancur. Sedangkan aku pada saat itu, aku masih dalam keadaan sangat sehat dan bugar!...

- Semoga Allah mengutukmu dan semua impianmu itu....
• Apakah kamu tidak merasa gembira seandainya aku masih tetap hidup setelahmu?....
- Bahkan, aku akan merasa bahagia seandainya aku dapat hidup lebih lama darimu. Sekalipun, hanya satu jam saja!...”
• Apa yang akan kau lakukan dengan umurmu. Padahal, ide fikiranmu telah mati? Apa rasanya sebuah hidup bagi seorang ayah yang telah kehilangan anak-anaknya. Dan hidup sendiri sampai akhir hayatnya?!
- Semua ini memang menyakitkan...dan yang kamu katakan tadi benar-benar musibah bagi orang-orang yang melahirkan anak-anak...oleh karena itu, selama aku dapat mencegah proses kelahiranmu....kenapa juga aku tidak melakukannya? Karena mengeluarkanmu tentu saja sangat melelahkan...
• Akan tetapi, dengan mengeluarkanku, berarti kamu mendapatkan nilai lebih!...

- Coba kamu sebutkan, apa kelebihan-kelebihan tersebut?
• Secara penciptaan, kamu akan melihat diriku sebagai makhluk yang sempurna. Sama, seperti dirimu. Mengingatkanmu dengan seluruh perbuatan buruk yang pernah kamu lakukan. Di hadapanmu akan terpampang sebuah cermin yang akan mengontrol sifat dan kepribadianmu. Aku akan menjadi tempat penyimpanan semua karakteristik dan keutamaan-keutamaanmu. Di samping, aku juga akan menjadi tongkat estafet keberadaanmu. Terkadang, manusia juga akan merasa terkesan terhadapku. Hal tersebut akan mendorong mereka untuk memanfaatkan. Dan satu hal lagi, aku akan memenuhi seluruh hasrat dirimu.


- Satu-satunya hasrat diri yang ingin aku lakukan sekarang adalah mengeluarkan kamu dari kepalaku ini.
• Inilah sifat yang harus aku manfaatkan dari dalam dirimu (Kesombongan dan keinginan diri untuk pamer). Baiklah, kalau begitu keluarkan aku sekarang juga!...”
- Akan tetapi, kamu belum memberi tahukan kepadaku, apa manfaatnya bagimu, seandainya aku keluarkan dirimu sekarang juga?!
• Bodoh sekali pertanyaanmu ini! Apakah kamu dapat berhenti untuk tidak mempertanyakan tentang kemaslahatan dalam hidup? Keinginan untuk hidup sangat berkaitan sekali dengan keberadaan kita di dunia ini!

- Jadi, sekarang ini kamu ada dalam kepalaku?
• Tentu saja...ini...aku telah menjerit dan meminta keluar untuk merasakan kehidupan.
- Baiklah, kalau begitu, tunggulah barang sebentar...sampai aku mengambil pena dan kertas
• Awas! Jangan lama-lama...

- Memangnya kenapa?
• Karena, nafasku akan segera habis...dan cahayaku sepertinya akan segera meredup...dari tadi kamu telah mendebatku dan menghabiskan tenagaku, membuatku letih dan lemah sebelum aku lahir.
- Ah dasar! Aku lupa meletakkan dimana penaku berada...dan kertas...hanya kertas ini yang kebetulan ada di atas meja makan. Secarik kertas pembungkus roti yang menjadi menu sarapanku tadi pagi. Dan lagi kamu telah membangunkan aku dari tidur indahku...oleh karena itu, aku harus memulai semuanya dengan makanan. Karena, kepalaku tidak akan berfungsi apabila perut dalam keadaan kosong.

Jadi, kamu harus tetap bersabar. Aku akan menyelesaikan urusan mulut dulu. Setelah itu, barulah urusan otak. Percayalah, aku akan menyantap makanan dengan cepat dan tidak akan membuatmu menunggu lama. Di saat-saat mulutku mengunyah, aku akan mencari penaku yang hilang...dan lihat...sekarang aku tengah mencari...ah ternyata ini dia...penaku itu ada di atas bupet....
Nah sekarang waktunya untuk mengeluarkanmu..ayolah...bicaralah...keluarlah...ide yang cemerlang!....Ada apa dengan kamu? Kenapa kamu diam seperti ini? kenapa kamu membisu? Dimana kamu berada? Mana kecerewetanmu yang membuat aku terbangun? Ide!...bicaralah!...Jangan sampai kau membuat aku tersedak!...Dimana kamu?...Apakah kau telah pergi?...Apakah kau telah mati...?...Oh sangat disayangkan sekali...kamu telah mati sebelum dapat dilahirkan!..
Ya, benar, ide pemikiran itu telah mati dalam otakku. Sebelum aku dapat mengeluarkannya. Tidakkah anda dapat melihat bagaimana saya sangat lamban dalam mengeluarkannya? Bagaimana menurut anda; apakah ini dosa saya ataukah dosanya? Ah...itu bukan dosa siapa-siapa. Biarkan ia pergi jauh dengan raut cemberut! Dan aku-pun akan meneruskan kembali acara makanku...setelah itu, aku akan pergi merebahkan diriku di atas kasur untuk tidur kembali!
Ini bukan untuk pertama kalinya ia melakukan hal tersebut kepadaku dan aku bukanlah orang yang pertama kali berbicara seperti ini kepadanya...karena, sebuah ide pemikiran akan mati dan lahir kembali. Seperti ribuan ide lainnya yang mampu mengguncangkan ribuan manusia selama beribu-ribu kali dalam beribu-ribu kesempatan!
Wajah Kebenaran..
Bagaimana kamu tahu bahwa saya tinggal di losmen ini? Saya mengucapkan kata-kata tersebut sambil menuntun sahabat sekaligus penerbit buku-buku saya ke kamar. Pada saat itu, saya telah mendengar suaranya di depan pintu yang bertanya kepada pemilik losmen. Ketika itu, ia menyebutkan ciri-ciri saya sebelum ia menyebutkan nama saya. Sepertinya dia tahu, bahwa di losmen ini saya mempergunakan nama samaran...
Ketika ia memasuki pintu kamar, matanya sibuk memandang sekeliling ruangan. Ia juga melihat-lihat tiga buah koper yang saya letakkan di atas lemari dan beberapa buku di bagian kepala tempat tidur. Kemudian, ia juga melihat ke arah gramaphon yang terbuka di atas sebuah meja kecil. Dan sebuah pensil yang berada di antara kertas-kertas yang berserakan di sebuah meja yang terletak di pojokan ruangan.
Berdekatan dengan sebuah vas bunga kristal berwarna biru. Di dalamnya, terdapat beberapa tangkai bunga.
Ia-pun terdiam sejenak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian, ia duduk di atas sebuah bangku yang dekat dari tempat dia berdiri, ia berkata: “Inilah dirimu yang sebenarnya...inilah kehidupanmu yang selalu berpindah-pindah. Katakan kepadaku, sampai kapan kamu akan pindah dari satu losmen ke losmen yang lain, dari satu hotel ke hotel yang lain. Menyembunyikan tempat tinggalmu dari semua orang, sampai kepada diriku?....
Pada hari minggu, seseorang datang kepadaku dan bertanya tentang tempat tinggalmu. Ketika aku ketahuan tidak mengetahui alamatmu, setengah berteriak ia terkejut: “Orang yang paling dekat dengannya sekalipun tidak tahu alamatnya sampai sekarang?” Saya-pun langsung memotong perkataannya: “Dan kamu...darimana kamu mengetahui alamat saya?”
Laki-laki yang ada di hadapanku ini berkata: “Pada suatu malam, aku mengikutimu dari belakang...aku harap, kamu dapat memaafkan kelancanganku ini...sebenarnya...aku hanya ingin...” Sebelum meneruskan kalimatnya, ia berpaling ke arah meja dan kertas-kertas. Kemudian, ia memalingkan pandangannya ke arah pintu yang terkunci. Ya...pintu yang memisahkan antara kamarku dengan kamar samping. Ia-pun tersenyum. Sambil berkata, ia menggerak-gerakkan hidungnya yang mancung: “Sepertinya, saya mencium sebuah kisah yang tertulis dalam tulisanmu!”
Saya-pun menjawab: “Memang, di sini memang terjadi sebuah kisah. Akan tetapi, aku belum menulisnya.” Tanpa Aku sadari, aku-pun jadi ikut memandang pintu yang memisahkan antara kamarku dengan kamar samping, sambil menarik nafas panjang...
Penerbitku itu terus memperhatikan segala tingkah lakuku. Setengah berteriak, dengan aksen bicaranya yang sangat antusias dan aku rasa berlebihan. Ah...isyarat mata yang terlalu didramatisir. Saya tahu, semuanya itu terlalu berlebih-lebihan: “Kamu benar-benar telah menulisnya! Kita benar-benar telah berhasil mendapatkan buku yang disenangi masyarakat banyak! Kita benar-benar akan menerbitkan sebuah buku best seller!”
Aku-pun meletakkan jariku di bibir. Meminta dia untuk diam. Aku segera memasang pendengaranku ke arah pintu pemisah. Tiba-tiba, kami mendengar suara tawa kecil dari arah kamar sebelah. Aku-pun memalingkan pandangan ke arah sahabatku itu. Wajahnya terlihat berseri-seri. Waktu-pun terus berlalu. Akan tetapi, aku tidak mendengar apa-apa. Sahabatku berpaling ke arahku, dengan penuh rasa heran bercampur takjub ia berkata: “Aku tahu!”
Kemudian, ia memberikan isyarat dengan kepalanya yang botak dan sisa rambut bagian depannya yang berdiri. Persis, seperti burung hud-hud. Ia menunjuk ke arah pintu tersebut sambil bertanya dengan suara sangat pelan: “Siapa perempuan itu?” Tidak sadar, aku-pun berkata: “Memangnya, apanya yang menarik?!” Temanku itu berkata: “Oh..tentu saja semuanya. Selama ia dapat menjadi inspirasi bagi kita!”
Dalam hati, aku berkata: “Ah..dasar penerbit...dasar orang yang selalu merugi! Kamulah yang telah mengarahkan perasaan terindah kita sebagai manusia menjadi sebuah omong kosong yang diperjual belikan. Ya, seandainya kamu tahu bahwa semua yang aku tulis untukmu untuk dipublikasikan semenjak beberapa bulan yang lalu, terinspirasi dari pintu ini! Aku telah berbohong kepadamu. Tepatnya, pada hari dimana aku mengatakan kepadamu bahwa suara Mozart hanya berasal dari gitar seorang pemusik yang telah menghasilkan alunan musik yang sangat indah dan menawan.
Padahal, keindahan juga datang dari tawanya yang renyah. Ya, seorang gadis muda yang belum mencapai usia dua puluh tahun. Padahal, aku berjanji kepada diriku bahwa janji dan perasaanku selalu kusimpan dalam hati ini. Ia tidak akan kuberikan, kecuali pada orang-orang yang memiliki perasaan yang sama denganku. Atau, memiliki usia yang tidak jauh berbeda denganku. Baru pertama kali dalam hidupku aku tertarik dengan gadis muda yang terpaut usianya sangat jauh dariku. Apakah ini pertanda aku sudah tua?”
Kemudian, aku melemparkan pandanganku ke kaca lemari pakaian. Aku-pun melihat kerutan yang semakin terlihat jelas di wajah ini. Seolah-olah, itu semuanya merupakan peringatan waktu. Aku-pun berkata: “Tidak. Aku tidak akan menulis apa-pun. Aku telah bosan dengan kehidupan ini. Aku ingin merasakan cinta. Sekalipun, semuanya itu harus kurasakan satu kali saja...”
Dengan terkejut, sahabatku itu berteriak: “Merasakan cinta!? Dan aku menutup tokoku, menjual percetakanku dan tidak menerbitkan lagi majalahku!” Aku berkata dengan suara perlahan: “Tenang, semuanya itu tidak akan pernah terjadi. Aku minta maaf. Sudah lama aku mengeluarkan sesuatu di luar kekuasaanku. Aku tidak pernah tercipta sebagai seorang konsumen pencari kebahagiaan. Dalam artian ekonomisnya, aku hanyalah seorang produser dalam wilayah yang satu ini.”
Sahabatku itu kemudian menjawab: “Masakan yang sudah basi tidak ada yang mau mencicipinya lagi...” Aku-pun berkata dengan jujur: “Bencana terbesar yang aku hadapi dalam kehidupanku sekarang ini adalah, aku tidak pernah dapat membedakan mata kehidupan dunia realitas yang benar-benar aku hadapi dan mana dunia hayalan yang aku tulis dengan tinta dan kertas, yang kemudian aku serahkan kepadamu dan para penerbit lain. Sebagai para pedagang mimpi dan broker imajinasi hayalan belaka!
Sampai hari ini, aku belum dapat membedakannya. Hingga pada suatu ketika, aku mendengarkan suara burung cantik itu. Orang-orang mengatakan bahwa ia adalah seorang perempuan cantik. Bagaimana suara tawanya yang kecil, nafasnya yang lemah dan batuknya yang lembut. Dan aku tidak akan dapat menggambarkan sosok tersebut untuk para pelanggan saya. Aku hanya akan mengagambarkan semua yang ada di kepalaku untukku sendiri.
Dan di sinilah bencananya. Selama berbulan-bulan lamanya, dan aku mendengar suara gramaphon milikku. Dan aku juga yakin, bahwa dirinya juga memiliki kesukaan yang sama dalam menggumi mozart. Bahkan, aku sempat membayangkan si gadis muda itu bertanya-tanya: Siapakah tetangganya ini?
Pada suatu hari, sengaja aku membuka pintu lebar-lebar. Pada saat itu, aku duduk di salah satu sudut ruangan dan melihat dirinya berjalan di ruang depan. Ketika ia melewati pintu kamarku, matanya terlihat memandang ke dalam ruangan dengan penuh selidik. Maaf, yang dimaksud dengan penuh selidik di sini tidak sepenuhnya benar. Karena sekarang, semuanya itu tergantung kepada penilaian kepala itu sendiri yang terkadang masih tercampur-campur antara kejujuran dan kebohongan.
Demi ayahku! Karena pancaran sinar matanya, aku tidak dapat menjalani hidup ini sebagaimana hari-hari kemarin. Hidupmu akan dipenuhi oleh potongan-potongan harapan. Semuanya itu terus bermain dalam kepalaku tanpa dapat aku ucapkan ataupun
dicari jalan keluarnya. Atau, semuanya itu bagia dari rasa takut dalam menghadapi kenyataan? Atau, aku merasa puas dengan seluruh fikiran yang ada di kepalaku ini? Entahlah...aku tidak tahu...
Yang aku tahu...sekarang ini aku menjadikan diri ini sebagai seorang yang terus mengawasi kehidupan gadis itu. Dan terkadang, aku mendapatkan sesuatu yang membuatku frustasi. Perempuan itu telah menikah. Aku pernah melihat suaminya. Dalam pandanganku, laki-laki itu adalah pemuda paling tampan yang pernah kulihat. Sedangkan sang istri adalah gadis pemalas, lamban dan tidak memiliki kegiatan pasti. Dalam pandanganku, dia bagaikan istri seorang bangsawan. Ia tidak akan bangun di pagi hari. Kecuali, setelah waktu duhur lewat. Dan ia tidak akan tidur, sebelum jam dua, lewat tengah malam. Ia memiliki corak kehidupan sendiri. Ia akan bangun telat. Setelah itu, ia akan sibuk berdandan dan melakukan kegiatan-kegiatan perempuan yang tidak penting. Setelah itu, ia akan makan siang sendiri. Mengapa ia santap siang sendiri? Itulah yang semenjak awal aku tidak tahu...
Ketika waktu asar tiba, sang suami-pun pulang dari kerja dengan membawa teman-temannya. Mereka akan bermain kartu atau sibuk berdebat tentang berbagai hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Sampai akhirnya waktu sore tiba. Akhirnya, mereka-pun akan kluar. Dan sang istri tidak akan pulang bersama dengan suaminya, sampai tengah malam tiba.
Malah, aku sempat tercengang ketika waktu malam telah tiba. Setelah kedatangan sang istri, ruangan samping sunyi senyap, tidak ada suara. Hanya suara lembaran kertas yang dibuka satu per satu. Bahkan, terkadang aku setengah berdiri di atas kasurku. Aku-pun melihat cahaya di kamarnya yang berdampingan. Aku dapat melihatnya dari celah-celah daun pintu. Suara lembaran buku masih tetap terdengar dan lampu akan mati ketika waktu telah menunjukkan dini hari.
Aku yakin, pastilah sang suami gemar membaca. Dan sang istri??..ah...paling ia telah tidur beberapa jam yang lalu dan meninggalkan sang suami terjaga di bawah lampu. Akan tetapi, yang semakin menimbulkan pertanyaanku adalah, mengapa aku tidak pernah mendengar suara orang mengobrol. Seakan-akan, kamar tersebut hanya diisi oleh satu orang saja. Aku tidak berusaha untuk menyembunyikannya darimu. Aku memang telah mendapatkan sebuah kisah, bahkan masih mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan
tersendiri dalam mengikuti setiap peristiwa yang terjadi...semoga...semuanya itu dapat engkau baca sendiri mengapa aku jarang sekali keluar dari motel ini...
Sekarang ini, aku tengah melihat kehidupanku yang terus berjalan di ruangan sempit dan kecil ini. Dimana, di tempat yang sama, gadis tersebut juga menjalani kehidupannya. Oleh karena itu, aku tidak merasa bosan. Bahkan, sekarang ini, aku melihat hari-hariku dipenuhi oleh berbagai peristiwa, berbagai warna kehidupan, perasaan indah dan berbagai pemandangan menarik. Terkadang, semuanya itu tidak dapat dibayangkan. Dan semuanya itu terekam di dalam kepalaku...Aku berfikir...apa salahnya?
Pada suatu hari, aku ingin mengenalnya lebih dekat dan lebih jauh. Tentunya, dengan mempergunakan cara-cara yang lain. Maka, pada saat itu aku berkata kepada pemilik losmen: “Nyonya, anda benar-benar telah menghidangkan makanan paling enak untuk saya. Di samping, anda juga telah menyediakan sekaligus menata kamar saya dengan sangat rapi. Bahkan, lebih dari itu, anda juga telah memberikan materi untuk kisah-kisah dan buku-buku saya. Maka, anda adalah orang yang telah memberikan pelayan, tidak hanya pada saya, akan tetapi, juga pada dunia sastra.”
Orang tua yang satu ini-pun membelalakkan matanya kepadaku sambil tersenyum penuh tanya. Sekan-akan, ia tidak dapat memahami apa yang aku maksud. Akhirnya, aku menceritakan maksudku dan memintanya untuk memberitahukan kepadaku orang-orang yang tinggal di losmen ini. Tentu saja, di balik semua itu, ada tujuan yang harus aku capai. Untungnya, si nyonya pemilik losmen tidak mengetahui adanya kepentingan ini. Dan akhirnya, aku menyadari bahwa baginya, memberikan sepiring penuh steak akan lebih berarti dibanding dengan memberikan isi buku yang akan dikenang abadi!...
Dan ketika itu, akhirnya aku menyadari bahwa mahkota yang diletakkan di kepalaku oleh kalian, orang-orang penerbit yang senang bergelut di bidang itu, telah membuahkan hasil. Sehingga, aku dapat memberikan mimpi mereka selama ini. Ya.....asap perkataan...
Kembali kepada si nyonya losmen. Ketika itu, ia menceritakan kepadaku bahwa gadis di samping kamarku telah terikat tali pernikahan dengan pemuda tampan tersebut selama dua tahun. Sayangnya, pernikahan tersebut tidak diketahui oleh ibu sang pemuda yang tengah mengidap penyakit jantung. Karena, sang ibu menginginkan pemuda itu
menikahi salah satu putri kerabatnya yang sangat kaya. Dan sang pemuda sangat menghawatirkan kondisi kesehatan sang ibu yang sangat menginginkan perempuan yang dicalonkannya menjadi istri bagi putranya. Sang pemuda tidak menginginkan kondisi sang ibu semakin memburuk, ketika mendengar pernikahan mereka....
Oleh karena itu, ia telah menempatkan istrinya di losmen ini. Sedangkan pemuda itu sendiri masih tinggal bersama sang ibu. Dimana sang pemuda masih bisa menyuapkan makanan ke mulut ibunya pada waktu makan siang seperti biasanya. Kemudian, ia tidur di rumah sang ibu. Seakan, semua yang dialaminya tidak pernah terjadi. Sangat aneh!!!
Dan memang benar, pada suatu malam, aku telah berpapasan dengan pasangan muda ini yang baru saja pulang. Sang suami hanya mengantarkan istrinya sampai pintu kamar, setelah itu ia kembali ke rumah ibunya. Pemandangan yang terjadi pada pasangan yang berada tepat dihadapanku ini sangat aneh. Sehingga, dari tingkah lakunya, aku dapat menilai bahwa sikap pemuda ini lebih dekat pada sikap seorang laki-laki yang mengantar perempuan simpanannya. Saya melihat, sepertinya perempuan itu sangat mencintai sang pemuda dengan cinta yang sangat mendalam. Sekalipun, untuk semuanya itu, dia harus rela merasakan rasa sakit yang tidak sedikit....
Pemilik losmen ini juga mengatakan kepadaku beberapa kebimbangan si gadis. Tali pernikahan yang diawali oleh rasa cinta yang menggebu itu, kini apinya semakin mereda. Dan hal tersebut di awali oleh sikap sang pemuda yang semakin hari semakin dingin. Gadis itu sangat khawatir kebahagiaanya akan segera berakhir. Ia juga sangat takut, keadaannya tidak ubahnya seperti bunga ros yang tidak dapat hidup lebih dari satu hari!
Pada suatu sore, pemilik losmen datang kepadaku. Saat itu, aku tengah mendengarkan lantunan gramaphonku. Ia membawa sebuah piringan hitam. Perempuan tua itu mengatakan bahwa piringan tersebut milik si gadis yang berada di kamar samping. Si nyonya-pun berbisik lirih di telingaku kalau si gadis sangat ingin mendengarkan lantunan piringan hitam tersebut. Karena, ia ingin membayangkan bahwa suaminya juga tengah dalam kondisi seperti dirinya. Aku-pun segera mengambil dan membalik piringan tersebut. Ternyata, itu adalah nyanyian milik seorang penyanyi Paris: “Damya”.
Nyanyian tersebut diawali dengan bait-bait kata: “Hilanglah keremajaanku diringi dengan hilangnya kehidupanku...”
Aku tidak dapat menyembunyikan ketidak senanganku terhadap musik ini. Apalagi, jika dibandingkan dengan nilai musik-musik yang diperdengarkan di kamarku ini. Akan tetapi, demi si gadis, akhirnya aku memutar nyanyian tersebut dengan gramaphonku. Aku sudah tidak mau mempertimbangkannya lagi....
Sampai sekarang, aku masih menyimpan piringan hitam miliknya tersebut di dalam lemari kecil ini. Tapi, aku sendiri tidak mau membunyikannya lagi. Karena, aku tidak mau membuatnya tenggelam dalam kenangan terlalu mendalam. Gadis itu masih terlalu muda untuk memikirkan hal-hal yang menakutkan seperti itu. Oleh karena itu, aku tidak mau melakukan itu semua.
Terkadang, secara tidak langsung, nyanyian dalam piringan tersebut juga dapat membuat aku semakin terlarut dalam rasa takut dan sedih. Karena, semua nyanyian itu telah mengingatkan aku akan kehidupan yang aku jalani ini. Karena, pada kenyataannya, bait-bait kalimat yang terlantun dalam kisah tersebut sangat bersentuhan dengan kehidupanku. Dan mungkin...isi nyanyian tersebut sama dengan kehidupanku...
Setelah aku menceritakan ini semuanya, mungkin kamu akan bertanya kepadaku: “Jadi, apa hubunganmu dalam masalah ini?” Terus terang, aku tidak akan dapat menjawabnya! Yang aku tahu hanyalah, gadis muda ini telah mewarnai hari-hari dan semua pekerjaanku. Ia telah meninggalkan bekas yang sangat jelas dalam kehidupanku. Dan kebahagiaan yang tertuang dalam bait-bait kalimat yang aku tulis beberapa hari belakangan ini terlahir dari tawanya yang kecil dan renyah, menyerupai tawa anak-anak.
Aku akui, aku banyak memikirkannya. Aku berfikir, sekalipun kehidupannya terlihat begitu bodoh. Begitu pula dengan orang-orang yang berhubungan dengan dirinya. Akan tetapi, aku masih yakin, pastilah pada satu sisi ia memiliki nilai yang sangat berharga. Tidakkah kamu melihat bagaimana ia menyimak dan mendengarkan berbagai musik berkualitas tinggi yang diperdengarkan dari kamarku itu?
Yang selalu mengganggu fikiranku adalah, aku tidak membayangkan bagaimana mungkin ia tidak dapat duduk sendiri sekalipun hanya satu jam saja. Karena, suaminya memiliki teman-teman yang sangat banyak. Mereka duduk dan berbincang-
bincang di kamar tersebut sepanjang siang. Mereka mengelilingi si gadis, seperti lalat yang hinggap di makanan yang manis. Mereka juga sangat terpesona dengan kecantikan yang dimiliki oleh si gadis. Karena, seperti manusia normal lainnya, mereka akan sangat tertarik dengan keindahan makhluk hidup dari lawan jenisnya itu.
Sehingga, mereka tidak akan membiarkan si gadis untuk santai sejenak dengan kesendiriannya. Sama saja, apakah suaminya hadir di tempat tersebut ataupun tidak. Padahal, yang mereka lakukan tidak lebih dari bermain kartu dan berbincang-bincang seputar klub-klub dan bar malam, dimana mereka membawa si gadis setiap malamnya. Sehingga, si gadis tidak akan pulang. Kecuali, tengah malam. Seperti yang telah saya katakan sebelumnya.
Satu hal yang menarik dari gadis kecil tersebut menurut saya adalah, bagaimana ia merenungi kembali kehidupannya sepanjang malam. Dalam pandanganku, ia seperti air suci yang membersihkan seluruh kepribadiannya yang kosong. Dan mencuci semua kebodohan yang terlihat dalam kehidupannya di waktu siang. Dalam hal ini, aku juga khawatir bahwa aku salah persepsi dan bertentangan dengan kenyataan yang berlaku. Aku juga khawatir, jangan-jangan, aku akan mengetahui pada suatu hari nanti bahwa analisa yang begitu panjang ini berakhir seperti tulisan: Mitchel Zipaco dan Archien Lubin atau bagian-bagian buku lain yang hanya menjadi sampah...
Pada dasarnya, aku hanya merasa kasihan terhadap berbagai permasalahan yang dialami oleh gadis muda ini. Dan aku tahu, bahaya yang akan menghadang seorang istri yang terbuang. Pada suatu hari, aku mendengar sebuah pembicaraan yang terjadi antara gadis tersebut dengan salah satu teman laki-laki suaminya. Pada waktu itu. Laki-laki tersebut menyodorkan sejumlah uang kepada si gadis. Ia mengira, gadis tersebut tengah membutuhkannya.
Pada saat itu, si gadis-pun berteriak keras, penuh kemarahan: “Apakah kamu sudah lupa etika kesopananmu terhadapku!” Pada saat itu, aku benar-benar terperanjat mendengar penuturannya. Aku melihat pada diri si gadis sesosok jiwa yang tengah berjuang seperti layaknya seorang pahlawan. Ia berusaha untuk tidak tergelincir dan menyimpang dari jalan yang patut dilaluinya. Ia tidak mau terdorong ke arah yang salah hanya karena kondisi yang menghimpitnya.
Ya, aku tahu bahwa kamu akan merasa terkejut dengan ketakutanku ini. Rasa takut dan khawatir terhadap gadis muda itu....Benar, aku memang berharap, seandainya aku dapat menjadikan gadis kecil itu sebagai gadis yang memiliki nilai lebih dan mengarahkan alur kehidupannya ke arah yang lebih terhormat. Dan membuktikan kepada suaminya, pada suatu hari, bahwa ia telah memiliki seorang istri yang sangat berharga. Sehingga, sebesar apapun harta yang dimilikinya tidak akan menyamai harga istrinya.
Seandainya aku tidak dapat melakukan hal tersebut dengan kedua belah tanganku sendiri, aku berharap, gadis itu dapat memiliki kesadaran sendiri dan membuka kedua matanya lebar-lebar. Sehingga, ia dapat melakukan hal-hal yang lebih berguna. Ya, itulah harapan dan perasaan yang tertanam dalam jiwaku terhadapnya. Perasaan yang sangat indah dan mulia. Dan tentu saja perasaan seperti itu tidak akan lahir begitu saja. Ia akan ada, karena obyek yang kita tuju tersebut telah memberikan keindahan dan kemuliaan kepada kita sebelumnya.
Aku telah berfikir, bagaimana agar aku dapat mengajarkan kepadanya hal-hal yang berharga tanpa diketahuinya. Dan seandainya bisa, aku akan menulis surat kepadanya. Semoga, tulisan-tulisanku ini dapat bermanfaat bagi gadis muda yang patut dikasihani ini. Dan semoga, berbagai tulisanku itu dapat menjadi aset berharga yang dapat bermanfaat baik bagi diriku ataupun dirimu. Dalam mencapai sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya....
Aku memang benar-benar telah menulis bait-bait kalimat tersebut. Apakah aku harus membacakannya untukmu? Baiklah, dengarkan: “Nona, apakah aku boleh bertanya dengan baik-baik? Berikanlah idzin kepada saya untuk menulis surat kepada anda dari waktu ke waktu. Anda tidak perlu menjawab semua surat-suratku. Kembalikanlah surat-surat itu setelah engkau mendapatkan bukti dengan berlalunya waktu. Karena, surat-surat itulah yang paling berharga bagiku. Mengapa saya justru memilih tugas aneh seperti ini. padahal, masih banyak tugas lain di antara ratusan tugas yang ada.
Pertama, bukan aku yang memilih jalan hidup untuk selalu berjalan di atas kertas. Akan tetapi, bagaimanapun juga, aku harus tetap berjalan. Karena barang-barang yang aku perjual belikan adalah perasaanku, air mata, canda tawa dan bencana yang menimpaku. Dan terkadang, semuanya itu akan menjadi emas yang sangat berharga dalam hidupku. Bahkan, ia dapat mendorongku meraih suatu kehormatan. Begitulah
terciptanya makhluk yang sangat aneh yang dinamakan dengan seniman. Adapun kepribadianmu dan harta suamimu, aku sangat menghormatinya.” Jangan khawatir, aku tidak memasukkannya dalam tema ini.
Setelah itu aku berkata: “Apa nanti kata perempuan itu. Tentu saja ia tidak akan perduli dengan masalah emas yang akan aku berikan dan kehormatan yang bisa saja ia tertawakan hanya dengan, mendengar namanya? Dan siapa yang memprediksikan bahwa ia akan menuruti semua yang aku katakan kepadanya. Sehingga, ia menjadi sosok yang aku inginkan? Akhirnya....untuk kesekian kalinya aku tidak dapat membedakan mana batasan-batasan dunia realitas dan dunia imajinasi...
Orang-orang yang ada di samping kanan dan kiriku. Mereka yang hidup pada dataran realitas, nyatanya rela dengan kondisi kehidupan yang dijalaninya. Sebuah kehidupan yang mereka sebut dengan kehidupan yang sangat bodoh. Dan tentu saja mereka akan protes berat kepadaku ketika mengetahui bahwa aku akan berusaha merubah alur kehidupan yang dijalaninya. Mereka bukanlah makhluk hidup yang akan bergerak di atas kertas, sesuai dengan keinginanku dan berlaku seperti apa yang ada di fikiranku. Akan tetapi, mereka adalah manusia dimana aku tidak dapat mencampuri urusan kehidupan mereka. Oleh karena itu, sudah seharusnya aku meninggalkan semua manusia dan kondisi hidup yang mereka alami. Apakah kamu tidak melihat wahai kawanku, bahwa aku juga harus segera meninggalkan tempat dan kondisi mereka?!
Sahabatku-pun tersadar. Setelah sekian lamanya ia terhanyut dalam alur cerita yang sangat panjang tadi. Kemudian ia berkata: “Bagaimana kamu dapat meninggalkan mereka dengan kondisi kehidupannya. Padahal, kisah ini belum juga selesai secara sempurna?” Aku-pun menjawab: “Aku tidak mau kamu mendengar semua kisah ini sampai akhir. Kita harus menyelesaikan kisah ini sampai sini saja.”
Si penerbit sahabatku itu-pun berkata: “Kita tidak akan mengenal dan mengetahui kondisi gadis muda tadi. Kecuali, dengan beberapa unsur yang kamu sebutkan tadi.” Aku kembali berkata: “Sudahlah. Ini sudah cukup. Sangat berbahaya sekali seandainya kita ingin mengungkapkan kehidupannya secara nyata. Bahaya yang harus dibayar sangat mahal. Oleh karena itu, kita harus diam. Dan janganlah kamu menghancurkan warna kehidupanku yang mengalun dari gitar tersebut. Bukankah
ketamakan telah hilang dari dirimu...bukankah aku juga telah memberikan bait-bait kisah tersebut kepadamu...”
Pada esok harinya, dan pada jam yang sama, sahabatku, si penerbit itu kembali mengunjungiku. Ia duduk di kamarku, di tempat yang sama seperti kemarin. Ia mendekatkan badannya kepadaku sedikit sambil berkata: “Apakah ada perkembangan baru?” Pandanganku beralih, dari laki-laki itu ke pintu yang menjadi pemisah antara kamarku dnegan kamar si gadis sambil berkata: “Dia sudah pergi. Ia keluar pada waktu pagi dengan dikawal oleh kelompok laki-laki teman suaminya itu.”
Maka, sahabatku itu terlihat tenang di tempat duduknya. Dan terdengar suaranya yang sudah mulai kembali normal, meminta diriku untuk menceritakan tentang perempuan itu kembali. Aku-pun berkata: “Apa yang engkau inginkan dariku? Apa yang ingin kamu ketahui itu sudah di luar pengetahuanku. Sebenarnya, kehidupanku sekarang ini sangat indah...jika dibandingkan dengan...segala sesuatu. Kamu dapat melihat sendiri bagaimana hasil karyaku semakin banyak dan imajinasiku terus mengalir. Dan aku tidak mau untuk merubah kehidupanku sekarang ini...bagaimanapun juga, aku tidak dapat melakukan hal tersebut sekalipun...akan tetapi...”
Aku meneruskan perkataanku: “Ah...teman! bagaimanapun juga aku harus menyampaikan permasalahan yang sangat penting ini kepadamu... Sebenarnya, kemarin aku telah berbohong kepadamu. Tepatnya, ketika aku mengatakan bahwa aku tidak pernah berbincang-bincang dengannya. Sebenarnya...aku telah berbicara dengannya...”
Dengan sangat terkejut, sahabatku-pun berkata: “Berbicara dengannya?” Aku kembali berkata: “Ya..tepatnya, dua hari yang lalu. Pada saat itu, aku masuk ke dalam dapur untuk meminta secangkir kopi. Maka, seketika itu juga aku melihat gadis muda itu dengan mengenakan kimono mandi. Ia berdiri tepat di dekat westafel. Ia meletakkan beberapa tangkai bunga di sebuah vas kecil. Setelah itu, ia memasukkan air ke dalamnya dari keran. Ia berbicara dengan pemilik hotel yang sudah tua dengan bahasa Itali.
Aku-pun menganggukkan kepalaku ke arahnya sebagai tanda penghormatan. Pada saat itu, aku merasa bahwa itulah waktu yang tepat bagiku untuk berbicara. Aku-pun segera menghampiri mereka berdua. Dengan cepat aku berkata: “Nyonya, apakah anda berdua dapat berbahasa Itali?” Nyonya pemilik motel-pun menjawab: “Aku hanya dapat berbicara saja. Sedangkan dalam soal menulis atau membacanya, aku tidak bisa.
Adapun nyonya muda ini sangat mengetahui banyak tentang bahasa Itali.” Pada saat itu, gadis itu-pun bersuara: “Benar, saya mempelajarinya di sekolah dan sangat memahaminya....”
Entah apa yang mendorongku untuk berbicara kepada nyonya muda itu: “Apakah anda berkenan, seandainya saya meminta kesudian anda untuk menterjemahkan sedikit tulisan. Saya ingin mengirim tulisan tersebut ke seorang pemusik Itali. Ia telah membuat melodi untuk bait-bait kalimat dalam lagu saya.” Dengan cepat dan penuh kesopanan, gadis muda itu-pun berkata: “Oh..dengan senang hati. Tulislah kalimat-kalimat tersebut dalam bahasa Perancis dan saya akan memindahkannya ke dalam bahasa Itali.”
Sayangnya, aku tidak dapat berbicara lebih banyak dengan dirinya. Ia telah mengambil vas bunganya. Dengan sedikit menganggukkan kepalanya, ia-pun melenggang pergi menuju kamarnya. Ia meninggalkan aku begitu saja yang berdiri seperti patung. Akan tetapi, tidak lama dari itu, aku-pun segera tersadar. Dan aku-pun segera kembali ke kamarku. Bahkan, aku sampai lupa untuk meminta kopi. Padahal, untuk itulah aku pergi ke dapur.
Akan tetapi, aku segera berfikir lagi, apalah artinya segelas kopi? Aku merasa, bahwa diriku telah mendapatkan harta temuan yang harganya tidak dapat dinilai dengan uang. Sekarang ini, antara aku dengan dirinya terdapat sebuah tali penyambung. Sekalipun, aku tidak dapat mengatakan bahwa tali tersebut adalah tali yang sangat kokoh. Akan tetapi, setidaknya, tali tersebut telah memberikan berita gembira. Ia telah bersedia untuk membantuku. Ya, ia telah berjanji untuk itu. Dan pada saat itu, aku akan mencoba membalas kebaikan dengan kebaikan.
Membalas budi? Ah...hal tersebut membuat aku berfikir keras, apa yang harus aku persembahkan kepadanya. Atau, setidaknya, apa yang harus aku perbuat sebagai tanda terima kasih atas bantuannya. Apakah aku akan menghadiahkan salah satu bukuku kepadanya, atau bingkisan kecil sebagai cindra mata sebagai tanda terima kasih atas segala usahanya yang telah membantuku. Atau, aku akan mengundangnya...ah tidak...itu terlalu berlebihan. Atau, mengapa aku tidak mengundang nyonya muda, suami dan nyonya pemilik motel ini untuk menikmati makan malam yang lezat? Aku rasa,
semuanya itu boleh-boleh saja. Dan kesempatan yang ada di hadapanku terpampang dengan luas. Kewajibanku sekarang hanyalah memilih...
Yang penting, ia telah mengulurkan tangannya untuk membantuku. Seketika itu juga aku duduk di ruang baca dan menulis surat dengan bahasa Perancis. Akan tetapi, aku kembali berfikir, surat apa? Karena, permainan musik yang ada ini bukan musik Itali. Sebenarnya, permainan musik yang tengah aku garap ini adalah musik Mesir. Tepatnya, ada beberapa lembar not musik yang dikirimkan kepadaku untuk aku lihat-lihat dan nilai. Akan tetapi, aku berfikir lagi, siapa juga yang melarang bahwa pemusik seorang pemusik Itali hanya dapat berbahasa Itali? Baiklah, sekaranglah waktunya untukku menulis surat dan menyerahkannya kepada “si nyonya muda” untuk diterjemahkan. Sebagaimana yang kami sepakati sebelumnya...
Akhirnya, aku mengambil pensil dan menulis surat sederhana di atas kertas dengan dialek bahasa yang sangat berani. Aku tidak dapat mengingkari bahwa perasaanku telah meninggalkan bekas yang sangat jelas. Akan tetapi, aku yakin, tidak akan ada yang tahu kecuali diriku. Dalam gambaranku hanya ada si gadis muda yang akan membaca kalimat ini. Membuat jiwaku berontak dan masuk sedikit demi sedikit dalam membaca satu atau dua ibarat yang mengalir dengan indah dan sangat nikmat.
Aku tidak akan memperlihatkan surat ini kepadamu sekarang...oleh karena itu, tunggulah. Kenapa aku tidak membacakannya untukmu detik ini juga? Sudah kukatakan tadi, ini adalah surat yang paling berani. Sayangnya, aku tidak memiliki keberanian lebih dari itu. Di samping, rasanya tidak pantas dan tidak baik apabila aku menulis lebih dari ini. Akan tetapi, baiklah, inilah suratnya, dengarkan:
“Saudaraku, sang maestro...telah sampai kepadaku beberapa melodi musikmu yang engkau buatkan untuk nyanyianku. Dari awal aku sedikit terkesan, ketika pertam kali aku menemukan bahwa lagu tersebut lebih didominasi oleh alat-alat musik. Saudaraku, sebenarnya, nyanyian itu bisa saja berasal dari suara manusia saja. Karena suara manusia yang sangat indah dapat membuat orang terkagum-kagum. Tanpa harus disertai dengan iringan melodi. Contohnya, saya telah mendengar suara tawa seorang gadis muda yang sangat renyah. Keindahannya tersebut tidak berbeda dengan keindahan tawa childrens of Heaven milik Mozart.
Akan tetapi, saya juga menyadari bahwa orkestra merupakan bagian yang akan memberikan warna penafsiran dan penerangan terhadap musik secara lebih sempurna. Dan saya melihat, bahwa penafsiran terhadap nilai-nilai musik secara murni sangat sedikit sekali dalam lembaran-lembaran yang anda sampaikan kepada saya. Akan tetapi, anda juga berhak untuk meragukan kebenaran penilaian saya. Saya juga tidak mengingkari bahwa dalam beberapa bagian, terutama dalam bentuk dan cetakannya, masih membutuhkan penghayatan dalam bermusik.
Oleh karena itu, untuk mencapai hal tersebut, tentu saja manusia harus memiliki nilai-nilai seni yang kaya. Di samping, ia juga dituntut untuk memiliki sense of taste yang sangat tinggi. Sehingga, ia akan melihat nilai-nilai seni dan keindahan secara benar. Keindahan itu seperti Tuhan. Oleh karena itu, tidak semua manusia dapat mencapainya. Dan aku merasa setuju dengan pendapatmu yang terakhir. Dengan hormat...”
Setelah selesai, surat itupun aku bubuhi dengan not musik. Agar si cantik tidak mengetahui bahwa semuanya itu hanya rekaanku belaka. Setelah itu, baru aku memasukkan semuanya ke dalam amplop besar yang terbuat dari kertas transparan. Aku-pun mulai membuka pintu kamar, menunggu di ruang depan, menunggu si cantik lewat dan kemudian menyerahkan amplop besar ini. Setelah itu, aku berniat untuk kembali kepada pekerjaanku sambil mendengarkan musik dari gramaphon.
Pada saat-saat tertentu, dikala aku mendengar alunan melodi mozart di sudut ruangan, sering aku berkata kepada diriku dengan senang: “Sekarang ini...pastilah si cantik tengah mendengarkan alunan musik ini sambil tersenyum.” Dan perasaan-perasaan seperti itu telah mndorong saya pada hari itu untuk giat bekerja. Akhirnya, akupun menggenggam pena dan tenggelam dalam ide-ide yang terus mengalir tak terbendung. Akhirnya, aku berhasil menulis lembaran-lembaran dalam buku baru yang aku kerjakan ini. Di samping, aku juga berhasil menulis beberapa makalah yang diminta dari beberapa majalah.
Akhirnya, jam dinding-pun menunjukkan jam sembilan. Si cantik-pun keluar dari kamarnya dengan menggunakan pakaian resmi untuk keluar. Ia juga menambahkan beberapa perhiasaan di tubuhnya. Sehingga, kecantikan yang dimilikinya semakin indah terpancar. Si cantik hampir saja menutup pintu bagian luar. Aku-pun segera menuju ke
arahnya dan menyerahkan amplop tersebut sambil berkata: “Surat itu ada di dalamnya.” Tidak lupa, aku juga mengucapkan terima kasih kepadanya.
Si cantik-pun menerima amplop tersebut dan kembali ke kamarnya untuk meletakkan amplop besar tersebut. Setelah itu, ia-pun keluar dengan segera karena waktu sudah larut malam. Aku-pun kembali ke kamarku dan terjaga sampai pertengahan malam. Aku terus menulis dan menunggu si cantik pulang...sampai akhirnya jam menunjukkan jam satu malam.
Akhirnya, si cantik-pun pulang terlambat. Aku mendengar ia masuk ke dalam kamarnya. Aku tidak dapat menyembunyikan rasa kaget bercampur dengan hati yang bahagia! Ketika di keheningan malam itu, aku mendengar suara amplop yang di buka dan lembaran kertas yang dibolak balik. Suara itu terdengar dengan sangat jelas. Si cantik membukanya dengan sangat cepat. Ya, langsung, setelah dirinya menutup pintu....
Dan tidak diragukan lagi. Ini adalah pekerjaan pertama kali yang dilakukannya ketika memasuki kamar. Pada saat itu, ia belum melepaskan pakaiannya, mantel dan topinya. Seakan-akan, ia tidak melihat rasa lelah yang menderanya dan tidak mau menunggu lagi. Dan seakan-akan ia terdorong untuk mengeluarkan cinta yang datang begitu saja dengan sangat aneh.....Aku tenggelam dalam daya imajinasi, hayalan dan mimpi-mimpi yang lain....
Sebagaimana aku katakan sebelumnya, perkataanku ini tidak dapat dibenarkan begitu saja. Karena, terkadang, seorang pecinta tidak dapat menggambarkan sesuatu, sesuai dengan realita yang berjalan. Dalam kepalaku ini mengatakan bahwa setiap pecinta pastilah membayangkan segala sesuatu, sesuai dengan apa yang diinginkannya. Padahal, bisa jadi, kenyataannya tidak seperti itu. Pada saat itu, bisa saja ia langsung membuka amplopku dalam keadaan memakai pakaian resmi. Karena, ia baru saja pulang dari luar. Jadi, tidak ada waktu luang sebelum akhirnya ia menutup pintu dan suara lembaran kertas yang dibuka satu per satu.
Aku terus mendengarkan suara itu sambil menahan nafas. Dan kesunyian-pun terus berlanjut. Tidak salah lagi, sepertinya ia tengah mengamati isi surat tersebut. Setelah itu, aku kembali mendengar lembaran kertas yang di balik. Sepertinya, si cantik telah memasukkan kembali surat tersebut ke dalam amplop. Setelah itu, ia meletakkannya ke tempat awalnya. Kemudian sunyi lagi. Yang terdengar hanyalah suara langkah kaki si
cantik di dalam kamar dan suara lemari pakaian yang dibuka, kemudian ditutup lagi. Setelah itu, terdengar suara pakaian yang ditanggalkan dan badan yang terjatuh di atas kasur. Si cantik telah tidur...
Aku semakin memasang telinga. Aku mendengar langkahnya yang kembali disambut dengan suara tangan yang mengambil dan membuka amplop. Ah...sepertinya dia kembali bekerja untuk memulai menterjemahkan. Setelah itu, aku tidak mendengar apa-apa. Hanya ada suara gerakan yang membuka lembaran-lembaran majalah dan buku. Maka, akupun segera mengetahui bahwa si cantik tengah membaca di kasurnya sambil tiduran, seperti biasanya.
Sepertinya, si cantik telah mengantuk. Itu dapat terlihat dari cahaya lampu yang kemudian mati. Aku dapat melihatnya dari celah-celah pintu yang memisahkan ruangan kamar kami. Pada saat itu, waktu telah menujukkan pukul dua dini hari. Dan aku berfikir, sepertinya aku juga harus tidur....
Akhirnya, aku-pun membereskan kertas, mematikan lampu dan tidur...Pada pagi hari, aku terbangun dengan sangat senang dan bahagia. Aku-pun segera mempergunakan pakaianku dan bersiul-siul. Tidak lupa, aku bernyanyi tentang seorang perempuan dengan suara pelan. Pada saat itu, sepertinya si cantik masih tidur. Karena, kulihat jendela kamarnya masih tertutup.
Seperti biasa, aku keluar untuk memenuhi beberapa kebutuhanku. Dan aku akan kembali ketika waktu dhuhur tiba, sebagaimana janjiku. Sebelum masuk ke dalam ruangan kamar, mataku tertumbuk pada amplop yang tergeletak di atas meja kerjaku. Aku-pun segera menuju meja tersebut dan melihat-lihatnya. Tapi, semuanya masih komplit seperti semula; surat dalam bahasa Perancis dan not musik seperti apa adanya. Akan tetapi, aku tidak menemukan terjemahannya.
Nyonya tua pemilik motel mendengar langkah kakiku. Akhirnya, ia-pun datang kepadaku dengan segera sambil berkata: “Nyonya muda yang kemarin, meminta maaf kepada anda. Karena beliau tidak dapat membantu menyelesaikan surat anda tersebut.” Pada saat itu, aku tidak memiliki jawaban lain kecuali: “Tidak apa-apa” perempuan tua itu-pun pergi dan meninggalkanku. Akhirnya, hancurlah seluruh bangunan harapan yang kurangkai di kepalaku ini, seperti....tatapan yang hanya sekilas saja....
Setelah perkataanku sampai di situ, aku melihat raut muka si penerbit sahabatku berubah. Ia seperti merasakan kegagalan dan kesedihan....wajahnya diselimuti mega mendung...Melihat aku yang terdiam, ia-pun mengucapkan kata-kata dari kerongkongan yang kering: “Setelah itu?”
Aku menjawab: “Tidak ada...seperti yang kamu lihat. Setelah peristiwa itu, aku berfikir dan bertanya-tanya dalam hati: “Mengapa si nyonya muda bertingkah laku seperti itu? Setidaknya, mengapa ia tidak memberikannya secara langsung kepadaku. Seperti ketika aku menyerahkan amplop itu kepadanya. Mengapa ia tidak meminta maaf secara langsung kepadaku?
Terlebih, setelah peristiwa itu, aku bertemu dengannya di ruangan depan. Ironisnya, dia cepat-cepat memalingkan wajahnya. Seakan-akan ia tidak melihatku. Ia segera pergi dan menjauh. Tanpa mengucapkan satu patah kalimat-pun yang berhubungan dengan surat itu. Tidak ada satu huruf-pun yang keluar dari mulutnya. Atau, setidaknya cukup dengan anggukan kepala tanda penghormatan. Aku menyimpulkan bahwa tali yang mengikat kita berdua telah lepas. Sampai pada nilai-nilai sastra dan etika yang seharusnya diterapkan, hilang dari pandanganku...
Akhirnya, sahabatku yang satu itu menyodorkan tangannya kepadaku sambil berkata: “Mana, perlihatkanlah surat itu!” Aku-pun memberikan surat tersebut kepadanya. Ia-pun semakin memperhatikan kata-kata yang ada di dalamnya dengan teliti. Aku-pun berkata kepadanya: “Bagaimana menurutmu? Apakah kamu telah memahami tiap-tiap bait katanya?” Sahabatku itu menjawab dengan tegas: “Jelas sekali. Kata-katamu yang mengatakan “Tawa seorang gadis muda yang sangat renyah” Sangat jelas dan terang sekali. Seterang waktu siang...”
Aku berkata, setengah protes: “Akan tetapi, mengapa dia menyangka bahwa yang aku tuju adalah dia!? Tidak ada yang mengetahui nilai dan sifat ini kecuali aku dan dirimu. Bagaimana mungkin ia mengetahui bahwa dirinya memiliki tawa yang sangat indah dan renyah!!” Dengan wajah tertawa ia berkata: “Sayangku! Apakah ada perempuan yang tidak mengetahui kecantikan yang dimilikinya?!”
Aku-pun berkata dengan penuh sesal: “Ah kawan! Pada dasarnya, aku masih hijau dalam menghadapi masalah seperti ini. Dalam pandangannya, pastilah aku adalah seorang laki-laki penggoda yang mempergunakan kata-kata klise.” Sahabatku yang satu
itupun serius berfikir. Kemudian ia berkata: “Sangat disayangkan sekali! Sekarang, apa yang akan kamu lakukan?”
Dengan suara datar dan sedih aku berkata: “Aku akan pindah?!” Seketika itu juga sahabatku yang satu itu mengangkat kepalanya dan mengulang perkataanku: “Pindah?!” Aku segera menjawab: “Ya, tidak ada jalan lain lagi. Kecuali, ini. Semuanya merupakan akhir yang biasa terjadi dalam sebuah peristiwa. Dalam kehidupan ini, ada beberapa kesalahan yang harus dibayar dengan harga yang sangat mahal. Aku telah katakan kepadamu kemarin, seharusnya, kita harus merasa puas dengan dunia imajinasi. Sayangnya, kamu tidak juga merasa puas. Inilah langkah pertama yang ada di luar jalur dunia kita. Apakah kamu merasa terkesan?...
Kini, keberadaanku di losmen ini sudah tidak memungkinkan lagi. Akan terasa sulit sekali menghilangkan nilai negatif pada diriku dalam pandangan gadis muda itu. Setelah peristiwa itu, ia tidak lagi menjadi sumber inspirasiku. Lihatlah, kertas yang masih putih ini. Semenjak peristiwa tersebut, aku tidak pernah menulis lagi....”
Nyonya tua pemilik losmen ini telah mencoba melarangku untuk tidak meninggalkan kamar tersebut akhir bulan ini. Dengan rasa sedih dan haru, aku-pun berusaha menerangkan sebab kepergianku. Aku meminta maaf kepadanya dengan teramat mendalam. Si nyonya-pun terdiam menahan tangis. Akan tetapi, si nyonya tua tidak tahu, bahwa kesedihan dan kegalauan dalam hatiku ketika harus meninggalkan kamar ini lebih dalam dari apa yang dirasakannya.
Aku tidak akan pernah lupa, bagaimana aku menggambarkan si nyonya muda yang tinggal di samping kamarku dalam lembaran-lembaran kisah yang sangat indah. Yang membuat aku sedih adalah, mengapa harapan dan impian ini harus berakhir dengan begitu cepat. Dan hatiku yang tidak pernah tersentuh, kecuali setiap sepuluh tahun sekali ini. Kini kembali dalam kesunyian dan kegelapannya. Ia tidak akan kembali bangun, tersadar dan dan berbahagia. Berapa usia yang telah aku korbankan selama berpuluh-puluh tahun lamanya?
Apakah aku harus menunggu lagi masa-masa lain, dimana aku bisa saja menemukan cinta. Atau, tidak sama sekali. Ya, sesuatu yang membuat jiwaku bergetar dan menjadi sumber inspirasiku...! Kawan, kamu tidak akan pernah mengetahui bagaimana rasa kecewa dan sedihku. Apakah kamu mengira bahwa diriku masih dapat
menulis tahun ini di dalam kamar yang lain? Padahal, aku telah mempersiapkan seluruh hidupku untuk menjaga dan melindungi si nyonya muda itu..?
Berapa lama aku harus menanti, sampai akhirnya aku dapat menjinakkan jiwa dan penaku untuk bekerja kembali di suatu tempat lain. Dimana aku tidak dapat mendengarkan suara tawa tersebut!? Terkadang, perasaan itu mendorongku untuk tetap bertahan di tempat tersebut...apapun yang terjadi...karena, sebagaimana yang telah aku katakan sebelumnya, kehidupanku sekarang ini sangat indah...apapun yang terjadi dan apapun yang aku hadapi...atau...sekalipun kondisi yang aku hadapi tidak sebaik itu...bagaimanapun caranya, aku tidak akan dapat menghadapi semuanya ini...
Benar! Sahabatku...aku benar-benar belum siap untuk merubah warna kehidupanku ini sekarang....Akan tetapi...sekalipun begitu...aku tetap harus pergi. Karena, jiwaku sudah memberikan tanda larangan. Dan kehormatanku berada di atas segala-galanya. Ayolah...kawan...kita pergi...kamu harus memberikan nasehat kepadaku dengan kata-kata seperti itu. Sekarang aku telah siap-siap untuk pergi dan aku mengetahui losmen lain...dan...sudahlah...”
Sahabatku-pun terpekur dalam kegalauan. Tapi ia sudah tidak dapat berucap...
**********
Hari-hari-pun berlalu. Aku-pun pergi dan tinggal di sebuah losmen lain. Suasana di sana benar-benar sangat tenang. Karena di dalamnya hanya ada dua kamar. Kamar yang satu adalah kamar yang sekarang ini aku tempati. Sedangkan kamar kedua adalah kamar yang sudah semenjak lama ditempati oleh seorang kakek yang sangat tua. Si kakek tersebut telah menempati kamarnya semenjak usianya masih muda. Sebagaimana yang ia katakan kepadaku.
Dulu, ia adalah seorang pemabuk dan pecandu obat bius. Kemudian, ia bertaubat dan kembali ke jalan Allah, membiarkan jenggotnya tumbuh, selalu memutar tasbihnya dan masuk menjadi anggota kehormatan dalam organisasi anti narkoba. Kamar kami hanya terpisah oleh satu dinding yang sangat tipis. Sehingga, aku akan mendengar suara batuknya. Dan aku berkata dalam hati: “Maha suci Allah yang telah menggantikan tawa yang sangat indah dengan batuk yang sangat keras!”
Benar, suara tawa renyah itu masih mengiang-ngiang di telingaku. Dan wajah si gadis muda masih selalu melintas dalam pandanganku. Ternyata, aku masih hidup dalam bayang-bayang si cantik. Dan setiap perbuatanku masih diselimuti oleh bayang-bayang kecantikan, keluguan, dan wajahnya yang terlihat seperti anak-anak. Aku masih mengingat kenangan masa lalu, tentang tetangga yang ada di sampingku. Dalam detik-detik yang sangat agung. Dimana inspirasi dan ilham datang dengan sangat deras...
Kemudian, pada hari berikutnya, sahabatku sang penerbit tadi datang di tempat baruku. Baru saja duduk, ia telah mendekatkan hidungnya ke dinding kamar yang berdampingan dengan kamarku. Dia berusaha mencium dan mengendus baunya. Sampai akhirnya terdengar suara batuk yang sangat keras. Pada saat itu juga ia berteriak: “A’udzubillah!”
Akhirnya, akupun berkata: “Benar sahabat. Inilah yang aku alami!...” Aku mengucapkan kata-kata tersebut dengan perasaan sedih. Sahabatku itu-pun kembali memandang ke dinding kamar yang berdampingan dengan penuh rasa muak. Kemudian ia berkata: “Saya fikir, imajinasimu kali ini tidak akan dapat melahirkan sesuatu yang menyenangkan! Terlebih, setelah mendengar kenyataan yang sangat pahit ini...”
Maka, pada saat itu aku berkata: “Sejak kapan aku meracik sesuatu yang buruk untuk dijadian minuman?” Dengan tenang, sahabatku itu berkata: “Telah terjadi...benar-benar telah terjadi. Tetanggamu si cantik yang memiliki tawa yang sangat “renyah” itu...aku telah mengenalnya tuan...” Dengan suara setengah berteriak karena terkejut, bahagia dan terdorong rasa ingin tahu, aku berkata: “Kamu mengenalnya?”
Sahabatku-pun menjawab: “Iya, benar...aku telah berkenalan, duduk dan melihatnya sendiri dengan kedua mataku ini. Dengarkanlah kisah ini secara baik-baik wahai sahabatku. Seorang pengusaha kertas yang juga salah satu kolegaku mengundangku ke sebuah klub. Ia adalah laki-laki yang senang dengan dunia gemerlap. Bahkan, sering menghadirkan perempuan-perempuan nakal...
Setelah selesai makan malam, ia-pun bertemu dengan seorang pemuda yang sangat tampan dan gadis yang masih berusia tanggung. Pemuda itu mendudukkan si gadis di samping sang pedagang kaya tersebut. Setelah itu, pemuda itu membisikkan sesuatu di telinga sang pedagang. Setelah itu, ia-pun kemudian pergi. Sahabatku, si pedagang tadi
akhirnya memesan minuman. Dari situ, ia-pun terkadang merayu dan berbicara kepada si gadis. Sehingga, akhirnya ia-pun ingin menidurinya...
Si gadis berkata: “Anda akan mendapatkan segalanya. Kecuali, tidur. Aku tinggal di sebuah motel yang sangat bersih. Pemilik hotel tersebut sangat berhati-hati dalam menjaga motel dan para penghuninya dengan baik. Dan tetanggaku, yang kamarnya berdampingan secara langsung, adalah laki-laki terhormat. Sepertinya, ia adalah seorang filosof, ustadz atau entahlah...aku juga tidak tahu...
Akan tetapi...laki-laki itu sering memandangku dengan sorotan mata yang sangat aneh. Terkadang, ia membuat kepalaku pusing sepanjang waktu dengan musik yang keluar dari gramaphonnya. Padahal, aku tidak pernah merasa faham dengan maksudnya. Pada saat aku melewati kamar tersebut, terdengar suara tarian Tanggo atau mungkin samba yang dapat memecahkan kepala dan membuat orang pingsan. Semoga Tuhan mengutuknya...Dasar tetangga gila!...”
Itulah perkataan gadis muda itu. Maafkan aku!...Pada saat itulah aku berusaha masuk ke dalam percakapan. Kemudian, aku-pun menyebutkan nama dan alamatmu. Ia-pun terkejut bukan main dan berkata: “Bagaimana anda tahu?” Pada saat itu, aku berkata dengan perlahan. Seolah-olah aku berkata pada diriku sendiri: “Apakah itu benar-benar kamu?!”
Dari situ, akhirnya aku berhasil mengorek segala sesuatu tentang dirinya dan juga berbagai hal yang tidak kamu ketahui. Sahabatku terkasih! Dia bukanlah orang Itali. Yang benar adalah, ia berasal dari keturunan yang tidak jelas. Mereka tinggal di Mesir tanpa mengetahui asal keturunan ataupun dari mana mereka berada. Ia berkata bahwa kedua orang tuanya yang telah meninggal sudah lama tinggal di Azmir. Kemudian, mereka pindah ke kota lain. Sayangnya, ia tidak menyebutkan namanya. Adapun dirinya, ia dilahirkan di sebuah tempat di dalam wilayah kota Kairo.
Di samping itu, ia juga tidak memiliki bahasa asli. Bahkan, ia lahir dan dibesarkan di sebuah tempat yang terbiasa berbicara dengan sejumlah bahasa. Ia sudah terbiasa untuk mendengar bahasa-bahasa tersebut secara kontinyu. Tanpa mengetahui secara pasti bahasa apakah itu? Oleh karena itu, ia dapat berbicara dengan bahasa Arab, Roma, Itali dan Perancis. Sedangkan untuk membaca dan menulisnya, ia tidak bisa. Dan
inilah sebenarnya rahasia dibalik mengapa amplop yang kamu kirimkan kepadanya dikembalikan.
Pada saat itu, ia berkata kepadaku: “Bayangkanlah oleh kalian, bagaimana tetangga sintingku itu mengirim not musik dan lembaran surat berbahasa Perancis untuk aku terjemahkan ke dalam bahasa Itali? Dia fikir aku ini guru sekolah apa?” Adapun aktifitas membaca yang ia lakukan pada malam hari, hanyalah sekedar membaca buku-buku sastra dan kisah-kisah biasa. Bahkan, ia hanya melihat jadwal pacuan kuda. Karena, ia sering taruhan dalam hal itu. Sehingga, terkadang ia mendapatkan uang dari hasil taruhan tersebut. atau, ia sering melihat-lihat gambar di majalah-majalah fashion dan mode.
Ia adalah gadis yang hidup sendiri. Karena, memang dirinya tidak memiliki keluarga. Adapun pemuda yang kamu anggap sebagai suaminya, tidak lain hanyalah mucikarinya. Ia telah mengarang cerita tentang pernikahannya dan sang suami yang tinggal bersama ibunya yang sedang sakit jantung dan lain sebagainya! Kemudian ia ceritakan karangannya tersebut kepada polisi dan pemilik motel agar tidak dihina dan diusir...
Setelah itu, ia banyak berbicara sambil tertawa. Ya, tawa yang menurutmu sangat renyah....Setelah itu, ia menyodorkan mulutnya yang telah dimasuki rokok ke mulut si pedagang kaya itu, untuk meminta api rokoknya. Dan aku melihat wajahnya yang memakai bedak sangat tebal. Akan tetapi, bagaimanapun juga bedak tebal yang dipakainya itu tidak dapat menutupi bekas cacar di masa lalu. Terlihat dari beberapa lubang yang cukup dalam di hidung, dua pipi dan dahinya. Padahal, kamu mengatakan kepadaku bahwa dirinya sangat cantik?....Maka, akupun berusaha untuk mencari nilai kecantikan itu...
Tidak teman....itu hanya imajinasimu semata...dan hayalanmu itu pasti lebih kuat dari semua bedak tebal yang dapat dihilangkan dan dikenali begitu saja oleh para ahli kecantikan!
Malam-pun semakin larut dan mendekati dini hari. Sang pengusaha-pun mendekatkan mulutnya ke telinga si gadis. Ia membisikkan sesuatu yang kemudian disambut oleh anggukan kepala si gadis tanda setuju. Kemudian, si gadis-pun segera membenarkan letak ujung gaunnya dan bersiap-siap untuk berdiri. Sebelumnya, tidak
lupa ia mengeluarkan cermin dari tasnya dan kembali membubuhkan lipstik di bibirnya. Karena, pemerah bibirnya itu telah hilang ketika minum dan merokok.
Kemudian, pengusaha sahabatku itu memberikan isyarat mata dengan berkedip ke arahku. Dan aku langsung faham. Aku-pun memberikan isyarat dengan tangan, pertanda menolak dengan halus. Setelah itu, kami-pun bangkit dari duduk. Tidak lupa, aku berterima kasih atas undangan untuk menghabiskan malam dengannya. Dan aku berpisah di pintu, karena hendak pulang ke rumah. Sedangkan sahabatku itu melenggang pergi bersama gadis muda tadi. Kedua tangan si gadis diletakkan di bawah ketiak sahabatku. Mereka menuju ke sebuah mobil yang telah menunggu. Untuk kemudian pergi ke sebuah tempat untuk menghabiskan malam. Tentunya, sesuai dengan perjanjian yang telah mereka sepakati...”
Akhirnya, selesai sudah perkataan sahabatku penerbit tadi. Kemudian, ia berpaling ke arahku...dan aku tidak tahu...apakah sahabatku itu melihat raut wajahku yang pucat? Dan tentu saja, sepertinya ia menunggu komentarku terhadap semua ceritanya. Akan tetapi, aku merasa takut untuk berbicara. Suaraku seperti terjegal. Sulit untuk keluar. Aku-pun berpura-pura sibuk dengan pena di tanganku. Aku menulis-nulis kertas yang ada di hadapanku.
Sampai akhirnya aku merasa bahwa pandangannya semakin tajam dan menelanjangiku. Seakan, ia tahu ketakutan yang aku rasakan saat ini. Akan tetapi, aku belum memiliki kekuatan untuk membuka mulut. Tapi...pada akhirnya aku berusaha sekuat tenaga. Aku terus berusaha agar dapat berkata-kata dengan suara yang tenang. Aku berusaha untuk tidak mengeluarkan suara dengan nada marah, tersiksa, sedih dan luka. Sayangnya, sekalipun aku telah berusaha sekuat tenaga, yang keluar tetaplah sebuah teriakan sakit: “Kenapa kamu datang hanya untuk menceritakan semuanya itu kepadaku?!”

Daftar Isi
• Ayah, Perlihatkanlah Allah Kepadaku!…
• Sang Pejuang
• Pak Pos!!…
• Akulah Kematian!...
• Maka Jadilah Dunia!...
• Negeri Burung!...
• Pada Ribuan Tahun Mendatang...
• Karya Yang Menakjubkan!...
• Tukang Todong Bernama...Izrail!...
• Mukjizat Dan Karamat!...
• Konferensi Cinta
• Perempuan Yang Berhasil Mengalahkan Syaitan!...
• Kekasih Yang Hilang!...
• Mafia Terpilih!...
• Pasangan Paling Berbahagia!…
• Kenalilah Pembunuh Itu!...
• Akhirnya, Keluar Juga Ide Itu!…
• Wajah Kebenaran..

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Novel Arinillah
Ditulis oleh Mustopa Almurtaqi Makarima
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://akumenuliskarenaalloh.blogspot.com/2013/05/novel-arinillah.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
Cara Buat Email Di Google | Copyright of Aku Menulis Karena Alloh.